Umat Islam pada abad 21 ini sedang dirundung
krisis dan problematika dalam menghadapi berbagai realitas kehidupan dan zaman.
Bila dibandingkan dengan harapan kemajuan yang ingin didapatkan, umat Islam dewasa
ini masih lebih dominan mengalami kemunduran dan keterpurukan di berbagai
bidang. Dilihat dari kondisi sosial, politik, ekonomi dan lainnya, yang sedang terjadi
dan menimpa umat Islam di berbagai belahan negeri, masih menunjukkan fenomena
kemunduran dan keterpurukan yang stagnan. Banyak tokoh-tokoh Islam yang kemudian
menaruh perhatian dan mengidentifikasi akan penyebab fenomena tersebut. Beragam
pandangan akhirnya muncul dan memberikan penilaiannya, bahwa fenomena ini terjadi
karena berbagai sebab seperti politik, sosial, ekonomi atau pendidikan.
Muhammad Iqbal, Allama Maududi, Hasan al Banna,
Sayyid Qutub, Taqiyyudin an Nabhani, adalah beberapa tokoh kontemporer yang
memandang dan memberikan penilaian kemunduran umat Islam, disebabkan karena permasalahan
politik, dan menyokong perubahan melalui kebangkitan kembali “Islam sebagai
politik” [1], yang
lebih menunjukkkan pada faktor eksternal. Adapula yang memandang dan mendapatkan
perenungan yang berbeda, bahwa penyebab berbagai problem yang melanda umat
Islam, lebih disebabkan oleh faktor internal, karena masalah yang terjadi dalam
diri umat Islam.
Kedua pandangan ini tentu dapat dibenarkan, sebab dapat
kita analisis dan pahami adanya keterkaitan dan hubungan antar setiap
permasalahan, baik disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal yang saling
mempengaruhi. Namun umat Islam perlu mendapatkan formula yang lebih strategis
dan efektif, untuk menemukan sebab dan cara penanganan dalam membebaskan umat
Islam dari masa kritisnya. Tidak hanya memberikan respon terhadap buah-buah
yang telah tumbuh berupa fenomena keburukan sosial, tapi dibutuhkan
penyelesaian yang lebih fundamental untuk memangkas akar penyebab yang
menumbuhkan buah-buah permasalahan tersebut.
Syed Muhammad Naquib al Attas seorang intelektual dunia
Islam, memberikan analisis mengenai problem-problem yang terjadi pada umat
Islam, berakar pada faktor-faktor eksternal dan internal. Menurutnya, penyebab
eksternal disebabkan oleh tantangan religius-kultural dan sosial-politik dari
kebudayaaan Barat[2], sedangkan yang internal
tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan
kesalahan dalam memahami ilmu dan aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya
pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab secara benar dalam
segala bidang. Namun dari semua itu, menurut al Attas ketiadaan adablah yang
harus ditinjau dan dikoreksi secara efektif jika Muslim ingin menyelesaikan
problem kebingungan dan kekeliruan dalam bidang keilmuan dan menanggulangi
munculnya kepemimpinan palsu dalam segala bidang. Sebab untuk memperbaiki ilmu,
memerlukan adab, dan lahirnya pemimpin yang baik, melalui penanaman ilmu dan
adab.[3]
Al Attas secara tegas dan konsisten hingga saat ini,
menyatakan permasalahan mendasar dan menyeluruh yang menimpa umat Islam, timbul
dari internal umat Islam sendiri, yaitu masalah “loss of adab” atau hilangnya adab. Dalam bukunya yang merupakan
kumpulan makalah dalam Seminar Nasional Pendidikan Islam di Mekkah, tahun 1977,
Prof. al Attas menyebutkan maksud dari “loss of adab”.[4]
Demikian juga dalam bukunya Islam and
Secularism, yang diterbitkan pada tahun 1978, beliau menyimpulkan apa yang
dimaksud dengan hilangnya adab:
“Masalah dasar dapat disimpulkan pada suatu krisis
yang jelas yang saya sebut sebagai kehilangan adab (the loss of adab).
Di sini saya merujuk pada hilangnya disiplin-disiplin raga, disiplin pikiran
dan disiplin jiwa; disiplin menuntut
menuntut pengenalan dan pengakuan atas tempat yang tepat bagi seseorang dalam
hubungannya dengan diri, masyarakat dan umatnya; pengenalan dan pengakuan atas
tempat seseorang yang semestinya dalam hubungannya dengan kemampuan dan
kekuatan jasmani, intelektual dan spiritual seseorang itu; pengenalan dan
pengakuan atas hakikat bahwa ilmu dan wujud itu tersusun secara hirarki.[5]
Al Attas menjelaskan, bahwa hilangnya adab adalah
hilangnya disiplin badan, pikiran dan jiwa, pada pengenalan dan pengakuan
terhadap kedudukan yang tepat dalam hubungannnya terhadap diri, masyarakat, dan
manusia, sesuai dengan hirarki atau tingkatannya. Adab adalah pengenalan yang
berupa pengetahuan mendalam yang menunjuk pada keyakinan, sedangkan pengakuan
adalah suatu sikap yang diwujudkan dalam amal atau perbuatan terhadap apa yang
telah dikenalnya sesuai dengan tingkatan kedudukannya.
Mendisiplinkan badan, pikiran, dan jiwa sesuai pada
tempat dan kedudukannya, adalah upaya dan bentuk dari adab. Menurut al Attas ketika
segala sesuatu telah diletakkan pada tempatnya yang sesuai, maka akan tercipta
keadilan. Sehingga adil adalah kondisi dimana adab dijalankan. Hilangnya adab
menyiratkan hilangnya keadilan, yang mengiring pada kebingungan dan kekeliruan
terhadap ilmu, dan menciptakan kondisi munculnya pemimpin-pemimpin palsu yang
menimbulkan kezaliman atau ketidakadilan. Ketidakadilan menghasilkan kerusakan
di berbagai bidang, dan mengukuhkan pemimpin-pemimpin sejenis yang bertanggung
jawab terhadap masyarakat luas. Inilah seharusnya tabiat seorang Muslim bagi al
Attas, yaitu tegak dalam keadilan, ketika ia memahami dan menyadari konsekuensi
dirinya sebagai Muslim atau Mukmin. Al Attas menulis:
“Maka orang yang benar, yang baik, yang beriman –
iaitu muslim dan mu`min – ialah orang yang adil terhadap dirinya, kerana dia
telah menempatkan dirinya pada tempat yang tepat, yang sebati dengan bawaan
tabiat semula jadinya, dan dengan demikian telah dapat mencapai taraf kemurnian
insaniah yang membawanya setingkat demi setingkat kepada makam diri yang
tentram sempurna meni`mati kesejahteraan hakiki.”[6]
Peluang perubahan yang terbaik dan mendasar bagi al
Attas, dimulai dari perubahan individu manusia, melalui adab. Adapun adab
ditanamkan melalui pendidikan dan pendidikan merupakan upaya penyerapan adab
kedalam diri manusia. Maka perhatian utama dalam mengentaskan krisis dan
melakukan perubahan mendasar dan kompleks bagi al Attas, adalah melalui jalur
pendidikan, dengan formulasi pendidikan adab, yang kemudian dirumuskan dan
diterapkan oleh al Attas menjadi konsep dalam pendidikan Islam yang disebut
dengan ta`dib.[7] Pendidikan
adab sangat penting untuk membentuk manusia yang baik.[8]
Dan nasib baik atau jahatnya manusia itu bergantung kepada ajaran serta
pendidikannya dalam ilmu-ilmu mengenai budi pekerti dan akhlak yang
bersumberkan agama, yang terlingkup dalam bagian dari pendidikan adab.[9] Adab
sendiri bagi al-Attas, tidak hanya terjadi pada hubungan seorang manusia kepada
sesama manusia, namun berlaku pada setiap wujud dan kedudukan sesuatu. Ada adab
kepada Allah, kepada diri, kepada manusia hingga pada ilmu, serta bahasa dan
lainnya.
Di Indonesia tema dan istilah adab ini, telah cukup lumrah digunakan oleh masyarakat, bahkan
secara terhormat diletakkan menjadi dasar negara, pada sila kedua Pancasila.
Namun, makna adab yang dipahami ini pun masih mengalami kekaburan dan pembiasan
dalam masyarakat, ada yang menganggapnya hanya sebagai bentuk dari nilai-nilai
moral, kesopanan dan budi pekerti, sebagaimana yang didefiniskan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI).[10]
Sedangkan pada ranah kenegaraan, tejadi tarik menarik penafsiran, untuk membawanya
pada suatu kepentingan kebijakan ideologi tertentu.
Jika ditelusuri, pemahaman tentang adab dan pengamalannya
masih rendah di Indonesia.
Hal ini dapat ditunjukkan dengan banyaknya permasalahan
yang terjadi setiap hari dan hampir pada setiap lini kehidupan masyarakat.
Mulai dari individu, tingkat keluarga hingga masyarakat serta negara. Pada
bidang pendidikan, sosial, hingga politik, tidak pernah sunyi dari kasus-kasus
yang setiap hari terjadi dan memenuhi media massa nasional, yang bisa dipahami sebagai
akibat dari ketiadaan adab. Lebih mirisnya, permasalahan seperti ini justru
cukup banyak terjadi di kalangan umat Islam sendiri di Indonesia.
Di beberapa media massa nasional misalnya, diberitakan
sebuah kasus yang terjadi pada tanggal 27 Februari 2016 pada sebuah lingkungan
pendidikan yang dinilai tinggi dan mulia. Terjadi kericuhan di MTs atau Sekolah
Islam setingkat SMP di Magelang, yaitu sekitar 60 siswa menantang guru BK (Bimbingan
Konseling) dan hampir melakukan penggeroyokan kepada guru tersebut di lingkungan
sekolah. Kejadian itu terjadi setelah guru BK mengumpulkan murid-murid di
halaman sekolah dan memberikan peringatan kepada mereka, setelah diketahui bahwa
mereka merencanakan untuk membolos sekolah dan ingin melakukan aksi tawuran
pada sebuah SMP. Maka para murid yang tidak terima atas peringatan sang guru, justru
berbalik menantang dan ingin menggeroyok guru tersebut, setelah diprovokasi
oleh enam orang murid lainnya. Pengeroyokan
pun hampir terjadi dan segera dilerai oleh guru lainnya. Hingga akhirnya pihak
sekolah memutuskan menghubungi polisi, sehingga para murid berhasil diamankan.[11]
Pada hari yang sama, tanggal 27 Februari 2016,
terjadi pengeroyokan oleh 12 orang santri kepada salah seorang santri yang juga
merupakan teman satu pesantrennya, di sebuah kota yang terkenal sebagai kota
santri, di Jombang, Jawa Timur. Seorang santri yang telah dikeroyok oleh
teman-temannya ini akhirnya meninggal, setelah dilarikan di rumah sakit pada
malam harinya.[12]
Umat Islam dan para orang tua pasti merasa terpukul
dengan kasus seperti ini, terlebih hal ini terjadi di lingkungan pendidikan
Islam oleh para pelajar yang diharapkan kepemimpinannya di masa depan. Kepercayaan
yang harusnya diberikan umat Islam kepada pendidikan Islam untuk membina dan
menyiapkan generasi muda Islam, akhirnya dapat pandang tidak ada bedanya dengan
sekolah pada umumnya. Bahkan sekolah Islam dapat dianggap lebih rendah dan menjadi
pilihan nomor sekian setelah sekolah-sekolah umum lainnya. Demikian juga yang
terjadi di lingkungan pendidikan tinggi Islam, banyak bermunculan akademisi dan
ilmuan yang justru tidak beradab kepada Islam, ada yang menyamakan al Qur`an
dengan koran, menyatakan bahwa homoseksual adalah sebuah sunnatullah, hingga mempublikasi bahwa Tuhan telah membusuk.
Pada ranah penting lainnya, yaitu dalam lingkup
kenegaraan. Kepemimpinan yang diberikan sebagai amanah untuk mengatur urusan manusia
secara luas, juga terjadi kehilangan adab. Banyak manusia-manusia yang tidak
berilmu diangkat menjadi pemimpin, mereka memiliki mental yang lemah serta jauh
dari kepribadian dan loyalitas terhadap Islam. Sebagaimana pernyataan yang
pernah ditayangkan di sebuah acara TV Swasta Indonesia, pada tanggal 14 Oktober
2014. Ada seorang politisi yang membuat pernyataan, bahwa di atas hukum agama
dan adat masih ada konstitusi negara. Ia kemudian menyebut dirinya sebagai
orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang tinggal di
Indonesia. Sang politisi dalam hal ini telah meletakkan ayat-ayat konstitusi di
atas ayat-ayat Al Qur`an.[13]
Kiblat pengetahuan dan
gaya hidup yang
telah bergeser ke dunia Barat, membawa nilai dan kebudayaan Barat yang terhimpun dalam
paket pendidikan yang dijajakannya pada dunia Islam. Hal ini membuat masyarakat dan generasi yang
selanjutnya lahir dan hidup dalam keadaan prematur dan latah, tergerus dalam
degradasi moral dan kelemahan mental. Hal ini pula yang secara berangsur menciptakan
bencana
dan kekacauan terhadap tatanan sistem pemikiran dan kehidupan manusia.
[1] Sukran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi,
Transformasi Dinasti Usmani Menjadi Republik Turki, Jakarta: Anatolia
Prenada Media Group, 2007, hlm. xiv.
[2] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 198.
[3] Syed Muhammad Naquib al Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung:
PIMPIN-CASIS UTM, 2010, hlm. 130.
[4] Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab,
Surabaya: Bina Qolam-INSISTS, 2015, hlm. 101.
[5] Syed Muhammad Naquib al Attas, Islam dan..., hlm. 129.
[6] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala
Lumpur: ISTAC, 2001, hlm. 39.
[7]Gagasan al Attas
mengenai adab pernah beliau wujudkan dalam sistem pendidikan tinggi bertaraf
internasional (program Master dan Doktor) yang pernah dibangunnya, yaitu International Institute of Islamic Thought
and Civilization (ISTAC) di Malaysia. Berdasarkan filsafat pendidikan yang lebih
menekankan pengembangan individu, tetapi juga tidak memisahkan secara sosial
dalam hal cara dan konteks pelaksanaannya, al Attas menentukan tujuan
pendidikan dalam Islam, yaitu, “Tujuan mencari ilmu dalam Islam adalah untuk
menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri
pribadi. Oleh karena itu tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan
manusia yang baik. Apa yang dimaksud dengan `baik` dalam konsep kita tentang
`manusia baik`? Unsur asasi yang terkandung dalam konsep pendidikan Islam
adalah penanaman adab, karena adab dalam pengertian yang luas di sini
dimaksudkan meliputi kehidupan spiritual dan material manusia yang menumbuhkan
sifat kebaikan yang dicarinya.” (Syed Muhammad Naquib al Attas, Islam dan..., hlm. 187.)
[8] Menurut al
Attas, tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan manusia yang baik. Manusia
yang baik, adalah manusia yang beradab, yaitu manusia yang terbina dalam
pendidikan adab. Manusia yang baik menurut al Attas, adalah individu yang sadar
sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri,
Tuhan, masyarakat, dan alam yang tampak maupun yang gaib. Itulah sebabnya,
dalam pandangan Islam, manusia yang baik atau individu yang baik secara alami
harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anaknya,
suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang
baik, dan warga negara yang baik bagi negaranya. Ketika setiap tingkatan
kehidupan telah baik, maka akan menghasilkan jaringan dan pengaruh hubungan
yang baik dalam tujuan pembentukan manusia yang sempurna, serta berdampak
langsung pada kemajuan negara.
[9] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk..., hlm. 43.
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia
Online, dalam http://kbbi.web.id/adab, diakses pada 10/03/2016, pukul
9.30 WIB.
[11] Miris..Dilarang
Tawuran, 60 Siswa Siap Keroyok Guru BK, Ini yang Dilakukan Polisi, (28/02/16), dalam http://www.reportaseguru.com/2016/02/Miris...Dilarang.Tawuran.60.Siswa.Siap.Keroyok.Guru.BK.html .
Juga dalam http://www.radarkedu.com/mungkid/murid-hendak-keroyok-guru-bk/, diakses pada 06/03/2016, pukul 07.24 WIB.
[12] 12 Santri di Jombang Keroyok 1 Santri hingga Tewas,
(29/02/16), dalam http://www.timesindonesia.co.id/baca/119626/20160229/210223/12-santri-di-jombang-keroyok-satu-santri-hingga-tewas/, diakses pada 06/03/16, pukul. 07.39 WIB.
[13] Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, Panduan Menjadi
Cendikiawan Mulia dan Bahagia, Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 255.
0 komentar:
Post a Comment