Jul 4, 2016

Revolusi Adab



Umat Islam pada abad 21 ini sedang dirundung krisis dan problematika dalam menghadapi berbagai realitas kehidupan dan zaman. Bila dibandingkan dengan harapan kemajuan yang ingin didapatkan, umat Islam dewasa ini masih lebih dominan mengalami kemunduran dan keterpurukan di berbagai bidang. Dilihat dari kondisi sosial, politik, ekonomi dan lainnya, yang sedang terjadi dan menimpa umat Islam di berbagai belahan negeri, masih menunjukkan fenomena kemunduran dan keterpurukan yang stagnan. Banyak tokoh-tokoh Islam yang kemudian menaruh perhatian dan mengidentifikasi akan penyebab fenomena tersebut. Beragam pandangan akhirnya muncul dan memberikan penilaiannya, bahwa fenomena ini terjadi karena berbagai sebab seperti politik, sosial, ekonomi atau pendidikan.
Muhammad Iqbal, Allama Maududi, Hasan al Banna, Sayyid Qutub, Taqiyyudin an Nabhani, adalah beberapa tokoh kontemporer yang memandang dan memberikan penilaian kemunduran umat Islam, disebabkan karena permasalahan politik, dan menyokong perubahan melalui kebangkitan kembali “Islam sebagai politik” [1], yang lebih menunjukkkan pada faktor eksternal. Adapula yang memandang dan mendapatkan perenungan yang berbeda, bahwa penyebab berbagai problem yang melanda umat Islam, lebih disebabkan oleh faktor internal, karena masalah yang terjadi dalam diri umat Islam.
Kedua pandangan ini tentu dapat dibenarkan, sebab dapat kita analisis dan pahami adanya keterkaitan dan hubungan antar setiap permasalahan, baik disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal yang saling mempengaruhi. Namun umat Islam perlu mendapatkan formula yang lebih strategis dan efektif, untuk menemukan sebab dan cara penanganan dalam membebaskan umat Islam dari masa kritisnya. Tidak hanya memberikan respon terhadap buah-buah yang telah tumbuh berupa fenomena keburukan sosial, tapi dibutuhkan penyelesaian yang lebih fundamental untuk memangkas akar penyebab yang menumbuhkan buah-buah permasalahan tersebut.
Syed Muhammad Naquib al Attas seorang intelektual dunia Islam, memberikan analisis mengenai problem-problem yang terjadi pada umat Islam, berakar pada faktor-faktor eksternal dan internal. Menurutnya, penyebab eksternal disebabkan oleh tantangan religius-kultural dan sosial-politik dari kebudayaaan Barat[2], sedangkan yang internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu dan aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab secara benar dalam segala bidang. Namun dari semua itu, menurut al Attas ketiadaan adablah yang harus ditinjau dan dikoreksi secara efektif jika Muslim ingin menyelesaikan problem kebingungan dan kekeliruan dalam bidang keilmuan dan menanggulangi munculnya kepemimpinan palsu dalam segala bidang. Sebab untuk memperbaiki ilmu, memerlukan adab, dan lahirnya pemimpin yang baik, melalui penanaman ilmu dan adab.[3]
Al Attas secara tegas dan konsisten hingga saat ini, menyatakan permasalahan mendasar dan menyeluruh yang menimpa umat Islam, timbul dari internal umat Islam sendiri, yaitu masalah “loss of adab” atau hilangnya adab. Dalam bukunya yang merupakan kumpulan makalah dalam Seminar Nasional Pendidikan Islam di Mekkah, tahun 1977, Prof. al Attas  menyebutkan maksud dari “loss of adab”.[4] Demikian juga dalam bukunya Islam and Secularism, yang diterbitkan pada tahun 1978, beliau menyimpulkan apa yang dimaksud dengan hilangnya adab:
“Masalah dasar dapat disimpulkan pada suatu krisis yang jelas yang saya sebut sebagai kehilangan adab (the loss of adab). Di sini saya merujuk pada hilangnya disiplin-disiplin raga, disiplin pikiran dan disiplin jiwa; disiplin  menuntut menuntut pengenalan dan pengakuan atas tempat yang tepat bagi seseorang dalam hubungannya dengan diri, masyarakat dan umatnya; pengenalan dan pengakuan atas tempat seseorang yang semestinya dalam hubungannya dengan kemampuan dan kekuatan jasmani, intelektual dan spiritual seseorang itu; pengenalan dan pengakuan atas hakikat bahwa ilmu dan wujud itu tersusun secara hirarki.[5]
Al Attas menjelaskan, bahwa hilangnya adab adalah hilangnya disiplin badan, pikiran dan jiwa, pada pengenalan dan pengakuan terhadap kedudukan yang tepat dalam hubungannnya terhadap diri, masyarakat, dan manusia, sesuai dengan hirarki atau tingkatannya. Adab adalah pengenalan yang berupa pengetahuan mendalam yang menunjuk pada keyakinan, sedangkan pengakuan adalah suatu sikap yang diwujudkan dalam amal atau perbuatan terhadap apa yang telah dikenalnya sesuai dengan tingkatan kedudukannya.
Mendisiplinkan badan, pikiran, dan jiwa sesuai pada tempat dan kedudukannya, adalah upaya dan bentuk dari adab. Menurut al Attas ketika segala sesuatu telah diletakkan pada tempatnya yang sesuai, maka akan tercipta keadilan. Sehingga adil adalah kondisi dimana adab dijalankan. Hilangnya adab menyiratkan hilangnya keadilan, yang mengiring pada kebingungan dan kekeliruan terhadap ilmu, dan menciptakan kondisi munculnya pemimpin-pemimpin palsu yang menimbulkan kezaliman atau ketidakadilan. Ketidakadilan menghasilkan kerusakan di berbagai bidang, dan mengukuhkan pemimpin-pemimpin sejenis yang bertanggung jawab terhadap masyarakat luas. Inilah seharusnya tabiat seorang Muslim bagi al Attas, yaitu tegak dalam keadilan, ketika ia memahami dan menyadari konsekuensi dirinya sebagai Muslim atau Mukmin. Al Attas menulis:
“Maka orang yang benar, yang baik, yang beriman – iaitu muslim dan mu`min – ialah orang yang adil terhadap dirinya, kerana dia telah menempatkan dirinya pada tempat yang tepat, yang sebati dengan bawaan tabiat semula jadinya, dan dengan demikian telah dapat mencapai taraf kemurnian insaniah yang membawanya setingkat demi setingkat kepada makam diri yang tentram sempurna meni`mati kesejahteraan hakiki.”[6]
Peluang perubahan yang terbaik dan mendasar bagi al Attas, dimulai dari perubahan individu manusia, melalui adab. Adapun adab ditanamkan melalui pendidikan dan pendidikan merupakan upaya penyerapan adab kedalam diri manusia. Maka perhatian utama dalam mengentaskan krisis dan melakukan perubahan mendasar dan kompleks bagi al Attas, adalah melalui jalur pendidikan, dengan formulasi pendidikan adab, yang kemudian dirumuskan dan diterapkan oleh al Attas menjadi konsep dalam pendidikan Islam yang disebut dengan ta`dib.[7] Pendidikan adab sangat penting untuk membentuk manusia yang baik.[8] Dan nasib baik atau jahatnya manusia itu bergantung kepada ajaran serta pendidikannya dalam ilmu-ilmu mengenai budi pekerti dan akhlak yang bersumberkan agama, yang terlingkup dalam bagian dari pendidikan adab.[9] Adab sendiri bagi al-Attas, tidak hanya terjadi pada hubungan seorang manusia kepada sesama manusia, namun berlaku pada setiap wujud dan kedudukan sesuatu. Ada adab kepada Allah, kepada diri, kepada manusia hingga pada ilmu, serta bahasa dan lainnya.
Di Indonesia tema dan istilah adab ini, telah cukup lumrah digunakan oleh masyarakat, bahkan secara terhormat diletakkan menjadi dasar negara, pada sila kedua Pancasila. Namun, makna adab yang dipahami ini pun masih mengalami kekaburan dan pembiasan dalam masyarakat, ada yang menganggapnya hanya sebagai bentuk dari nilai-nilai moral, kesopanan dan budi pekerti, sebagaimana yang didefiniskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).[10] Sedangkan pada ranah kenegaraan, tejadi tarik menarik penafsiran, untuk membawanya pada suatu kepentingan kebijakan ideologi tertentu.
Jika ditelusuri, pemahaman tentang adab dan pengamalannya masih rendah di Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan dengan banyaknya permasalahan yang terjadi setiap hari dan hampir pada setiap lini kehidupan masyarakat. Mulai dari individu, tingkat keluarga hingga masyarakat serta negara. Pada bidang pendidikan, sosial, hingga politik, tidak pernah sunyi dari kasus-kasus yang setiap hari terjadi dan memenuhi media massa nasional, yang bisa dipahami sebagai akibat dari ketiadaan adab. Lebih mirisnya, permasalahan seperti ini justru cukup banyak terjadi di kalangan umat Islam sendiri di Indonesia.
Di beberapa media massa nasional misalnya, diberitakan sebuah kasus yang terjadi pada tanggal 27 Februari 2016 pada sebuah lingkungan pendidikan yang dinilai tinggi dan mulia. Terjadi kericuhan di MTs atau Sekolah Islam setingkat SMP di Magelang, yaitu sekitar 60 siswa menantang guru BK (Bimbingan Konseling) dan hampir melakukan penggeroyokan kepada guru tersebut di lingkungan sekolah. Kejadian itu terjadi setelah guru BK mengumpulkan murid-murid di halaman sekolah dan memberikan peringatan kepada mereka, setelah diketahui bahwa mereka merencanakan untuk membolos sekolah dan ingin melakukan aksi tawuran pada sebuah SMP. Maka para murid yang tidak terima atas peringatan sang guru, justru berbalik menantang dan ingin menggeroyok guru tersebut, setelah diprovokasi oleh enam orang murid lainnya.  Pengeroyokan pun hampir terjadi dan segera dilerai oleh guru lainnya. Hingga akhirnya pihak sekolah memutuskan menghubungi polisi, sehingga para murid berhasil diamankan.[11]
Pada hari yang sama, tanggal 27 Februari 2016, terjadi pengeroyokan oleh 12 orang santri kepada salah seorang santri yang juga merupakan teman satu pesantrennya, di sebuah kota yang terkenal sebagai kota santri, di Jombang, Jawa Timur. Seorang santri yang telah dikeroyok oleh teman-temannya ini akhirnya meninggal, setelah dilarikan di rumah sakit pada malam harinya.[12]
Umat Islam dan para orang tua pasti merasa terpukul dengan kasus seperti ini, terlebih hal ini terjadi di lingkungan pendidikan Islam oleh para pelajar yang diharapkan kepemimpinannya di masa depan. Kepercayaan yang harusnya diberikan umat Islam kepada pendidikan Islam untuk membina dan menyiapkan generasi muda Islam, akhirnya dapat pandang tidak ada bedanya dengan sekolah pada umumnya. Bahkan sekolah Islam dapat dianggap lebih rendah dan menjadi pilihan nomor sekian setelah sekolah-sekolah umum lainnya. Demikian juga yang terjadi di lingkungan pendidikan tinggi Islam, banyak bermunculan akademisi dan ilmuan yang justru tidak beradab kepada Islam, ada yang menyamakan al Qur`an dengan koran, menyatakan bahwa homoseksual adalah sebuah sunnatullah, hingga mempublikasi bahwa Tuhan telah membusuk. 
Pada ranah penting lainnya, yaitu dalam lingkup kenegaraan. Kepemimpinan yang diberikan sebagai amanah untuk mengatur urusan manusia secara luas, juga terjadi kehilangan adab. Banyak manusia-manusia yang tidak berilmu diangkat menjadi pemimpin, mereka memiliki mental yang lemah serta jauh dari kepribadian dan loyalitas terhadap Islam. Sebagaimana pernyataan yang pernah ditayangkan di sebuah acara TV Swasta Indonesia, pada tanggal 14 Oktober 2014. Ada seorang politisi yang membuat pernyataan, bahwa di atas hukum agama dan adat masih ada konstitusi negara. Ia kemudian menyebut dirinya sebagai orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia. Sang politisi dalam hal ini telah meletakkan ayat-ayat konstitusi di atas ayat-ayat Al Qur`an.[13]
Kiblat pengetahuan dan gaya hidup yang telah bergeser ke dunia Barat, membawa nilai dan kebudayaan Barat yang terhimpun dalam paket pendidikan yang dijajakannya pada dunia Islam. Hal ini membuat masyarakat dan generasi yang selanjutnya lahir dan hidup dalam keadaan prematur dan latah, tergerus dalam degradasi moral dan kelemahan mental. Hal ini pula yang secara berangsur menciptakan bencana dan kekacauan terhadap tatanan sistem pemikiran dan kehidupan manusia.


[1] Sukran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, Transformasi Dinasti Usmani Menjadi Republik Turki, Jakarta: Anatolia Prenada Media Group, 2007, hlm. xiv.
[2] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 198.
[3] Syed Muhammad Naquib al Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: PIMPIN-CASIS UTM, 2010, hlm. 130.
[4] Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qolam-INSISTS, 2015, hlm. 101.
[5] Syed Muhammad Naquib al Attas, Islam dan..., hlm. 129.
[6] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001, hlm. 39.
[7]Gagasan al Attas mengenai adab pernah beliau wujudkan dalam sistem pendidikan tinggi bertaraf internasional (program Master dan Doktor) yang pernah dibangunnya, yaitu International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Malaysia. Berdasarkan filsafat pendidikan yang lebih menekankan pengembangan individu, tetapi juga tidak memisahkan secara sosial dalam hal cara dan konteks pelaksanaannya, al Attas menentukan tujuan pendidikan dalam Islam, yaitu, “Tujuan mencari ilmu dalam Islam adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri pribadi. Oleh karena itu tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan manusia yang baik. Apa yang dimaksud dengan `baik` dalam konsep kita tentang `manusia baik`? Unsur asasi yang terkandung dalam konsep pendidikan Islam adalah penanaman adab, karena adab dalam pengertian yang luas di sini dimaksudkan meliputi kehidupan spiritual dan material manusia yang menumbuhkan sifat kebaikan yang dicarinya.” (Syed Muhammad Naquib al Attas, Islam dan..., hlm. 187.)
[8] Menurut al Attas, tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan manusia yang baik. Manusia yang baik, adalah manusia yang beradab, yaitu manusia yang terbina dalam pendidikan adab. Manusia yang baik menurut al Attas, adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam yang tampak maupun yang gaib. Itulah sebabnya, dalam pandangan Islam, manusia yang baik atau individu yang baik secara alami harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anaknya, suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang baik, dan warga negara yang baik bagi negaranya. Ketika setiap tingkatan kehidupan telah baik, maka akan menghasilkan jaringan dan pengaruh hubungan yang baik dalam tujuan pembentukan manusia yang sempurna, serta berdampak langsung pada kemajuan negara.
[9] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk..., hlm. 43.
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, dalam http://kbbi.web.id/adab, diakses pada 10/03/2016, pukul 9.30 WIB.
[11] Miris..Dilarang Tawuran, 60 Siswa Siap Keroyok Guru BK, Ini yang Dilakukan Polisi, (28/02/16), dalam http://www.reportaseguru.com/2016/02/Miris...Dilarang.Tawuran.60.Siswa.Siap.Keroyok.Guru.BK.html . Juga dalam  http://www.radarkedu.com/mungkid/murid-hendak-keroyok-guru-bk/, diakses pada 06/03/2016, pukul 07.24 WIB.
[12] 12 Santri di Jombang Keroyok 1 Santri hingga Tewas, (29/02/16), dalam http://www.timesindonesia.co.id/baca/119626/20160229/210223/12-santri-di-jombang-keroyok-satu-santri-hingga-tewas/, diakses pada 06/03/16, pukul. 07.39 WIB.
[13] Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, Panduan Menjadi Cendikiawan Mulia dan Bahagia, Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 255.

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons