Aug 19, 2015

“Menemukan Jati Diri Pendidikan Islam”



Pendidikan mendapatkan tempat yang sentral dalam sebuah bangunan peradaban, sebab ia merupakan jalan utama yang berperan dalam menyiapkan, membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta keterampilan, pada manusia dan kehidupannya. Baik pada unsur fisik, nalar maupun jiwa.
            Berbagai lembaga-lembaga pendidikan, kini telah berdiri dan menjamur di berbagai daerah, baik kota maupun desa. Dengan berbagai program dan fasilitas unggulan yang ditawarkannya, memberi ketertarikan pada masyarakat, khususnya orang tua, untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang terbaik baginya. Ada lembaga yang dikenal sebagai tempat pendidikan umum, ada juga yang berbasis agama, seperti sekolah-sekolah Islam, dengan muatan pelajaran agama yang lebih banyak daripada sekolah umum.
            Lembaga pendidikan Islam sejak awal tidak bisa dipandang sebelah mata, yang hingga kini terus mengalami peningkatan pengakuan dan kepercayaan, dibandingkan sekolah umum. Seperti didapati di kota-kota besar, banyak orang tua yang memilih memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah Islam, meskipun dengan biaya masuk yang cukup besar, puluhan hingga seratus juta, dan SPP jutaan rupiah perbulan. Tidak menghalangi para orang tua untuk memberikan pendidikan terbaik untuk anaknya.
            Sekolah Islam memiliki keunggulan dan nilai yang istimewa di mata masyarakat Muslim, sebab mengajarkan tentang keimanan, adab-adab keseharian, akhlak yang baik, keterampilan hidup dan pelajaran-pelajaran pada umumnya.
Terlebih di zaman yang bebas, dengan iklim kehidupan yang tidak baik saat ini, semakin mendorong dan meyakinkan orang tua bahwa sekolah Islam akan menjaga dan memberikan kebaikan kepada anak-anaknya.
            Ketika lembaga pendidikan Islam telah mendapatkan sambutan dan pilihan oleh banyak masyarakat Muslim, maka tantangan untuk mengemban amanah di lembaga pendidikan tersebut, kemungkinan juga akan semakin besar.
Tantangan pertama yang dapat terjadi, yaitu pada guru atau pendidik. Guru yang tidak memiliki pandangan hidup Islam dapat mengiring siswa pada pemikiran dan penafsiran yang salah terhadap ilmu. Orientasi hidup yang tidak benar, juga dapat menggelincirkan guru pada sikap pragmatis, mengambil atau menilai pekerjaannya dengan seberapa besar keuntungan materi yang akan didapatkannya, sehingga keikhlasan, ketulusan, keteladanan serta keprofesionalan mendidik dapat luntur dan hilang.
Orang tua siswa yang tidak memahami tentang kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan ilmu pada anak-anaknya, dapat terjangkit penyakit “sekolahisme”, yaitu menilai pendidikan dengan seberapa besar popularitas dan fasilitas sekolah yang akan dipilihnya, tanpa melihat asupan ilmu dan proses pendidikan seperti apa yang diberikan di dalamnya.
Kedua tantangan dalam sistem dan kurikulum sekuler. Tantangan sistem pendidikan sekuler, telah membatasi keluasan dan keleluasaan tradisi pendidikan Islam, sehingga muncul dikotomi antara pendidikan formal dan informal, kulikuler dan ekstrakulikuler, pendidikan dipandang hanya sebatas yang terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, pendidikan utama yang seharusnya terjadi di dalam keluarga dan lingkungan hidupnya, diabaikan. Mencukupkan diri dengan apa yang sudah didapatkannya di sekolah.
Dalam kurikulum pendidikan sekuler, dijumpai sebagian jatah pelajaran yang bersebrangan dan menghambat hakikat dan tujuan dari pendidikan Islam, sehingga terjadi kesulitan dan kebingungan, mana yang harus lebih dipenuhi dan diikuti antara keduanya, porsi ilmu fardu ain yang diberikan tidak memadai.
Potensi kecerdasan, kepintaran dan keterampilan yang dimiliki siswa, akhirnya kurang mendapatkan tempat dan dimaksimalkan. Muncul kemudian siswa-siswi yang lebih tertarik pada keilmuan umum, tanpa diimbangi atau belum dipenuhi dengan keilmuan Islam. Pendidikan Islam akhirnya dapat mandul dalam melahirkan pakar-pakar dibidang ushuluddin, seperti tafsir, hadist, fiqih dan lainnya, padahal kebutuhannya masih sangat besar dan harus disediakan.

Lahirnya sistem dan konsep pendidikan Islam yang mandiri, dengan model pesantren yang sejak dulu dikenal ideal dalam menghidupkan tradisi dan tujuan keilmuan Islam, akan menjadi titik awal dan image baru, serta solusi atas permasalahan mendasar dalam pendidikan. Sistem pendidikan Islam ini telah membuktikan perannya sejak dulu hingga saat ini mencetak manusia-manusia secara utuh, yang pada akhir dan  seharusnya menjadi seorang guru, sebagaimana yang sangat tepat disebutkan dalam tujuan Ma`had `Aly Imam Ghazaly, yaitu untuk mencetak guru-guru yang mampu menjadi teladan, profesional, mukhlish, berjiwa mujahid dakwah, berjiwa pemimpin, mampu hidup mandiri dan menguasai berbagai bidang atau permasalahan. Dari sini kemudian jati diri pendidikan Islam akan ditemukan.

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons