Aug 23, 2015

Manusia Bisa Tahu Kebenaran dan Mengikutinya


Pemikiran merupakan tahapan awal dalam proses pencarian. Seorang yang berpikir tentang suatu hal dapat tergiring pada bentuk perasaan yang berupa keyakinan atau keraguan, penerimaan atau penolakan. Pemikiran juga menghasilkan keinginan atau kemauan yang selanjutnya dapat teraplikasi dalam pernyataan atau perbuatan. Pernyataan atau perbuatan seseorang dapat mencerminkan apa yang dipikirkan. Maka pemikiran erat kaitannya dengan keimanan yang merupakan ukuran aqidah Islam dan sarana menentukan kebenaran. Seorang yang berpikir atau menyatakan bahwa semua agama adalah benar, sejatinya ia tidak hanya sekedar berpikir tentang kebenaran agama yang dianutnya, namun juga meyakini kebenaran agama lainnya. Dalam arti berpikir tentang apa yang diyakininya dan meyakini apa yang dipikirkannya.
Selain dengan akal, proses berpikir juga melibatkan hati, ia merupakan bagian tertinggi dalam diri yang dapat memikirkan dengan jernih dan sesuai dengan fitrah dan nurani, menjadi wadah terpupuknya keyakinan atau keraguan, kebenaran atau kesalahan.
Kaum Sofis pada masa Yunani atau kaum Relativis pada masa sekarang, telah memberikan penyakit pemikiran yang kronis. Ia merupakan bentuk pemikiran yang mengiring manusia pada keraguan (skeptis) dan kebingungan (confius), pemikiran relatif yang tidak meyakini segala sesuatu, dan meragukan segala sesuatu. Baginya kebenaran dari objek dan ilmu itu tidak ada, ia tergantung dari pemikiran seseorang tentangnya.
Relativisme memunculkan sikap berlepas diri dan mengakui semua perbedaan tanpa ada klaim kebenaran tunggal. Bagi mereka, manusia adalah mahluk yang relatif sehingga tidak mampu untuk mencapai kebenaran, hanya Tuhan yang tahu kebenaran mutlak. Jadi salah atau benar, itu adalah hal relatif bagi manusia dan bisa dinegasikan. Karena hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran, maka kebenaran tertinggi adalah ketika seseorang mengatakan “Saya tidak tahu”.
Cara berpikir bahwa “Tidak ada kebenaran mutlak” juga telah diangkat menjadi metodologi ilmiah dalam dunia akademik, bahwa yang namanya ilmiah adalah tidak meyakini sesuatu dan tidak memihak pada salah satu, jika memihak itu akan menjadi subjektif atau ideologis. Tidak menyampaikan antara yang benar dan salah, dan seseorang dipersilahkan untuk memilih sendiri yang menurutnya lebih sesuai. Dengan kesimpulan akhir bahwa “Benar menurut anda belum tentu benar menurut saya, jika anda mengklaim itu benar, saya juga berhak mengklaim itu salah. Pemikiran manusia itu relatif dan hanya Tuhan yang absolut atau tahu kebenaran, sehingga seseorang itu tidak berhak menyalahkan yang lain dengan mengatakan sesat, tidaklah layak seseorang memposisikan diri sebagai Tuhan dengan mengatakan demikian” kebenaran adalah kembali pada pendapatnya tentangnya.
Dasar pemikiran yang menganggap semua relatif seperti ini pula yang kemudian melahirkan paham-paham seperti pluralisme yang menyamakan semua agama, feminisme yang mensejajarkan antara wanita dan pria, dan banyak pemahaman lainnya yang menjadi sistem hidup seperti demokrasi dan HAM yang memandang dan menyetarakan manusia, dengan harapan tidak ada diskriminasi dan tidak saling menyalahkan.
Pernyataan “Tidak ada kebenaran mutlak” atau “Semua kebenaran sama” sebenarnya juga sangat kontradiktif dan berlawanan. “Tidak ada” atau “semua” merupakan bentuk pernyataan yang memutlakkan. Padahal ia juga mengatakan bahwa “semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan tersebut juga berarti relatif dan tidak mutlak. Kalau “Semua adalah relatif”, maka yang mengatakan “Di sana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “Di sana tidak ada kebenaran mutlak”. Yang bermakna merelatifkan semua kebenaran, namun memutlakkan nilai kebenaran dari pernyataannya. Meragukan kebenaran, dan membenarkan keraguaannya. Maka pernyatan-pernyataan seperti juga menunjukkan hal yang ambigu dan absurb, yang memiliki arti dapat terbuka terhadap gugatan, anggapan, serta pertanyaan.
Memberi maksud logis yang ingin dinyatakan bahwa “Manusia itu tidak tahu kebenaran mutlak kecuali saya” atau “Semua kebenaran itu relatif, kecuali kebenaran dari pernyataan saya”. Jika saja ia konsisten dengan pendapatnya bahwa “Hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran” seharusnya ia tidak ngomong dan juga tidak ikut menyalahkan yang mengetahui dan menyatakan tahu akan kebenaran, sebab ia sendiri bukan Tuhan dan tidak tahu akan kebenaran.
Maka seorang yang menolak konsep kebenaran sekalipun, tidak dapat menolak dan tak terasa telah meyakini kebenaran konsep pemikiran mereka sendiri. Seorang atheis yang tidak mempercayai Tuhan karena membatasi konsep kebenaran pada yang terindra, tetap percaya bahwa keyakinannya tentang ketiadaan Tuhan itu benar adanya. Keraguaannya akan banyak atau satu hal, akan memilihkannya yakin pada hal lainnya. Inilah keyakinan yang menurutnya benar, dan akan selalu ada pada setiap diri manusia.

Mengetahui Kebenaran
Islam memberikan perintah wajib untuk belajar sejak dini, untuknya dapat mencari, mengetahui hingga meyakini, dengan puncak pengetahuan tertinggi dalam Islam yaitu mengenal Tuhannya yang menjadi wujud keyakinan dan kecintaan kepada-Nya. Maka kebenaran dalam pandangan ummat Islam Ahlus Sunnah wal-Jama’ah adalah pasti dan bisa didapatkan. Untuk apa kemudian Allah subhanahu wa ta`ala meminta kita untuk belajar,dan mengapa Rasulullah Saw diutus untuk mengajarkan manusia, jika kebenaran dianggap relatif dan tidak ada. Lalu untuk apa pula bersusah-payah untuk belajar dan berpendidikan tinggi hingga ke luar negeri dengan seabrek title atau gelar sampai menjadi doktor atau profesor, namun tidak mampu mencapai dan mendapatkan kebenaran. Apa gunanya selama ini belajar jika tidak mengetahui dan meyakini adanya kebenaran? Bukankah seseorang itu belajar untuk mengetahui dan meyakini kebenaran, lalu mengikutinya? Abraham Lincon mengatakan “No one has the right to choose to do what is wrong” Tak seorangpun yang meyakini suatu kebenaran, lalu memilih jalan yang ia yakini salah. Maka dalam Islam ilmu itu adalah kepastiaan yang mengantarkan pada kebenaran dan keyakinan. Seorang yang semakin bertambah ilmunya, mestinya harus semakin bertambah keyakinan atau keimanannya, yang menjadi prinsip kebahagiaan. Tidak akan ada orang yang bahagia dengan keraguan, sebab kebahagiaan itu adalah ketika seorang yakin pada sesuatu, dan hidup dalam keyakinannya.
Manusia sebagai mahluk yang telah diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta`ala dengan sempurna, telah diberikan kemampuan dan daya untuk mampu mencapai kebenaran. Meski juga dengan keterbatasannya, tapi tidak sampai menggugurkan nilai kebenaran dan keabsahan ilmu pengetahuan dan kenyataan yang didapatkannya.
Manusia normal, pada umumnya mampu untuk memilah, membedakan, menilai dan menentukan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang berguna dan mana yang berbahaya, dan seterusnya. Dengan kapasitas diri dan ilmunya, secara lahir dan batinnya, mental dan spiritualnya, akal dan hatinya, yang menjadi diameternya.
Maka dalam Islam, mengetahui dan mengenal bukanlah sesuatu yang mustahil. Yang masih dipertanyakan atau dapat dinegasikan. Tidak benar kemudian ungkapan-ungkapan yang menyudutkan atau membenarkan segala hal, sebagaimana kaum sofis atau relativisme yang menganggap manusia tidak dapat mengetahui kebenaran.
            Pendirian kaum Muslimin bahwa kebenaran itu bisa didapatkan. Dalam soal ini disimpulkan oleh Abu Hafs Najmuddin ‘Umar ibn Muhammad an-Nasafi dalam kitab Aqa`id menjelaskan secara ringkas“haqa’iqul asyya’ tsabitah, wal-ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan lis-sufistha’iyyah”.Ditegaskan bahwasanya hakikat, kuiditas atau esensi dari segala sesuatu itu tetap (dan oleh karena itu bisa ditangkap), tidak berubah (sebab yang  berubah-ubah itu hanya sifat-sifatnya, a’rad, lawahiq atau lawazim-nya saja), sehingga ia bisa diketahui dengan jelas. Maka ilmu tentang kebenaran tidak mustahil untuk diketahui oleh manusia sebagaimana ditegaskan dalam   Al-Qur’an surah az-Zumar (39:9): “…. katakanlah: Apakah sama, orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?”[1]
            Jadi kuiditas atau esensi dari segala sesuatu itu tetap. Gula rasanya manis, garam rasanya pahit, manusia bisa dibedakan dengan monyet, meskipun monyet dipakaikan baju, ia akan tetap jadi monyet dan tidak akan pernah menjelma menjadi manusia. Seorang anak bernama agus, meskipun ia tumbuh menjadi remaja, dewasa dan tua dengan perubahan fisiknya ia tetap akan dikenal sebagai agus, tidak akan berubah menjadi slamet dan tidak akan dipanggil slamet, selama orang telah mengenalnya dan tidak mengubah namanya.
Berbeda dengan kaum relativis yang mengganggap kebenaran dari suatu objek itu tidak ada, sehingga selalu saja beralasan, meragukan, keras kepala dan tidak akan pernah mencapai kebenaran. Misal mengatakan “gula itu rasanya bisa saja manis atau pahit, tergantung orangnya, kalau ia sehat bisa manis, kalau ia sakit bisa jadi pahit”, “api itu rasanya bisa saja panas atau tidak, tergantung orangnya, kalau ia kebal tidak akan panas”.
Namun esensi atau hakikat segala sesuatu itu tetap dan tidak berubah. Semut yang tidak bisa berpikir saja tidak pernah salah untuk mengambil antara gula yang manis dengan garam. Api zaman dahulu dan zaman sekarang juga tetap sama dan tidak berubah, ia panas dan dapat membakar, jika kaum relativis tidak yakin, bisa dibuktikan dengan berdiri di atasnya selama beberapa jam saja. Presiden Indonesia yang pertama itu adalah seorang laki-laki, dan itu sudah diakui, namun orang relativis bisa saja mengatakan ia bisa jadi wanita atau banci. Wanita cantik atau kembar sekalipun, yang sering dikatakan relatif, sebenarnya dalam hakikat yang dapat dinilai seseorang, memiliki nilai lebih dan mutlak yang dapat dipilih.
Yang perlu digaris bawahi bahwa kebenaran mutlak sesungguhnya adalah dari Allah, manusia memiliki kebenaran atau kenyataan yang bersifat sementara, kecuali pada esensi diri dan ilmunya yang kelak akan diperhitungkan. Dalam kehidupan, ukurannya bukan dari hukum kausalitas atau sebab akibat yang dapat diindra secara fisik saja seperti api rasanya panas. Namun sebenarnya ada sunnatullah atau ada kehendak Allah di dalamnya yang menjadikan sesuatu itu berjalan atau bereaksi sebagaimana kita dapatkan pada umumnya. Allah bisa saja menjadikan api itu dingin, sebagaimana menjadikannya panas, seperti pada kisah nabi Ibrahim Alaihi sallam. Bisa menjadikan seseorang berjalan dengan wajahnya, sebagaimana menjadikannya dapat berjalan dengan kakinya, ketika dihari pembalasan, dan lainnya, agar seseorang tidak sombong dan dapat mengambil hikmah dibaliknya. Semua dapat berlaku jika Allah menghendaki dan memberikan izin pada waktu yang telah ditentukan.
Islam menetapkan bahwa manusia dapat mengetahui kebenaran adalah melalui tiga sumber yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal yang sehat (ta`aqqul), serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shadiq). [2] Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur`an. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS.an Nahl:78). “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS.al Isra:36). “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya serta menyaksikannya.”(QS.Qaf:37). “Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, serta mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengannya dapat mendengar? Memang sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi telah buta hati yang ada di dalam dada.” (QS.Al Imran:138). “Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Imran:138). “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dan Allah, dan kitab yang memberi penjelasan.”(QS.Al Ma`idah138). “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Qs.Al A`raf:179)
Panca Indera
Manusia memiliki lima kapasitas  dari pancaindra yang diberikan Allah kepadanya, yang mana merupakan saluran pertama manusia untuk mengetahui kebenaran atau fakta yang didapatkannya, yaitu daya penglihatan, pendengaran, daya sentuh, daya cium dan daya rasa.
Seseorang dapat meraba dan merasakan bentuk dan rasanya roti yang manis, sehingga ia yakin untuk memakannya. Pada daya melihat, kita dapatkan secara jelas warna, bentuk, jenis dan lainnya.Seandainya ada seorang anak yang buta sejak kecil, maka warna itu tidak wujud baginya, warna tidak ada dalam memorinya. Ia tidak bisa membuktikan ada warna hitam jika tidak mengetahui adanya warna putih, warna hijau, warna biru, dan sebagainya, kecuali dengan bersandar pada yang dapat melihat. Informasi tentang warna hanya bisa dijangkau dengan daya penglihatan, semisal buah apel meskipun disentuh, dibunyikan dan dicium tidak akan pernah menghasilkan warna hijau. Masing-masing pancaindera ini memberikan informasi atau konsep ilmu tersendiri. Yang hal itu bisa kita ambil sebagai kebenaran pada sumber realitas atau empiris.
            Namun sifat dari pancaindera itu sendiri terbatas, dan terkadang menghasilkan ilmu yang masih parsial. Untuk mengindera secara fisik saja kita tidak dapat menyimpulkannya dengan benar. Seseorang dapat merasakan adanya angin, namun tidak akan mampu melihat dan menggambarkan bagaimana rupanya. Bisa merasakan rasa manis, namun tidak bisa menunjukkan di mana letak manis tersebut.Sebagaimana juga dikisahkan oleh Imam Ghazali ketika seorang melihat bulan di langit pada kegelapan malam, ukuran bulan terlihat kecil, padahal sebenarnya bahwa bulan itu besar. Itulah beberapa keterbatasan panca indra.
Akal dan Hati
Akal yang normal merupakan saluran ilmu yang menjadi kapasitas manusia untuk dapat menilai, memilih, memilah, membandingkan, membedakan antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang betul dan keliru, dan lainnya.
Akal merupakan penyempurna dari kelemahan pancaindera. Akal dapat menalar dan menjadi alur pikir untuk menyimpulkan lebih luas. Sebagaimana telah disebutkan oleh Imam Ghazali, meski manusia ketika itu belum sampai ke bulan, namun bisa memberikan kesimpulan bahwa bulan itu besar, tidak seperti yang terlihat oleh mata bahwa bulan sebesar uang logam. Sama halnya ketika kita melihat rumah dari jarak jauh yang terlihat sebesar genggaman tangan, namun akal akan menafikkannya, dan dapat menyimpulkan bahwa rumah tersebut besar.
Orang-orang arab dahulu tahu, bahwa adanya kotoran unta, menandakan ada unta yang pernah atau lewat di tempat tersebut. Adanya kurma menandakan adanya pohon yang membuahkannya. Adanya asap yang keluar dari rumah, menandakan adanya api di dalam rumah tersebut.
Akal memiliki tiga kriteria, yaitu wajib, mustahil dan mungkin. Wajib bagi akal adalah sesuatu yang akal kita tidak bisa menolaknya dan harus menerimanya. Seperti seorang anak lebih muda dari bapaknya, keseluruhan lebih besar daripada sebagian. Jadi ada sesuatu yang akal tidak bisa menolak.
Yang mustahil bagi akal, atau akal tidak dapat menerimanya. Seperti seorang anak lebih tua dari bapaknya dan sebagian lebih besar daripada keseluruhan. Ini adalah yang mustahil bagi akal.
            Dan yang paling banyak adalah mungkin bagi akal. Seperti anak lebih besar dari bapaknya, istri lebih tua dari suaminya.
Dalam Islam kematangan akal ini menjadi salah satu syarat seseorang untuk dibebankan suatu kewajiban yaitu ketika baligh, sebab ia sudah mampu berpikir dan membandingkan dengan sempurna.
Islam mengakui sumber ilmu dari panca indera (empiris) dan akal (rasional), sebagaimana diadobsi dalam dunia akademik Barat saat ini. Namun sebenarnya tidak cukup dan terbatas pada dua hal itu, orang-orang yang hanya bersandar pada dua hal itu akan tergiring pada spekulasi atau praduga yang tidak ada puncaknya, sehingga kebenaran bagi mereka akan terus berkembang dan bisa berubah-ubah, tergantung dari perubahan dan kebutuhan waktunya, satu teori bisa diganti dengan teori lainnya. Karena Barat juga tidak mengakui wahyu dan hati sebagai sumber ilmu dan kebenaran, sehingga patokan utamanya hanya berdasarkan pada pancaindra dan akal saja yang membuat praduga dan keraguan-keraguan, serta kebingungan yang diangkat pada derajat “ilmiah”, bagi mereka wahyu dan hati itu hanya pengetahuan dan bukan ilmu.
Selain dengan akal, proses berpikir juga melibatkan hati, ia merupakan bagian tertinggi dalam diri yang dapat memikirkan dengan jernih dan sesuai dengan fitrah dan nurani.
Menurut Imam Ghazali hati juga memiliki entitas yang sama dan berkedudukan di hati. Qalb (hati) diibaratkan sebagai istananya, sedangkan `aql (akal) adalah rajanya. Keduanya memiliki fungsi kognisi (pengetahuan) dan afeksi (sikap) karena keduanya mampu melakukan aktivitas berpikir sekaligus merasa. [3]
Hati kecil atau hati nurani merupakan tempat untuk memikirkan lebih mendalam, dan penilaian hati itu akan kembali pada fitrah atau alamiah seseorang sebagai makhluk dan hamba Allah dalam kebaikan. Membunuh tanpa ada alasan itu adalah bentuk kejahatan. Menyakiti atau menzalimi seseorang merupakan perbuatan yang tidak disukai. Mencuri merupakan keburukan. Semua merupakan nilai lahir yang dimiliki manusia, selama hatinya tidak tertutupi oleh keingkaran dan kesesatan. Tidak ada seorang yang menerima dan meminta agar dirinya disakiti dan barangnya  dicuri, karena menganggap hal itu relatif.
Jika pancaindra hanya dapat menjangkau secara fisik, namun akal dan hati dapat memikirkan lebih luas dan mendalam lagi. Mengapa daun warnanya hijau? Karena ada klorofilnya yang membuat warna hijau. Tapi mengapa daun tersebut berwarna hijau dan tidak berwarna merah atau coklat saja? Mengapa alam semesta beredar pada garis edarnya dan tidak saling bertabrakan dan mendahului dengan lainnya? Mengapa matahari dibuat dengan begitu panasnya dengan jarak yang begitu jauhnya, padahal jika lebih sedikit saja didekatkan lagi akan dapat membakar bumi?  Mengapa bumi diciptakan dengan berbagai penunjangnya sehingga dapat menjadi tempat hidup manusia, tumbuhan dan hewan, sedangkan diplanet lain tidak? Mengapa tubuh manusia terbentuk sangat seimbangnya, antara DNA, sidik jari dan suara dari milyaran manusia tidak ada yang serupa? Berbagai pertanyaan mendasar pada diri itu akan mengiring manusia pada lahirnya yaitu kebutuhan dan keterbatasan terhadap sesuatu dalam jiwa dan pikirannya.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”(QS.Al Imran 190-191)
Pancaindra, akal dan hati sebenarnya dapat mengiring seseorang padakeyakinan tentang adanya Sang Pencipta, namun hal itu saja tidak akan cukup. Keyakinan akan adanya  sang pencipta, harus dibimbing pada ilmu yang benar, sehingga tidak menduga-duga bahwa Tuhan itu satu, dua, tiga atau ada puluhan. Tidak menduga-duga tentang wujud Tuhan, sehingga digambarkan seperti manusia, ada yang berbentuk setengah binatang, ada yang laki-laki dan wanita, semua berasal dari kreasi pemikiran dan hawa nafsunya manusia. Membuat hukum yang sesuai dengan keinginannya, dan tidak sadar mendiskriminasi yang lainnya. Atau juga menduga-duga dan menyebarkannya pada manusia bahwa manusia berasal dari kera, hanya dengan berdasar pada sejarah manusia secara fisiknya, yaitu tulang dan dagingnya, yang sebenarnya lebih pada “sejarah tulang manusia” bukan sejarah manusia. Padahal manusia memiliki memiliki “ruh” yang menjadi unsur esensi utama manusia. Seorang bergerak dan beraktivitas sesuai dengan dorongan ruh atau jiwanya, oleh karenanya seorang manusia yang tidak memiliki tangan atau kaki masih dikatakan sebagai manusia, sedang seorang yang memiliki organ lengkap tapi tidak memiliki ruh atau telah mati, sudah tidak dikatakan manusia.
Maka banyak hal yang dasarnya tidak harus bisa dijelaskan secara empiris, namum bisa diterima secara rasional. Bagaimana menjelaskan secara ilmiah seorang nabi Isa lahir dari seorang ibu tanpa ayah. Bagaimana mengetahui siapa manusia pertama yang hidup di dunia ini. Adanya hari akhir yang akan memperhitungkan manusia untuk dimasukkan ke surga atau neraka.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. Al `Alaq:1-5)
            Ayat tersebut menuntut manusia untuk membaca, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan indra dan akalnya. Namun ilmu dan kebenaran juga bisa diperoleh langsung dengan anugrah Allah langsung kepada manusia, sebagaimana pada para nabi atau wali Allah.
Seperti Nabi Ibrahim Alaihi sallam yang mencari Tuhannya. Ia melihat bintang dan berkata “Inilah Tuhanku” namun bintang itu terbenam dan ia berkata “Aku tidak suka kepada yang terbenam”. Ia melihat bulan yang terbit, namun bulan itu juga terbenam. Hingga melihat matahari yang lebih besar, namun matahari tersebut juga terbenam meninggalkannya, ia tidak dapat menerimanya dan berkata ”Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang tersesat.” Kemudian Allah memberikannya petunjuk atau ilmu hingga sampai pada kesimpulan “Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah temasuk orang-orang musyrik.”(QS.Al An`am:79)
            Maka Islam menetapkan sumber ketiga untuk manusia mencapai ilmu dan kebenaran yaitu melalui kabar yang benar (khabar shadiq).
Kabar Yang Benar
            Khabar shadiq atau kabar yang benar merupakan sumber ilmu yang bisa lebih tinggi posisi dan derajat kebenarannya dari sumber ilmu melalui panca indra dan akal.
            Kabar yang benar dapat berupa informasi, cerita, riwayat, pernyataan, ucapan dan lainnya, yang dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai kebenaran dan otoritasnya.Para ulama ahli hadist dan ushul fiqih telah membuat metodologi yang ketat untuk mengklasifikasikan khabar shadiq berdasarkan nilai kebenarannya baik dari nara sumber, isi, dan cara penyampaiannya.
            Imam an Nasafi telah menjelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua al-khabar al-mutawatir dan al-khabar Rasul al-muayyad bil mu’jizah atau kabar dari Rasul yang disokong oleh mu’jizat, yaitu wahyu.
 Pertama, khabar mutawatir, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dari banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta, dan oleh karena itu merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya.[4] Kabar mutawatir adalah kabar yang diriwatkan dari banyak sumber dan berdasarkan kepada data empiris. Lalu disampaikan dari satu generasi ke generasi yang lain. Yang mana akal kita menolak bahwa mereka bersekongkol untuk berdusta. Seperti satu tambah dua sama dengan tiga, bumi bentuknya bulat, Ka`bah letaknya di Mekkah dan lainnya yang meskipun sesorang tinggal di tempat yang berjauhan, agamanya berbeda,  antara di Indonesia dan Amerika, semua mengakui akan hal tersebut. Meskipun seseorang berpindah dari Amerika ke Indonesia, dari Islam ke Kristen, tidak akan merubah satu tambah dua menjadi tujuh, bumi menjadi persegi panjang, dan Ka`bah tempatnya adalah di Roma. Dalam Islam ilmu ini diterima sebagai ijma` atau kesepakatan bersama. Dan inilah kebenaran universal yang tetap menjaga dunia.
KH. Hasyim Asyari adalah seorang ulama yang kita kenal sebagai pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia. Dari mana kita tahu bahwa KH. Hasyim Asyari itu benar-benar ada atau wujud? Kita hanya mengetahuinya melalui kabar mutawatir atau yang diriwayatkan dari banyak orang, meskipun kita tidak pernah bisa membuktikannya secara empiris atau nyata dan bertemu langsung dengannya, kita bisa saja menganggapnya sebagai tokoh fiktif. Namun kabar tentang adanya KH. Hasyim Asyari sangat banyak dan sampai dari generasi ke generasi, sehingga akal bisa menerima kebenarannya bahwa mustahil mereka bersekongkol untuk berbohong.
Meski demikian tidak semua kabar dari orang banyak bisa serta merta dianggap mutawatir. Para ulama telah menetapkan sejumlah syarat, apakah sebuah khabar layak untuk disebut mutawatir atau tidak. Pertama para nara sumbernya harus betul-betul mengetahui apa yang mereka katakan, sampaikan atau laporkan. Jadi tidak boleh dan tidak cukup jika sekadar menduga-duga atau mereka-reka (ghayra mujazifin la zhannin). Kedua, mereka harus mengetahuinya secara pasti dalam arti pernah melihat, menyaksikan, mengalami atau mendengarnya secara langsung tanpa disertai ilusi, distrorsi dan semacamnya (al musyahadah wa s-sama` la ala sabil al-ghalath). Ketiga, jumlah nara sumbernya harus cukup banyak sehingga tidak mungkin suatu kekeliruan atau kesalahan akan dibiarkan atau lolos tanpa dikoreksi. [5]
Peran kabartidak bisa dihindari, meski yang mengaku rasional dan empirisme sejati sekalipun akan selalu menerima kabar sebagai ilmu dan kebenaran yang harus dia percayai. Sehingga yang dianggap sebagai dogma juga sebenarnya berlaku pada ilmu pengetahuan dan kenyataan. Misalnya seorang mahasiswa dikatakan oleh dosennya bahwa diameter rata-rata bulatan Bumi adalah 12.742 km, mahasiswa tersebut langsung menerima saja pernyataan tersebut, andaikan ia adalah seorang rasional tentu dia akan kritis dan mempertanyakannya, ia menerima saja bahwa diameter bulatan bumi sebesar itu dan tidak mungkin membuktikan secara empiris. Seorang profesor juga harus menerima begitu saja tanpa pembuktian pada penjelasan seorang pramugari ketika naik pesawat, bahwa ia sedang terbang menuju ke Surabaya, saat ini sedang dalam ketinggian 2000 meter diatas permukaan laut, dan dalam waktu 20 menit lagi akan sampai di Bandara. Padahal ia sendiri tidak pernah mengenal pramugari dan juga pilot yang membawanya, apakah benar ia seorang pilot, apakah benar ia akan membawanya ke Surabaya. Ia hanya percaya begitu saja. Maka profesor tersebut telah mendapatkan kebenaran ilmiah dari jalur kabar atau pemberitaan, tidak berdasar pada empirisme. Seorang anak juga tidak selalu mempertanyakan dan membuktikan pada orang tuanya, apakah benar bahwa ia adalah ibunya. Ia tidak melihat atau memikirkan secara langsung ketika ia dilahirkan bahwa ia benar adalah ibunya, ia hanya menerima dari perkataan orang-orang disekitarnya.
Kedua adalah al-khabar Rasul al-muayyad bil mu’jizahatau kabar dari Rasul yang diperkuat oleh mu’jizat, kabar ini adalah wahyu, yang dibawa melalui para nabi yang diutus untuk memberikan penerang dan petunjuk kebenaran. Al Qur`an dan hadist merupakan wahyu Allah, yang memiliki tingkatan tertinggi dari sumber ilmu dan kebenaran, mengalahkan panca indra dan akal, serta kabar lainnya. Sebab ia merupakan pesan utama dari Allah Sang Pencipta dan dibawa oleh manusia yang memiliki otoritas dan kemuliaan tinggi.
Para nabi merupakan manusia pilihan yang telah diakui kejujuran, keilmuan, kemampuan, dan diperkuat dengan adanya mukjizat kebenaran. Rasulullah Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan seorang nabi terakhir dan penyempurna dari ajaran para nabi sebelumnya, dan diutus untuk semua kaum.
Mukjizat terbesar yang dibawa oleh Rasulullah adalah Al Qur`an yang memuat berbagai kebenaran yang tidak bertentangan dan diakui hingga akhir zaman. Baik dari peristiwa, perjanjian, hukum, hingga ilmu pengetahuan, termuat dengan benar. Maka untuk mengidentifikasi kebenaran suatu agama dapat ditinjau dari dua hal ini, siapa yang menyampaikan dan apakah benar yang disampaikannya.
Benar adalah kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan. Penerimaan antara hati dan akal.Beberapa kriteria yang membuktikan kebenaran Islam.[6]
Pertama, ajaran yang rasional: Pencipta telah memberikan pertimbangan dan intelektual kepada manusia, maka kewajiban manusia untuk menggunakannya, agar dapat membedakan kebenaran dari kebohongan. Wahyu itu dari Allah, pasti rasional, dan dapat dirundingkan tanpa ada pikiran yang memihak. Adanya ganjaran pahala dan dosa, surga dan neraka, merupakan hal yang rasional sebagai bentuk keadilan Allah kepada manusia, jika tidak ada, maka manusia akan berbuat sesukanya, meskipun tidak dapat langsung diindra.
            Kedua, kesempurnaan: Sang Pencipta adalah sempurna, maka wahyu-Nya pasti sempurna dan akurat, bebas dari kesalahan, kelalaian, penambahan/interpolasi dan versi yang bermacam-macam, dan bebas dari kontradiksi dalam penyampaiannya. Memuat berbagai hal mendasar yang benar dan dapat dibuktikan, serta dijelaskan.
Ketiga, tidak ada cerita yang dibuat-buat atau takhayul: wahyu yang benar bebas dari cerita yang dibuat-­buat atau takhayul yang menurunkan martabat Sang Pencipta atau diri manusia. Semua cerita yang disebutkan merupakan kenyataan dan telah berlangsung.
Keempat, ilmiah:Sang Pencipta adalah Pencipta alam dan kehidupan, maka seluruh ilmu pengetahuan, wahyu yang benar pasti ilmiah dan dapat bertahan terhadap tantangan ilmu pengetahuan di setiap saat.Sebagaimana banyak yang telah disebutkan dalam Al Qur`an tentang proses tahapan lahirnya manusia, bumi yang berbentuk bulat dan berotasi pada garis edarnya, langit yang terdiri dari tujuh lapisan, dan lainnya, yang merupakan kebenaran yang baru dapat dibuktikan pada perkembangan sains dan teknologi abad 20.
Kelima, Ramalan atau perjanjian yang menjadi fakta: Pencipta kita lebih tahu masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang, maka ramalan-Nya dalam wahyu­-Nya dimasukkan sebagai ramalan.Seperti kabar tentang kemenangan pasukan Roma terhadap Persia, kejatuhan konstantinopel ke tangan ummat Islam, munculnya dajjal, Nabi Isa dan Imam Mahdi dan sangat banyak lainnya baik yang sudah atau akan terjadi.
Keenam, Tidak dapat ditiru manusia: wahyu yang benar adalah sempurna dan tidak dapat ditiru manusia. Wahyu Allah yang benar adalah keajaiban yang hidup, sebuah kitab yang membuka tantangan manusia untuk melihat dan membuktikan kepada diri mereka sendiri keautentikannya / keasliannya atau ketelitiannya.Bahkan Allah menantang manusia untuk membuat ayat satu semisalnya saja, dengan mengajak siapa saja.

"Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terangkepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu. " (QS Fushshilat : 53)

Selain Allah telah menjamin kebenaran Al Qur`an dan menjaganya. Para ulama juga telah memiliki tradisi keilmuan yang sangat ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan untuk  menjaga keontetikan Al Qur`an maupun hadist.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al-Hijr. 9)
Dalam ilmu hadist ada ilmu hadist Riwayah dan ilmu hadist Dirayah. Menurut Ibn al Akfani, ilmu riwayah adalah ilmu yang mencakup perkataan dan perbuatan Rasulullah, baik periwayatannya, pemeliharaannya maupun penulisan atau pembukuan lafazh-lafazhnya. Objek ilmu ini adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, dan memindah atau mendewankan. Sedangkan ilmu dirayah (musthalah) menurut Iman at Tirmidzi sebagai undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui sanad (riwayatnya) dan matan (isinya), cara menerima dan meriwayatkannya, sifat-sifat perawinya, dan lainnya. Objek ilmu Dirayah adalah keadaan para perawi (yang meriwayatkan) dan marwinya. Keadaan para perawi menyangkut pribadinya seperti akhlak, tabiat, dan keadaan hafalannya serta persambungan dan terputusnya sanad. Sedangkan keadaan marwi adalah ditinjau dari sudut keshahihan (kuat), kedhaifan (lemah) dan hal-hal yang berkaitan dengan keadaan matan hadist.[7]
Ilmu hadist ini memiliki peran yang sangat penting untuk mengklasifikasikan hadist.  Hadist dikatakan shahih apabila mata rantai transmisinya jelas dan tidak terputus hingga ke Rasulullah, melalui sumber-sumber yang terpercaya, tidak terkenal atau tertuduh sebagai pendusta, tidak banyak salahnya, tidak kurang teliti, tidak fasiq, tidak meragukan, tidak ahli bid`ah, tidak lemah ingatannya, tidak sering menyalahi sumber lain yang lebih otoritatif, bukan tidak terkenal. Jika syarat-syarat tersebut di atas kurang atau tidak terpenuhi maka khabar yang bersangkutan disebut hasan (apabila sumbernya tidak tertuduh berdusta) atau dha`if (apabila cacatnya cukup fatal), dan jika persyaratan itu semua tidak terpenuhi maka disebut maudhu (palsu). Adapula khabar-khabar non shahih yang diberikan istilah khusus, seperti marfu`(perkataan sahabat yang riwayatnya diangkat sampai kepada Rasulullah Saw), mawquf (perkataan sahabat yang riwayatnya terhenti, tidak sampai pada Rasulullah Saw), mursal, mudallas, muallaq.[8]
Berkaitan dari jumlah narasumbernya salah satunya contohnya adanyakhabar al wahid atau ahad,yaitu kabar yang diriwayatkan dari satu orang. Imam Muhammad ibn Ali bin Muhammad as Syawkani (w.1225 H/ 1839 M) bahwa kabar wahid baru bisa diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat. Pertama, sumbernya harus seorang mukallaf, yaitu orang yang telah kena kewajiban melaksanakan perintah agama dan bisa dipertanggung jawabkan, ucapan anak-anak dibawah umur atau omongan orang gila yang ngawur dan semacamnya tidak diterima. Kedua, sumbernya harus beragama Islam. Konsekuensinya tidak diterima khabar, pernyataan atau pendapat orang kafir (mengenai ajaran Islam), sehingga riwayat-riwayat Isra`iliyyat disensor oleh para ulama.Ketiga, sang narasumber harus memiliki `adalah, yaitu integritas moral pribadi yang menunjukkan ketakwaan dan kewibawaan diri (muru`ah), sehingga timbul kepercayaan orang lain kepadanya, termasuk dalam hal ini meninggalkan dosa-dosa besar dan menjauhi dosa-dosa kecil. Keempat, si narasumber diharuskan memiliki kecermatan dan ketelitian, tidak sembrono dan asal jadi. Kelima, narasumber harus jujur dan terus terang, tidak menyembunyikan sumber rujukannya (ghayr mudallis) dengan cara apapun, sengaja maupun tidak sengaja.[9]
Berdasarkan derajat validitas atau kebenaran isinya juga telah dibuat kategori qath`i  (pasti) dan zhanni (kemungkinan), kemudian dibagi lagi berdasarkan tsubut (kebenaran sumbernya) dan dalalah (makna, makna, signifikansi dan implikasinya). Jadi banyak sekali yang menjadi sistematika dan ranah kajian untuk menjaga kebenaran wahyu, yang tidak terdapat pada tradisi keilmuan agama lain, sehinggamenjadi celah terjadinyaperubahan dan pemalsuan pada ajaran mereka.
Abdullah ibn al Mubarak (w.181 H/797 M) mengatakan “Tanpa isnad, niscaya setiap orang akan berkata tentang apa saja sesuka hatinya.” Ada juga yang mengatakan bahwa ilmu sanad adalah bagian dari agama. Demikian juga para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in, Abu Hurairah r.a, Ibn Abbas r.a, Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, Hasan al Basri mewanti-wanti “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Karena itu, perhatikanlah dari siapa kalian berguru dalam soal agama”[10] Hal.216]

Kebenaran Antara Islam dan Kristen
Dalam Islam kebenaran pokok (aqidah) atau prinsip (ushul) itu sudah mutlak, dan tidak ada perbedaan. Ukurannya adalah antara haqq dan batil, yang benar atau yang salah,  iman atau kafir. Sedangkan perbedaan-perbedaan pendapat antar empat mazdhab fiqih, merupakan kebenaran relatif yang telah diakui dan diterima karena otoritas dan metodologinya dalam menggali dan menentukan hukum Islam melalui sumber-sumber hukum utama, yang selanjutnya menjadi disiplin umat Muslim dalam melaksanakannya. Hal ini merupakan perkara cabang (furu), yang ukurannya adalah shawwab dan khatta, yang memungkinkan salah atau benar. Ukuran salahnya masih dalam ranah yang masih berdasar dan wajar, atau memang memungkinkan berbeda karena makna, konteks dan redaksi yang beragam menjadi kemudahan dan saling melengkapi. Yang hal ini tidak mengeluarkannnya dari Islam.  Jika benar mendapatkan dua pahala dan salah mendapatkan satu pahala.
Kebenaran pokok dalam Islam telah jelas dan harus dipertegas. Antara keimanan dan kekufuran, kebenaran dan kebatilan, kelurusan dan kesesatan, dapat diindikasi dan diidentifikasikan. Manusia tidak bisa berdiri pada posisi antara keyakinan dan keraguan, antara kebenaran dan kebatilan, sebab dia akan dihadapkan pada dua pertentangan yang akan menyakitkan hati dan dirinya, dan menjadikannya seorang munafik.
Seseorang harus memiliki pendirian dan posisi antara keimanan atau kekufuran.Jika ia seorang Muslim tidak boleh mengatakan “Saya yakin bahwa Islam yang benar, tapi saya tidak bisa menyalahkan pendapat  lain yang berbeda”. Pernyataan demikian sudah dapat melunturkan keimanannya. Sebab konsekuensi dan kesempurnaan dari keimanan adalah kufur atau mengingkari terhadap thogut atau yang bertentangan dengannya.
“Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh (Laa ilaaha ilallaah)” (QS. Al Baqarah:256).
Jika benar semua agama itu adalah relatif sehingga menyamakan semua agama dan  menganggapnya menuju pada Tuhan yang sama. Lalu mengapa pada satu sisi Allah mengharamkan babi dan di sisi lain dihalalkan-Nya? Tuhan adalah satu namun di sisi lain Tuhan itu dikatakan tiga? Nabi Isa Alaihi sallam adalah utusan Allah dan ia diangkat ke langit, tapi disisi lain ia dikatakan Tuhan, anak Tuhan dan mati di tiang salib? Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam merupakan nabi terakhir, namun ada yang mengatakan ada nabi setelahnya? Maka seseorang tidak mungkin meyakini dua hal yang saling bertolak belakang, dan pasti ada kebenaran mutlak diantara dua pernyataan yang berseberangan tersebut. Sebagai konsekuensinya ketika seseorang Muslim meyakini apa yang telah diingkari oleh Allahsubhanahu wa ta`ala akan dapat menyebabkan kekufuran.
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maaidah : 72)
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:"Bahwanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Ilah (yang kelak berhak disembah) selain Ilah Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih."(QS.Al-Maa-idah : 73)
Meskipun setiap agama memiliki standar kebenarannya masing-masing, namun titik kebenaran sebenarnya juga bisa didapatkan. Kebenaran-kebenaran yang dianggap subjektif dari setiap agama, ketika didudukkan pada satu tempat ia dapat menjadi kebenaran objektif ketika ia disepakati secara nyata dan bersama. Sehingga pada puncaknya kita akan dapat mengetahui kebenaran diantara salah satunya. Konsep utama dalam menilainya yaitu ”kejujuran” bukan subjektif-objektif.
Dalam pandangan Islam, dan jika ditelusuri dalam sejarah dan kitab yang menjadi pengikut para Nabi dan Rasul sendiri, telah disebutkan adanya keseragaman dari wahyu yang dibawa oleh Rasulullah MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallamdan nabi Isa Alahi sallam yang dalam Kristen dikenal dengan Yesus, demikian juga nabi-nabi dan Rasul sebelumnya.
Allah telah menurunkan petunjuk kebenaran yang tidak mungkin saling bertentangan, sebagaimana esensi ajaran yang dibawa oleh para nabi, yaitu untuk mentauhidkan Allah dan tidak mempersekutukan-Nya pada suatu apapun, tidak mungkin seorang nabi yang telah menjadi pilihan berdusta dan mengubah-ubah ajaran dari Tuhannya.
“Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)".(QS. Al-Shaff: 6)
”Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS Al-Baqarah ayat 147)
Islam telah memberikan dengan jelas bahwa Nabi Isa adalah seorang utusan-Nya dan mengakui tentang penyimpangan yang dilakukan oleh pengikutnya pada waktu selanjutnya.Maka perlu kita buktikan antara kebenaran dari keduanya, dari aspek mendasaryaitu pada kitabyang menjadi pedoman ajarannya.
Pertama, Yesus mengajarkan Tauhid; Maka berkatalah Yesus kepadanya “Enyahlah, iblis! Sebab ada tertulis: engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau harus berbakti”(Matius 4:10) Jawab Yesus “Hukum yang terutama ialah, dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa/satu (Markus 12:29). Kedua, Yesus mengaku hanya utusan Allah;”Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diriku sendiri, aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab aku tidak menuruti kehendakku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku”(Yohanes 5:30), “Inilah hidup yang kekal itu, bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus”(Yohanes 17:3), “Jawab Yesus kepada mereka; ajaranku tidak berasal dari diriku sendiri, tetapi dari Dia yang mengutus aku..”(Yohanes 7:16)
Nabi Isa Alahi sallam adalah seorang Rasul utusan Allah, sepanjang hidupnya ia tidak pernah mengaku sebagai Tuhan, tidak pernah membuat nama agama Nasrani atau Kristen. Iamelanjutkan misi yang sama yaitutauhid untuk meng-esa-kan Allah saja, tidak mengajarkan manusia untuk menyembahnya. Hal ini juga yang telah banyak diakui bahwa Kristen telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan, serta pertentangan. Paulus lah yang pertama kali mendirikan agama kristen, seorang yang mengaku sebagai Rasul. Padahal dia sendiri selama hidupnya tidak pernah bertemu Yesus, bahkan namanya tidak tercantum dalam daftar nama murid-murid yang disebutkan Yesus dalam kitab Injil.
Pada masanya ia telah banyak melakukan pemalsuaan dan pemasukan berbagai doktrin-doktrin baru sebagai penubuh agama Kristen, yang selanjutnya juga diresmikan dan dijadikan agama resmi Roma dengan berbagai penyesuaian dan perkembangannya pada Konsili Nicea 325 Masehi oleh raja Konstantine.
Tidak heran kemudian banyak kontradiksi terjadi antar ayat di dalam al kitab, serta pertentangan-pertentangan antara ajaran nabi Isa dan Paulus sesudahnya. Dan justru saat ini ajaran Paulus lah yang lebih diikuti dan diamalkan.
Pertama, Yesus bukan Tuhan dan tidak sama dengan Tuhan. Tuhan lebih besar dari Yesus;Kata Yesus “Sekiranya kamu mengasihi aku, kamu akan bersukacita karena aku pergi kepada Bapa (Tuhan), sebab Bapa (Tuhan), lebih besar daripada aku..(Yohanes 14:28). Yesus bersyukur kepada Tuhan; Pada waktu itu berkatalah Yesus: “Aku bersyukur kepadaMu, Tuhan langit dan bumi.(Matius 11:25). Yesus berteriak memanggil Tuhan; Kira-kira jam tiga, berserulah Yesus dengan suara nyaring “Eli, eli, lama sabakhtani?” (Allah-ku, Allah-ku, mengapa engkau meninggalkan aku? (Matius 27:46). Namun Paulus membuat ayat baru bahwa Yesus adalah Tuhan, yang ketika itu dikirim kepada jemaatnya yang ada di daerah Korintus dan  di Roma “Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu bapa, yang daripadanya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang olehnya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena dia kita hidup.”( 1 Korintus 8:6), “Sebab jika kamu mengakui dengan mulutmu bahwa Yesus itu Tuhan, dan percaya dengan hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan”(Roma 10:9)
Kedua, Yesus melarang makan babi. “Juga babi, karena memang berkuku belah, tetapi tidak bermamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang itu janganlah kamu makan dan jangan pula kamu terkena bangkainya”(Ulangan 14:8). Namun Paulus membolehkan makan babi, “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatunya halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh sesuatu apapun”(1 Korintus 6:12).
Ketiga, Yesus melarang minuman keras. “Oleh sebab itu, peliharalah dirimu, jangan minum anggur atau minuman yang memabukkan dan jangan makan sesuatu yang haram”(Hakim-hakim 13:4). Sedangkan Paulus membolehkan minuman keras, “Sebab kerajaan Allah bukanlah soal makan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan suka cita oleh roh kudus”(Roma 14:17).
Keempat, Yesus disunat atau dikhitan. “Dan ketika genap delapan hari, dan ia harus disunnatkan, ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut malaikat sebelum ia dikandung ibunya”(Lukas 2:21). Paulus melarang untuk sunat, “Sesungguhnya aku, Paulus berkata kepadamu; jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu”(Galatia 5:2)
Selain beberapa hal tersebut, masih banyak lagi perkembangan yang terjadi dalam doktrin Kristen, khususnya setelah terjadinya sekulerisasi pada tubuh Kristen, setelah persaingan sengit antara gereja dan ilmuan, antara doktrin agama dan realitas kehidupan serta ilmu pengetahuan di Barat, yang saling berlawanan dan tidak berkesesuaian.
Diperkirakan antara tahun 1481 hingga 1901, korban pembantaian Dewan Inquisisi mencapai 300 ribu jiwa termasuk 30 ribu jiwa dibakar hidup-hidup, yang banyak diantaranya adalah para ilmuan, seperti sarjana fisika terkemuka Bruno. Ia dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Selain Bruno, Galileo Galilei juga harus menjalani hukuman sampai mati di penjara karena pendapatnya yang menyatakan bahwa bumi beredar mengitari matahari, gereja juga menolak teori heliosentris yang menyatakan bahwa bumi itu berbentuk bulat dan berpendapat bahwa bumi itu datar. Ketika ilmuan Islam ratusan tahun sebelumnya mengidentifikasi bahwa penyakit itu disebabkan adanya mahluk kecil yang mempengaruhinya, doktrin Kristen menganggapnya bahwa penyakit disebabkan dari roh jahat, sehingga mereka menolak dan tidak mengakui adanya ilmu pengobatan, dan banyak lagi lainnya.
Hal ini pula yang selanjutnya yang mengakibatkan sumber kebenaran dan ilmu pengetahuan di Barat tidak memasukkan wahyu sebagai sumber ilmu dan standar kebenaran yang tetap dan universal. Terus menduga-duga dan tidak menemukan kebenaran, namun tidak menduga bahwa Islam merupakan sumber kebenaran.

Kebenaran Hidup
Maka pemahaman relativisme yang menganggap bahwa tidak ada kebenaran, merupakan tidak mungkin, jika diaplikasikan dalam kehidupan nyata, ia akan menjadikan kehidupan ini kacau dan tidak ada lagi kebenaran yang disepakati secara bersama. Bayangkan jika banyak yang mengakui diri sebagai presiden dan ia dianggap mungkin saja ia benar, mereka akan berebut mengurusi pemerintahan dengan sekehendaknya. Atau dalam melakukan transaksi jual beli tidak ada nilai yang mutlak atau kisarannya, seseorang akan mengambil dan membayar dengan sesukanya.
Terlebih utama dalam masalah agama, tidak bisa dikatakan semua agama relatif atau membenarkan semua agama, seolah sudah mempelajari semua agama, padahal jumlah agama ada ribuan di dunia. Kemudian latah dan tidak sadar ikut-ikutan, mengatakan semua agama benar dan semua agama mengajarkan kebaikan.
Dampak orang yang selalu dalam keraguannya akan membuat kesusahan, keresahan, kecemasan, kesempitan, sehingga tidak ada lagi yang ia percayai dan yakini, hidupnya seperti orang gila, tidak bertujuan dan tidak jelas akan kemana.
Karena kebenaran mendasar ada dalam agama, maka seharusnya meyakininya. Iman itu adalah keyakinan, keyakinan itu akan mengantarkan pada kebahagiaan. Tidak ada manusia yang akan bahagia di dunia kalau tidak yakin. Sebab bahagia itu bukan pada pemenuhan fisik, orang yang bahagia adalah orang yang yakin pada sesuatu dan hidup dalam keyakinannya, hidup dalam tujuan yang telah diyakininya, dan yakin terhadap tujuan hidupnya.
Dan semua kebenaran itu hanya ada di dalam Islam, berdasarkan segala bukti dan kesempurnaannya. Demikian yang telah berlangsung dan akan dijanjikan-Nya. Tinggal sekarang seseorang membuka dan mempelajarinya. Sebab tidak sama orang yang bangun dan tidur, yang duduk dan berdiri, yang diam atau mempelajarinya, ia mampu untuk dibedakan dan mendapat kebenarannya. (Galih)
Sumber:
[1] Dr. Syamsuddin Arif, Filsafat Ilmu:Perspektif Islam dan Barat (GIP:Jakarta,2013) Hal.112
[2] Dr. Syamsuddin Arif, Filsafat Ilmu:Perspektif Islam dan Barat (GIP:Jakarta,2013) Hal.114
[3] Dr. Dinar Dewi Kania, Filsafat Ilmu:Perspektif Islam dan Barat (GIP:Jakarta,2013) Hal.107
[4] Dr.Syamsudiin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (GIP:Jakarta,2008) Hal.208
[5] Ibid, Hal.209
[6] Abdullah M. Al-Rehaili, Bukti kebenaran Al Qur`an, Yogyakarta: Tajidu Press, 2003
.[7]  Dr. Dinar Dewi Kania, Filsafat Ilmu:Perspektif Islam dan Barat (GIP:Jakarta,2013) Hal.101
[8] Dr.Syamsudiin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (GIP:Jakarta,2008)  hal.212]
[9] Ibid, Hal.210
[10] Ibid, Hal.216
[Dan berbagai sumber lainnya]


0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons