Aug 27, 2016

mengetahui kebenaran



Manusia sebagai mahluk yang telah diciptakan oleh Allahsubhanahu wa ta`ala dengan sempurna, telah diberikan kemampuan dan daya untuk mampu mencapai kebenaran. Meski juga dengan keterbatasannya, tapi tidak sampai menggugurkan nilai kebenaran dan keabsahan ilmu pengetahuan dan kenyataan yang didapatkannya.
Manusia normal, pada umumnya mampu untuk memilah, membedakan, menilai dan menentukan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang berguna dan mana yang berbahaya, dan seterusnya. Dengan kapasitas diri dan ilmunya, secara lahir dan batinnya, mental dan spiritualnya, akal dan hatinya, yang menjadi diameternya.
Maka dalam Islam, mengetahui dan mengenal bukanlah sesuatu yang mustahil. Yang masih dipertanyakan atau dapat dinegasikan. Tidak benar kemudian ungkapan-ungkapan yang menyudutkan atau membenarkan segala hal, sebagaimana kaum sofis atau relativisme yang menganggap manusia tidak dapat mengetahui kebenaran.
            Pendirian kaum Muslimin bahwa kebenaran itu bisa didapatkan. Dalam soal ini disimpulkan oleh Abu Hafs Najmuddin ‘Umar ibn Muhammad an-Nasafi dalam kitab Aqa`id menjelaskan secara ringkas“haqa’iqul asyya’ tsabitah, wal-ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan lis-sufistha’iyyah”.Ditegaskan bahwasanya hakikat, kuiditas atau esensi dari segala sesuatu itu tetap (dan oleh karena itu bisa ditangkap), tidak berubah (sebab yang  berubah-ubah itu hanya sifat-sifatnya, a’rad, lawahiq atau lawazim-nyasaja), sehingga ia bisa diketahui dengan jelas. Maka ilmu tentang kebenaran tidak mustahil untuk diketahui oleh manusia sebagaimana ditegaskan dalam   Al-Qur’an surah az-Zumar (39:9): “…. katakanlah: Apakah sama, orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?”[1]
            Jadi kuiditas atau esensi dari segala sesuatu itu tetap. Gula rasanya manis, garam rasanya pahit, manusia bisa dibedakan dengan monyet, meskipun monyet dipakaikan baju, ia akan tetap jadi monyet dan tidak akanpernah menjelma menjadi manusia. Seorang anak bernama agus, meskipun ia tumbuh menjadi remaja, dewasa dan tua dengan perubahan fisiknya ia tetap akan dikenal sebagai agus, tidak akan berubah menjadi slamet dan tidak akan dipanggil slamet, selama orang telah mengenalnya dan tidak mengubah namanya.
Berbeda dengan kaum relativis yang mengganggap kebenaran dari suatu objek itu tidak ada, sehingga selalu saja beralasan, meragukan, keras kepala dan tidak akan pernah mencapai kebenaran. Misal mengatakan “gula itu rasanya bisa saja manis atau pahit, tergantung orangnya, kalau ia sehat bisa manis, kalau ia sakit bisa jadi pahit”, “api itu rasanya bisa saja panas atau tidak, tergantung orangnya, kalau ia kebal tidak akan panas”.
Namun esensi atau hakikat segala sesuatu itu tetap dan tidak berubah. Semut yang tidak bisa berpikir sajatidak pernah salah untuk mengambil antara gula yang manis dengan garam. Api zaman dahulu dan zaman sekarang juga tetap sama dan tidak berubah, ia panas dan dapat membakar, jika kaum relativistidak yakin, bisa dibuktikan denganberdiri di atasnya selama beberapa jam saja. Presiden Indonesia yang pertama itu adalah seorang laki-laki, dan itu sudah diakui, namun orang relativis bisa saja mengatakan ia bisa jadi wanita atau banci. Wanita cantik atau kembar sekalipun, yang sering dikatakan relatif, sebenarnya dalam hakikat yang dapat dinilai seseorang, memiliki nilai lebih dan mutlak yang dapat dipilih.
Yang perlu digaris bawahi bahwa kebenaran mutlak sesungguhnya adalah dari Allah, manusia memiliki kebenaran atau kenyataan yang bersifat sementara, kecuali pada esensi diri dan ilmunya yang kelak akan diperhitungkan.Dalam kehidupan, ukurannya bukan dari hukum kausalitas atau sebab akibat yang dapat diindra secara fisik saja seperti api rasanya panas. Namun sebenarnya ada sunnatullah atau ada kehendak Allah di dalamnya yang menjadikan sesuatu itu berjalan atau bereaksi sebagaimana kita dapatkan pada umumnya. Allah bisa saja menjadikan api itu dingin, sebagaimana menjadikannya panas, seperti pada kisah nabi Ibrahim Alaihi sallam. Bisa menjadikan seseorang berjalan dengan wajahnya, sebagaimana menjadikannya dapat berjalan dengan kakinya, ketika dihari pembalasan, dan lainnya, agar seseorang tidak sombong dan dapat mengambil hikmah dibaliknya. Semua dapat berlaku jika Allah menghendaki dan memberikan izin padawaktu yang telah ditentukan.
Islam menetapkan bahwa manusia dapat mengetahui kebenaran adalah melalui tiga sumber yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal yang sehat (ta`aqqul), serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shadiq). [2] Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur`an. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS.an Nahl:78). “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS.al Isra:36). “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya serta menyaksikannya.”(QS.Qaf:37). “Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, serta mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengannya dapat mendengar? Memang sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi telah buta hati yang ada di dalam dada.” (QS.Al Imran:138). “Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Imran:138). “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dan Allah, dan kitab yang memberi penjelasan.”(QS.Al Ma`idah138). “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Qs.Al A`raf:179)
Panca Indera
Manusia memiliki lima kapasitas  dari pancaindra yang diberikan Allah kepadanya, yang mana merupakan saluran pertama manusia untuk mengetahui kebenaran atau fakta yang didapatkannya, yaitu daya penglihatan, pendengaran, daya sentuh, daya cium dan daya rasa.
Seseorang dapat meraba dan merasakan bentuk dan rasanya roti yang manis, sehingga ia yakin untuk memakannya. Pada daya melihat, kita dapatkan secara jelas warna, bentuk, jenis dan lainnya.Seandainya ada seorang anak yang buta sejak kecil, maka warna itu tidak wujud baginya, warna tidak ada dalam memorinya. Ia tidak bisa membuktikan ada warna hitam jika tidak mengetahui adanya warna putih, warna hijau, warna biru, dan sebagainya, kecuali dengan bersandar pada yang dapat melihat. Informasi tentang warna hanya bisa dijangkau dengan daya penglihatan, semisal buah apel meskipun disentuh, dibunyikan dan dicium tidak akan pernah menghasilkan warna hijau. Masing-masing pancaindera ini memberikan informasi atau konsep ilmu tersendiri. Yang hal itu bisa kita ambil sebagai kebenaran pada sumber realitas atau empiris.
            Namun sifat dari pancaindera itu sendiri terbatas, dan terkadang menghasilkan ilmu yang masih parsial. Untuk mengindera secara fisik saja kita tidak dapat menyimpulkannya dengan benar. Seseorang dapat merasakan adanya angin, namun tidak akan mampu melihat dan menggambarkan bagaimana rupanya. Bisa merasakan rasa manis, namun tidak bisa menunjukkandi mana letak manis tersebut.Sebagaimana jugadikisahkan oleh Imam Ghazali ketika seorang melihat bulan di langit pada kegelapan malam, ukuran bulan terlihat kecil, padahal sebenarnya bahwa bulan itu besar. Itulah beberapa keterbatasan panca indra.
Akal dan Hati
Akal yang normal merupakan saluran ilmu yang menjadi kapasitas manusia untuk dapat menilai, memilih, memilah, membandingkan, membedakan antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang betul dan keliru, dan lainnya.
Akal merupakan penyempurna dari kelemahan pancaindera. Akal dapat menalar danmenjadi alur pikir untuk menyimpulkan lebih luas. Sebagaimana telah disebutkan oleh Imam Ghazali, meski manusia ketika itu belum sampai ke bulan, namun bisa memberikan kesimpulan bahwa bulan itu besar, tidak seperti yang terlihat oleh mata bahwa bulan sebesar uang logam. Sama halnya ketika kita melihat rumah dari jarak jauh yang terlihat sebesar genggaman tangan, namun akal akan menafikkannya, dan dapat menyimpulkan bahwa rumah tersebut besar.
Orang-orang arab dahulu tahu, bahwa adanya kotoran unta, menandakan ada unta yang pernah atau lewat di tempat tersebut. Adanya kurma menandakan adanya pohon yang membuahkannya. Adanya asap yang keluar dari rumah, menandakan adanya api di dalam rumah tersebut.
Akal memiliki tiga kriteria, yaitu wajib, mustahil dan mungkin. Wajib bagi akal adalah sesuatu yang akal kita tidak bisa menolaknya dan harus menerimanya. Seperti seorang anak lebih muda dari bapaknya, keseluruhan lebih besar daripada sebagian. Jadi ada sesuatu yang akal tidak bisa menolak.
Yang mustahil bagi akal, atau akal tidak dapat menerimanya. Seperti seorang anak lebih tua dari bapaknya dan sebagian lebih besar daripada keseluruhan. Ini adalah yang mustahil bagi akal.
            Dan yang paling banyak adalah mungkin bagi akal. Seperti anak lebih besar dari bapaknya, istri lebih tua dari suaminya.
Dalam Islam kematangan akal ini menjadi salah satu syarat seseorang untuk dibebankan suatu kewajiban yaitu ketika baligh, sebab ia sudah mampu berpikir dan membandingkan dengan sempurna.
Islam mengakui sumber ilmu dari panca indera (empiris) dan akal (rasional), sebagaimana diadobsi dalam dunia akademik Barat saat ini. Namun sebenarnya tidak cukup dan terbatas pada dua hal itu, orang-orang yang hanya bersandar pada dua hal itu akan tergiring pada spekulasi atau praduga yang tidak ada puncaknya, sehingga kebenaran bagi mereka akan terus berkembang dan bisa berubah-ubah, tergantung dari perubahan dan kebutuhan waktunya, satu teori bisa diganti dengan teori lainnya. Karena Barat juga tidak mengakui wahyu dan hati sebagai sumber ilmu dan kebenaran, sehingga patokan utamanya hanya berdasarkan pada pancaindra dan akal saja yang membuat praduga dan keraguan-keraguan, serta kebingungan yang diangkat pada derajat “ilmiah”, bagi mereka wahyu dan hati itu hanya pengetahuan dan bukan ilmu.
Selain dengan akal, proses berpikir juga melibatkan hati, ia merupakan bagian tertinggi dalam diri yang dapat memikirkan dengan jernih dan sesuai dengan fitrah dan nurani.
Menurut Imam Ghazali hati juga memiliki entitas yang sama dan berkedudukan di hati. Qalb (hati) diibaratkan sebagai istananya, sedangkan `aql (akal) adalah rajanya. Keduanya memiliki fungsi kognisi (pengetahuan) dan afeksi (sikap) karena keduanya mampu melakukan aktivitas berpikir sekaligus merasa. [3]
Hati kecil atau hati nurani merupakan tempat untuk memikirkan lebih mendalam, dan penilaian hati itu akan kembali pada fitrah atau alamiah seseorang sebagai makhluk dan hamba Allah dalam kebaikan. Membunuh tanpa ada alasan itu adalah bentuk kejahatan. Menyakiti atau menzalimi seseorang merupakan perbuatan yang tidak disukai. Mencuri merupakan keburukan. Semua merupakan nilai lahir yang dimiliki manusia, selama hatinya tidak tertutupi oleh keingkaran dan kesesatan. Tidak ada seorang yang menerima dan meminta agar dirinya disakiti dan barangnya  dicuri, karena menganggap hal itu relatif.
Jika pancaindra hanya dapat menjangkau secara fisik, namun akal dan hati dapat memikirkan lebih luas dan mendalam lagi. Mengapa daun warnanya hijau? Karena ada klorofilnya yang membuat warna hijau. Tapi mengapa daun tersebut berwarna hijau dan tidak berwarna merah atau coklat saja? Mengapa alam semesta beredar pada garis edarnya dan tidak saling bertabrakan dan mendahului dengan lainnya? Mengapa matahari dibuat dengan begitu panasnya dengan jarak yang begitu jauhnya, padahal jika lebih sedikit saja didekatkan lagi akan dapat membakar bumi?  Mengapa bumi diciptakan dengan berbagai penunjangnya sehingga dapat menjadi tempat hidup manusia, tumbuhan dan hewan, sedangkan diplanet lain tidak? Mengapa tubuh manusia terbentuk sangat seimbangnya, antara DNA, sidik jari dan suara dari milyaran manusia tidak ada yang serupa? Berbagai pertanyaan mendasar pada diri itu akan mengiring manusia pada lahirnya yaitu kebutuhan dan keterbatasan terhadap sesuatu dalam jiwa dan pikirannya.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”(QS.Al Imran 190-191)
Pancaindra, akal dan hati sebenarnya dapat mengiring seseorang padakeyakinan tentang adanya Sang Pencipta, namun hal itu saja tidak akan cukup. Keyakinan akan adanya  sang pencipta, harus dibimbing pada ilmu yang benar, sehingga tidak menduga-duga bahwa Tuhan itu satu, dua, tiga atau ada puluhan. Tidak menduga-duga tentang wujud Tuhan, sehingga digambarkan seperti manusia, ada yang berbentuk setengah binatang, ada yang laki-laki dan wanita, semua berasal dari kreasi pemikiran dan hawa nafsunya manusia. Membuat hukum yang sesuai dengan keinginannya, dan tidak sadar mendiskriminasi yang lainnya. Atau juga menduga-duga dan menyebarkannya pada manusia bahwa manusia berasal dari kera, hanya dengan berdasar pada sejarah manusia secara fisiknya, yaitu tulang dan dagingnya, yang sebenarnya lebih pada “sejarah tulang manusia” bukan sejarah manusia. Padahal manusia memiliki memiliki “ruh” yang menjadi unsur esensi utama manusia. Seorang bergerak dan beraktivitas sesuai dengan dorongan ruh atau jiwanya, oleh karenanya seorang manusia yang tidak memiliki tangan atau kaki masih dikatakan sebagai manusia, sedang seorang yang memiliki organ lengkap tapi tidak memiliki ruh atau telah mati, sudah tidak dikatakan manusia.
Maka banyak hal yang dasarnya tidak harus bisa dijelaskan secara empiris, namum bisa diterima secara rasional. Bagaimana menjelaskan secara ilmiah seorang nabi Isa lahir dari seorang ibu tanpa ayah. Bagaimana mengetahui siapa manusia pertama yang hidup di dunia ini. Adanya hari akhir yang akan memperhitungkan manusia untuk dimasukkan ke surga atau neraka.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. Al `Alaq:1-5)
            Ayat tersebut menuntut manusia untuk membaca, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan indra dan akalnya. Namun ilmu dan kebenaran juga bisa diperoleh langsung dengan anugrah Allah langsung kepada manusia, sebagaimana pada para nabi atau wali Allah.
Seperti Nabi Ibrahim Alaihi sallam yang mencari Tuhannya. Ia melihat bintang dan berkata “Inilah Tuhanku” namun bintang itu terbenam dan ia berkata “Aku tidak suka kepada yang terbenam”. Ia melihat bulan yang terbit, namun bulan itu juga terbenam. Hingga melihat matahari yang lebih besar, namun matahari tersebut juga terbenam meninggalkannya, ia tidak dapat menerimanya dan berkata ”Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang tersesat.” Kemudian Allah memberikannya petunjuk atau ilmu hingga sampai pada kesimpulan “Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah temasuk orang-orang musyrik.”(QS.Al An`am:79)
            Maka Islam menetapkan sumber ketiga untuk manusia mencapai ilmu dan kebenaran yaitu melalui kabar yang benar (khabar shadiq).

Beradab



Istilah adab telah populer digunakan dalam tradisi keilmuan Islam, untuk memberikan penjelasan mengenai akhlak atau tata perbuatan serta sastra. Pembahasan mengenai adab juga telah menjadi perhatian serta tema besar yang biasa ditulis dalam satu kitab-kitab tersendiri oleh para ulama.
Imam al Bukhari (194-256) misalnya menulis tentang Adab al-Mufrad, Ibnu Sahnun (202-256 H) menulis Risalah Adab al-Mua`llimin, al-Rummani (w. 384 H) menulis tentang adab al-Jadal, al Qabisi (324-403 H) menulis tentang Risalah al-Mufashilah li Ahwal al-Muta`allimin wa Ahkam al-Mu`allimin wa Muta`allimin, al-Mawardi (w. 450 H) menulis tentang adab al-Dunya wa al-Din dan Adab al-Wazir,  al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) menulis tentang al-Faqih wa al-Mutafaqih, al-Ghazali (450-505 H) menulis kitab Al-Ilm, Fatihah al-Ulum dalam Ihya Ulum al-Din, al-Sam`ani (506-562 H) menulis Adab al-Imla` wa al-Istimla`, Nashir al-Din al-Thusi (597-672 H) menulis Kitab Adab al-Muta`allimin, al-Zarnuji (penghujung adab ke-6 H) telah menulis Ta`lim al-Muta`allimin, Muhyiddin al-Nawawi (w. 676 H) menulis tentang Adab al-Daris wa al-Mudarris, Ibn Jama`ah (w. 733 H) menulis Tadzkirah al-Sami` wa al-Mutakallim fii Adab al-A`lim wa al-Muta`allim, al-Syirazi (w. 756 H) menulis tentang Adab al-Bahs, Abd Lathif al-Maqdisi (w. 856 H) menulis tentang Syifa` al-Muta`allim Fii Adab al-Muta`allimin, al-Marsifi (w. 981 H) menulis tentang Ahsan al-Titlab Fiima Yalzam al-Syaikh wa al-Mudarris Min al-Adab, Ibn Hajar al-Haysami (w. 974 H) menulis Tahrir al-Maqal fii Adab wa Ahkam wa Fawa`id Yahtaj Ilaiha Mua`ddib al-Athfal, al-Almawi (w. 981 H) menulis al-Mu`id fii Ada al-Mufid wa al-Mustafid, Badr al-Din al-Ghazzi (w. 984 H) menulis tentang al-Dur al-Nadid fii Adab al-Munadzarah, Taj al-Din ibn Zakariyya al-Utsmani (w. 1050) menulis tentang Adab al-Muridin, al-Syaukani (1173-1250 H) menulis Adab al-Thalab, dan lainnya.[1]
Dari kajian para ulama tersebut disimpulkan bahwa adab memiliki peran sentral, khususnya dalam dunia pendidikan. Tanpa adab, dunia pendidikan berjalan tanpa ruh dan makna. Lebih dari itu, salah satu penyebab utama hilangnya keberkahan dalam dunia pendidikan adalah kurangnya perhatian penuntut ilmu atau juga pendidik dalam masalah adab. Az Zarjuni mengatakan, “Banyak dari para pencari ilmu yang sebenarnya mereka sudah bersungguh-sungguh menuntut ilmu, namun mereka tidak merasakan nikmatnya ilmu, hal ini disebabkan mereka meninggalkan atau kurang memerhatikan adab dalam menuntut ilmu.”[2]
Konsepsi dan bentuk-bentuk adab memang telah banyak disinggung oleh ulama atau tokoh-tokoh Islam sejak dahulu, baik mengenai sikap dan sastra. Kemudian secara lebih ilmiah dan komplek dibahas atau digali kembali oleh seorang intelektual Islam kontemporer, yaitu Syed Muhammad Naquib al Attas.[3] Bagi beliau adab merupakan sebuah istilah yang memiliki makna mendasar terhadap pandangan dan sikap hidup Islam yang benar, serta akar dari permasalahan besar yang melanda umat Islam saat ini, yang beliau sebut sebagai “Loss of Adab” atau hilangnya adab.
Al Attas terbilang yang paling mencolok dan lebih sistematis memberikan penjelasan mengenai konsep adab dalam buku-bukunya, sebagaimana dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin, yang secara filosofis ia sebutkan:
Adab itu pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.[4]
Al attas menjelaskan bahwa adab merupakan pengenalan serta pengakuan hak sesuatu sesuai dengan kedudukannya yang tepat. Pengenalan adalah pengetahuan tentang sesuatu hingga pada taraf hakikat, yang menunjukkan kedudukannya. Pengertian “mengenal” tidak sama dengan “mengetahui”, mengenal itu merupakan pengetahuan yang lebih detail dan memberikan pemahaman yang lebih kompleks. Seorang bisa tahu tentang salah seorang ulama besar Indonesia, yaitu KH. Hasyim Asyari, tapi ia belum tentu mengenalnya. Ia sebatas mengetahui bahwa KH. Hasyim Asyari adalah pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Timur. Namun ia belum tentu mengetahui dengan lebih kompleks atau dalam arti “mengenal” KH. Hasyim Asyari, tentang perkara yang merujuk pada hakikatnya, seperti bagaimana latar belakang hidup KH. Hasyrim Asyari, karya-karya yang memuat jalan pemikirannya, kepribadiannya dalam memimpin keluarga, organisasi dan pesantrennya, hubungannya dengan ulama-ulama dahulu, serta mendapatkan keterangan atau pandangan langsung oleh keturunan-keturunannya saat ini tentang beliau. Sehingga didapatkan pengetahuan yang lebih mendalam dan mengarah pada keyakinan, bahwa KH. Hasyim Asyari adalah seorang yang benar-benar dikenal besar memiliki peran dan pengaruh dalam memberikan kesadaran dan membela kemajuan umat Islam di Indonesia.
“Pengenalan” yang dimaksud oleh al Attas adalah kesadaran manusia untuk kembali mengetahui perjanjiannya kepada Tuhannya, yang dimana manusia dan setiap materi pada tabiat atau asalnya  telah memiliki tempatnya masing-masing dalam hirarki wujud. Adapun “pengakuan” yang dimaksudkan adalah memperlakukan sesuatu sesuai dengan tempatnya masing-masing berdasarkan tingkatan wujud. Pengenalan didapatkan melalui ilmu, sedangkan pengakuan dilakukan melalui amal. Melalui ilmu, manusia dapat mengenal sesuatu sesuai dengan hakikat dan tingkatannya. Ketika sesuatu telah dikenal hakikat dan tingkatannya, maka ia akan dapat menempatkan dan memperlakukan sesuatu sesuai dengan kedudukannya yang benar dalam susunan berperingkat martabat, dalam arti dikenal kemudian diakui. Melalui hal ini kemudian keadilan dapat ditegakkan, ketika makna adab dipahami dan diterapkan. Di sini kemudian pentingnya ilmu yang dibimbing oleh hikmat didapatkan oleh manusia, sehingga ia dapat mengenal. Sebagaimana dijelaskan oleh al Attas pada tahun 1970-an dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin: 
Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat, yang memberitahu atau memperkenalkan sehingga ketara tentang hak yang mensifatkan sesuatu atau seseorang itu; dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di manakah atau bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya.[5]
Menurut al Attas, semua ilmu pengetahuan datang dari Allah Swt, dan ia menerima klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah diberikan oleh para filosof, pakar dan orang bijak, khususnya para sufi. Ilmu dikategoriasasikan oleh al Attas menjadi dua bagian, sebagai bentuk keadilan dalam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai objek, dan manusia sebagai subjek, yaitu ilmu pengenalan atau iluminasi dan ilmu pengetahuan atau sains. Ilmu pengenalan hanya terjadi pada makhluk hidup, yang melibatkan interaksi batin yang kuat untuk dapat mengakui dan mengenal sesuatu itu dengan cara yang tepat secara personalitas dan tingkat yang ingin diketahuinya.[6]
Ilmu pengenalan merupakan makanan bagi jiwa manusia. Pada konteks Nabi Muhammad Saw, ilmu ini diberikan Allah Swt secara langsung kepada beliau dalam bentuk al-Qur`an, yang kemudian dipahami dan diamalkan sebagai Sunnah. Dalam perspektif hukum, al-Qur`an dan Sunnah ini disebut dengan syariat, sedangkan dalam perspektif spiritual disebut dengan ilmu laduni atau hikmah. Ilmu hikmah diberikan Allah Swt kepada manusia melalui kasyaf atau intuisi (ilham) dan pengalaman spiritual yang memungkinkan pemiliknya mengetahui batas kegunaan dan batasan makna yang terdapat dalam berbagai persoalan dan ilmu pengetahuan yang ditekuninya, yang memungkinkannya bertindak dengan adil. Pengetahuan tentang Allah Swt adalah keutamaan religius yang juga berasal dari hikmah. Al Attas di lain tempat juga menyebutkan bahwa hikmah bisa didapatkan dalam kombinasi dua jenis ilmu, yaitu ilmu pengenalan dan sains. [7] Sebab keduanya bisa menjadi perantara datangnya hikmah, sebagaimana misalnya bisa kita temukan, bagaimana seorang ilmuan yang melakukan ketekunan keilmuan dan penemuan, bisa mendapatkan pengenalan saat hatinya terbuka dan tersibak mendapatkan fenomena dalam penelitiannya tentang manusia dan alam yang menunjukkan akan adanya suatu kebesaran di luar dirinya. Terlebih kepada orang-orang yang sejak awal bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri dan memikirkan akan kebesaran Allah.
Hikmah merupakan ilmu untuk mengetahui tempat atau kedudukan sesuatu dengan tepat dan benar, yang memberikan timbangan keadilan yang terpancar dan terdisiplin pada setiap tingkatan, mulanya dalam diri manusia sendiri. Hikmah tidak didapatkan dan diberikan oleh sembarang orang, namun diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah untuk diberikan hikmah, yang merupakan bagian dari kebaikan besar. Didefinisikan oleh al Attas apa yang dimaksud dengan hikmah:
Hikmah adalah ilmu yang memberitahu nazar akali diri yang mendapat tahu di mana letaknya tempat yang wajar, yang tepat menyelarasi sifat sesuatu, bagi tiap sesuatu –termasuk diri yang mengetahui itu sendiri. Dan dari itu maka hikmah itu adalah pancaran keadilan.[8]
Ilmu untuk mengetahui kedudukan sesuatu dengan tepat adalah hikmah, sedangkan perbuatan yang dibimbing oleh hikmah, atau perlakuan yang menyesuaikan dengan tempat yang benar itu, disebut sebagai adab. Apabila manusia telah mendapatkan hikmah dan melakukan perbuatan beradab, maka hasilnya adalah keadilan pada diri dan lingkungan luar dirinya, yang memberikan sebuah pandangan dan sikap yang meletakkan sesuatu pada tempatnya secara harmonis. Jadi keadilan adalah keadaan di mana adab diterapkan, dan seseorang yang di dalam dirinya tersimpan adab mencerminkan kebijaksanaan:
Jadi adab itu perolehan diri akan keadaan atau kedudukan yang betul dan benar yang tiada dapat tiada sesuai dengan keperluan ilmu dan hikmat dan keadilan, serta perbuatan diri terhadap keadaan atau kedudukan yang betul dan benar itu menurut letaknya dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat yang mencarakan tabiat semesta.[9]
Pengenalan dan pengakuan yang menjadi landasan manusia beradab, dibentuk berdasarkan pada pandangan hidup Islam (Worldview of Islam), yakni bagaimana manusia memandang hirarki wujud sesuai dengan tempat dan ketinggiannya, yang disalurkan melalui pendidikan yang berbasis nilai atau syariat Islam. Hal ini pula yang menjadi menjadi prinsip dan timbangan hidup Muslim dalam menyikapi dan memandang segala sesuatu. Menjadikan seseorang dapat menempatkan diri dan berbuat adil, kapan, di mana serta bagaimana memperlakukan sesuatu sesuai dengan kadar yang tepat. Dan sebab itulah, para ulama menekankan pentingnya bersungguh-sungguh dalam mencari adab, karena untuk meraihnya pun tidak mudah, memerlukan ilmu dan hikmah dari Allah Swt. Anas radhiallahu `anhu meriwayatkan bahwa Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Akrimuu auladakum, wa ahsinuu adabahum”, kata Rasulullah “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka”. (HR. Ibnu Majah)
Pandangan hidup merupakan asas bagi setiap aktivitas, terutama aktivitas ilmu. Maka, setiap kegiatan pendidikan Islam wajib memiliki landasan Islamic Worldview. Pandangan hidup Islam adalah pemahaman seorang Muslim terhadap konsep-konsep kunci dalam Islam, seperti konsep tentang Tuhan, wahyu, nabi, manusia, jiwa, alam, ilmu dan lain-lain.[10] Melalui pemahaman yang menyeluruh dan benar terhadap konsep-konsep kunci dalam Islam, akan menjadikan rangkaian komponen ilmu yang terhubung untuk meneropong realitas dan segala hal secara holistik dan fundamental. Pandangan hidup Islam ini seperti sebuah perpustakaan besar yang setiap waktunya menyediakan dan memberikan kita jawaban dan timbangan dari setiap lembar materi dalam bertumpuk buku-bukunya, untuk kita menentukan pilihan dari realitas dan rasionalitas yang kita dapatkan.
Menurut al-Attas, jika adab diterapkan, maka akan tercipta kondisi “keadilan”. Maka adil adalah kondisi dimana adab diterapkan, dimana segala sesuatu diletakkan pada tempatnya yang sesuai dengan ketentuan Allah. Sedangkan lawan dari adil, adalah zalim. Yang mana al-Qur`an menjelaskan, bahwa manusia pun bisa melakukan kezaliman pada dirinya sendiri. Tidak sebagaimana yang dimiliki dalam konsep adil dalam peradaban Barat dan Yunano kuno, bahwa adil hanya mencakup pengertian hubungan antara dua orang atau lebih. Tetapi dalam Islam, adil pertama kali harus diterapkan pada diri sendiri. Sebagaimana dalam al-Qur`an Surat al-A`raf:172, bahwa di alam ruh, manusia telah melakukan persaksian kepada Tuhannya, namun kemudian perjanjian itu ada yang tidak dipenuhi, karena ia mengangkat Tuhan selain Allah atau membuat tandingan-tandingan bagi Allah, sehingga ia termasuk zalim kepada dirinya sendiri.[11]
Sebab adab itu berdasarkan pada ilmu, dan ilmu ditanamkan melalui pendidikan. Al-Attas kemudian merumuskan dan menerapkan konsep adab melalui pendidikan Islam yang dikenal dengan istilah ta`dib. Pendidikan adab inilah yang menurut al-Attas lebih tepat untuk mendefinisikan pendidikan Islam dan menjadi mega proyek dalam menghasilkan manusia yang beradab. Konsep ta`dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta`lim. Beliau mengatakan, “Struktur konsep ta`dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (`ilm), instruksi (ta`lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah), sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta`lim-ta`dib. Walaupun al-Qur`an tidak memakai istilah adab ataupun istilah lain yang memiliki akar kata yang sama dengannya, perkataan adab itu sendiri cabang-cabangnya disebutkan dalam ucapan-ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sahabat radhiallahu `anhum, kemudian dalam puisi ataupun karya sarjana-sarja Muslim setelah mereka.[12]
Pendidikan itu penyerapan adab ke dalam diri manusia dan adab mendidik keseluruhan aspek diri manusia. Adab ditanamkan pada pendidikan yang berbasis syariat, sebab adab yang paling sempurna telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkandung dalam nilai-nilai Islam. `Aisyah radhiallahu `anha menyebutkan bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Qur`an, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda, bahwa ia diutus untuk memperbaiki akhlak, dan ia sendiri pun dididik secara langsung oleh Allah. Dalam hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, Rasulullah Saw bersabda: “Addabani Rabbi fa ahsana ta`dibi” (HR. Al-Sam`ani) “Tuhan telah mendidikku dan menjadikan pendidikanku sebaik-baik pendidikan”.
Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan ta`lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap mengenai pendidikan Islam. Beliau menolak istilah tarbiyah sebab istilah ini hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia. Ibnu Miskawaih misalnya, memakai istilah ta`dib untuk menunjukkan pendidian intelektual, spiritual, dan sosial, baik bagi anak muda maupun orang dewasa, sedangkan tarbiyah dipakainya untuk mengajari binatang, baik yang dilakukan oleh manusia, maupun sesama binatang. Oleh karena itu, tarbiyah hanya berkaitan dengan pengembangan fisikal dan emosional manusia. Itulah sebabnya. Fir`aun dalam al-Qur`an (Al-Qashash [28]: 18) mengatakan bahwa dirinya telah melaksanakan tarbiyah kepada Nabi Musa. Demikian juga anggapan bahwa ta`lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif. Al-Farabi mendefinisikan ta`dib sebagai aktivitas yang bertujuan memproduksi suatu karakter yang bersumber dari sikap moral. Ta`dib berbeda dengan ta`lim (pengajaran) walaupun telah mencakup di dalamnya. Makna kedua istilah, ta`lim dan tarbiyah, telah mencakup di dalam makna ta`dib. Sehingga dari perbedaan makna yang sangat halus ini, sebagian pihak membedakan `ilm dan ta`lim atau sinonimnya daripada adab dan ta`dib.[13]
Pengambilan konsep ta`dib al Attas sendiri adalah berasal tradisi ilmiah bahasa Arab, yang mana di dalamnya telah mengandung tiga unsur, yakni pengembangan ilmiah, ilmu dan amal. Iman adalah pengakuan yang realisasinya harus berdasarkan ilmu. Iman tanpa ilmu adalah bidih, Sebaliknya, ilm harus dilandasi iman. Ilmu tanpa iman adalah kesombongan. Dan akhirnya iman dan ilmu diharapkan mampu membentuk amal. Kalau tidak diwujudkan dalam bentuk amal, lemahlah iman dan ilmu itu. Ibarat pohon yang tak berbuah, niscaya ditinggalkan orang, karena kurang bermanfaat.[14]
Pentingnya makna adab yang berkaitan dengan pendidikan bagi manusia baik atau shaleh (a good man) harus ditekankan ketika disadari bahwa pengenalan (yang melibatkan ilmu) dan pengakuan (yang meliputi tindakan) terhadap tempat yang tepat, terkait dengan istilah kunci (key terms) lainnya dalam pandangan alam Islam (Islamic worldview), seperti kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (`adl), realitas serta kebenaran (haqq). Realitas dan kebenaran (haqq) tersebut kemudian didefinisikan, baik secara korespondensi dan koherensi, sebagai tempat yang tepat dan benar bagi segala sesuatu.[15]Wan Mohd Nor Wan Daud[16] menyimpulkan pengertian adab menurut al-Attas sebagai berikut:
1.        Suatu tindakan untuk mendisiplinkan jiwa.
2.        Pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik.
3.        Perilaku yang benar dan sesuai yang berlawanan dengan perilaku salah dan buruk.
4.        Ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam mengambil keputusan yang sesuatu yang tidak terpuji.
5.        Pengenalan dan pengakuan kedudukan (sesuatu) secara benar dan tepat.
6.        Sebuah metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan sesuatu secara benar dan tepat.
Realisasi keadilan direfleksikan oleh hikmah. Pendidikan yang dimaksudkan al-Attas berbeda dengan pengajaran dan pelatihan. Pembedaan antara pendidikan dan pelatihan juga telah dilakukan oleh banyak pakar pendidikan dari Barat. Al-Attas menganggap bahwa masih banyak kelompok yang tidak mengetahui perbedaan mendasar antara pendidikan dan pelatihan, sebab mereka secara sadar atau tidak, telah menghilangkan batas-batas ontologis antara manusia dan hewan, suatu kondisi yang berlawanan secara diametral dengan pandangan hidup Islam.[17]
Kata ta`dib adalah mashdar dari addaba yang secara konsisten bermakna mendidik. Berkenaan dengan hal itu, seorang guru yang mengajarkan akhlak dan kepribadian disebut mu`addib. [18] Para ulama dahulu juga menggunakan istilah adab dalam kajian yang menyangkut bahasa dan sastra, yang sarat dengan kehalusan, keindahan dan kefasihan, sehingga seorang sastrawan disebut adib. [19] Jurjani juga meletakkan adab sebagai sesuatu yang setara dengan ma`rifah- yaitu sejenis ilmu khusus dalam konteks ilmu pengetahuan- yang mencegah orang memilikinya dari terjerumus ke dalam berbagai bentuk kesalahan.[20] Addaba  memiliki makna dan derivasi yang saling berhubungan dengan  mu`addib, adab, ta`dib dan adib. Yakni seorang pendidik yang mendidik akhlak dan kesopanan (mu`addib), serta mengajarkan ilmu yang mengarahkan pada pengenalan (ma`rifah) agar terhindar dari berbagai kesalahan, dengan estetika. Seperti sebuah seni dalam mendidik, untuk menghasilkan sebuah karya didik yang indah dan halus serta memiliki arti.
Menurut Ibnul Qayyim, kata adab berasal dari kata ma`dubah, yang berarti “jamuan atau undangan”, dengan kata kerja “adaba-ya`dibu” yang berarti “menjamu atau menghidangkan makanan. Kata adab dalam tradisi Arab kuno merupakan simbol kedermawanan, di mana al-Adib (pemilik hidangan) mengundang banyak orang untuk duduk bersama menyantap hidangan di rumahnya.[21]
Al-Attas juga mengambil landasan filosofi yang sama dan memberikan gambaran sederhana tentang adab. Adab pada asalnya adalah undangan kepada suatu jamuan, dimana tuan rumahnya adalah seorang yang mulia dan terhormat, sehingga banyak orang budiman dan terhormat yang hadir, yang diharapkan berperilaku sesuai dengan kedudukan mereka, dalam percakapan dan tingkah laku, serta menerima dan menikmati hidangan bersama tamu-tamu yang serupa dengan tatacara dan perilaku yang berbudi juga. Mengutip hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas`ud r.a “Sesungguhnya kitab suci al-Quran ini adalah jamuan Allah di bumi, maka lalu belajarlah dengan sepenuhnya dari jamuan-Nya.”, dan merujuk pada kitab Lisan al-`Arab ketika menjelaskan makna hadist tersebut, bahwa kitab suci al-Qur`an adalah undangan Allah ke suatu jamuan spiritual di bumi dan kita dinasehati untuk mengambil bagian dengan cara mengambil ilmu sejati darinya, yang dari ilmu yang benar ini manusia dapat “mengecap rasanya yang sejati”. Sebab ilmu adalah hidangan untuk memberikan kehidupan dan kedisiplinan pada fikiran dan jiwa.[22]
Berdasarkan filosofi konsep pendidikan adab yang lebih menekankan pengembangan individu, tetapi juga tidak memisahkan secara sosial dalam hal cara dan konteks pelaksanaannya, al-Attas menentukan tujuan pendidikan dalam Islam, yaitu:
“Tujuan mencari ilmu dalam Islam adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri pribadi. Oleh karena itu tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan manusia yang baik. Apa yang dimaksud dengan `baik` dalam konsep kita tentang `manusia baik`? Unsur asasi yang terkandung dalam konsep pendidikan Islam adalah penanaman adab, karena adab dalam pengertian yang luas di sini dimaksudkan meliputi kehidupan spiritual dan material manusia yang menumbuhkan sifat kebaikan yang dicarinya.”[23]
Tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan manusia yang baik atau beradab. Manusia yang beradab (insan adabi) adalah individu yang memiliki kesadaran penuh tentang dirinya dan hubungan dirinya dengan Sang Pencipta, masyarakat serta segala makhluk ciptaan Allah baik yang kasat mata maupun tidak. Oleh sebab itu menurut Islam, individu atau manusia yang baik haruslah juga merupakan hamba Allah yang baik, ayah yang baik, suami yang baik, anak yang baik, tetangga yang baik, serta menjadi warga negara yang baik. Dalam bahasa Melayu, civilization memiliki dua arti, yaitu tamadun dan peradaban. Kata peradaban menunjukkan pada kontribusi komprensif dan lintas-generasi dari manusia-manusia beradab, baik laki-laki maupun perempuan.[24] Ketika setiap tingkatan kehidupan telah baik, maka akan menghasilkan jaringan dan pengaruh hubungan yang baik dalam tujuan pembentukan manusia yang sempurna, serta berdampak langsung pada kebaikan dan kemajuan negara.
Masyarakat beradab, adalah masyarakat beriman yang memahami din dengan baik dan benar. Yang menarik di sini adalah korelasi antara kata beradab dan ber-din dengan benar. Al-Attas menganalisa, bahwa din berasal dari kata da ya na yang berarti berhutang. Derivasi kata itu adalah daynun (kewajiban), daynunah (hukuman), idanah (keyakinan). Islam sebagai sebuah din mengandung makna dari derivasi kata-kata tersebut. Yakni, berislam adalah kewujudan manusia yang berhutang kepada Rabb-nya, sehingga ia memiliki kewajiban dan penyerahan diri untuk mengikuti aturan dari Rabb-Nya. Selain itu kata-kata tersebut juga berkaitan dengan kata madinah (kota), yakni kota yang berisi manusia-manusia beragama dengan baik. Dari kata ini juga lahir istilah tamaddun yang diartikan sebagai peradaban. Disinilah kata beradab bertemu dengan kata din dan akar kata lainnya. Sehingga bisa dikatakan orang beradab adalah orang yang ber-din, melaksanakan syari`ah, menempati jiwa fitrahnya sebagai jiwa yang bertauhid atau beriman kepada Allah.[25]
Harkat dan martabat manusia serta setiap wujud yang ada, juga diukur dengan seberapa besar tingkat adab dan kedudukannya dalam timbangan syariat. Manusia yang beradab merupakan manusia yang memiliki kewibawaan yang berasas pada ilmu dan amal, pada pengalaman akali dan ruhani ditingkat ihsan. Seorang yang beradab memiliki kedisiplinan jiwa, akal, hati dan fisik, yang terjewantahkan pada setiap pemikiran, perkataan dan perbuatannya. KH. Hasyim Asyari menyebutkan bahwa adab berkonsekuensi kepada ketauhidan, keimanan dan ketaatan pada syariat, dalam kitabnya Adabul Alim wal-Muta`allim:
“at-Tawhidu yujibul imana, faman la imana lahu la tawhida lahu; wal-imanu yujibu al-syari`ata, faman la syari`ata lahu, la imana lahu wa la tawhida lahu; wa al-syari`atu yujibu al-adaba, , faman la adaba lahu, la syari`ata lahu wa la imana lahu wa la tawhida lahu.” Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab, maka tidak ada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.[26]
            Pada kitab Adabul Alim wal-Muta`allim, KH. Hasyim Asy`ari juga mengutip pendapat-pendapat tentang adab dari para ulama sebelumnya. Dikutip nasehat indah dari Habib Ibnu Syahid kepada anaknya: “Ashhibil fuqaha, wa-ta`allam minhum adabahum, fa-inna dzalika ahabbu ilayya min-kastirin minal- hadist” (Wahai anakku, bergaullah dengan ahli ilmu, pelajarilah adabnya! Sungguh hal itu lebih aku sukai daripada banyak-banyak ilmu) Ibnu Mubarak juga berkata: “Nahnu ila qalilin minal-adabi ahwaja minna ila katsirin minal `ilmi” (Kami lebih memerlukan adab walaupun sedikit, dibandingkan ilmu meskipun banyak). Hasan al-Bashri menyatakan: “In kana al-rajulu la-yakhruja fi adabi nafsihi al sinina tsumma sinina” (Hendaknya seseorang terus-menerus mendidiknya dari tahun ke tahun). Ruwaim juga pernah menasehati putranya: “Ya bunayya ij`al `ilmaka milhan wa adabaka daqiiqan” (Wahai putraku, jadikanlah ilmumu seperti garm dan adabmu sebagai tepung). Imam asy-Syafii rahimahullah ketika ditanya bagaimana mencari adab, ia menjawab “Thalabul mar`ati al-mudlillati waladaha, wa-laysa laha ghairahu” (Seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang).[27]
Lingkup adab berlaku pada diri sendiri yang terdiri dari fisik dan ruh, kemudian alam realitas tempat manusia hidup bersama berbagai macam makhluk dan lingkungan, alam tempat ia mendapatkan ilmu serta alam ruh tempat seorang hadir dan akan kembalinya kehidupan manusia. Adab adalah suatu perbuatan yang berdasarkan pada ilmu dan hikmat yang harus diamalkan pada setiap elemen dan ekosistem hidup yang dihadapi manusia. Lengkapnya diuraikan oleh al-Attas:
Ta`rif adab yang dikemukan di sini dan yang lahir dari pengertian Islam, dengan sendirinya menjelaskan bukan sahaja harus dia itu ditujukan maksud pengenaannya pada bangsa insani belaka; bahkan dia juga harus dikenakan pada keseluruhan alam tabi`i dan alam ruhani dan ilmi. Sebab, adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata, yang merupakan ma`lumat bagi ilmu. Tiap sesuatu atau seseorang memiliki hak yang meletakkan pada keadaan atau kedudukan yang sesuai bagi keperluannya. Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat, yang memberitahu atau memperkenalkan sehingga ketara tentang hak yang mensifatkan sesuatu atau seseorang itu; dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di manakah atau bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya.[28]
Al-Attas juga memberikan keterangan rinci, tentang adab yang mesti diamalkan dalam beberapa lingkup derajat mahluk dan ilmu, dan setiap bagian hidup, menurut al-Attas memiliki tempat yang mesti didekati dengan adab:
Apabila faham adab itu dirujukkan kepada sesama insan, maka dia bermaksud pada kesusilaan akhlakiah yang mencarakan kewajiban diri berperangai mengikut keperluan haknya dalam susunan berperingkat darjat yang terencana, umpamanya, dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam berbagai corak pergaulan kehidupan. Apabila dia dirujukkan pada alam ilmi pula, maka dia bermaksud pada ketertiban budi menyesuaikan haknya pada rencana susunan berperingkat martabat yang mensifatkan ilmu; umpamanya pengenalan serta pengakuan akan ilmu bahwa dia itu tersusun taraf keluhuran serta keutamaannya, dari yang bersumber pada wahyu ke yang berpuncak pada perolehan dan perolahan akal; dari yang fardu ain ke yang fardu kifayah; dari yang merupakan hidayah bagi kehidupan ke yang merupakan kegunaan amali baginya. Dan adab terhadap ilmu itu yaitu mengenali serta mengakui taraf keluhuran serta keutamaan yang terencana pada ilmu, niscaya dapat menghasilkan dalam diri pencapaian yang seksama terhadap meramukan, menurut taraf keperluannya, berbagai macam ilmu yang membina keadilan dalam diri. Dan keadilan dalam diri itu menyesuaikan haknya pada kewajiban membimbingnya ke arah pengenalan serta pengakuan akan ilmu yang bersumberkan wahyu, yang menyesuai hak diri jua, dan yang dengannya dapat menjelmakan akibat amali dalam diri sehingga menyelamatkannya dunia-akhirat. Apabila dirujukkan pada alam tabii, maka adab itu bermaksud pada ketertiban akal amali menyesuaikan haknya pada rencana susunan berperingkat yang mencarakan tabiat raya, sehingga dapat dia melakukan pertimbangan yang saksama terhadap meletakkan nilai serta kegunaan tiap sesuatu pada hakikatnya masing-masing,niscaya terhasil olehnya tindakan yang adil terhadap mengawalnya. Tindakan yang adil terhadapnya itu iaitu menilai serta menggunakannya menurut maksudnya terencana dalam susunan berperingkat sebagai Tanda Ilahi, sebagai bahan ilmu,  sebagai bahan kehidupan, yang membawa manfaat besar bagi insan zahir dan batin. Apabila dia dirujukkan pada alam ruhani, maka adab bermaksud pada pengenalan serta pengakuan akan berbagai makam keruhanian yang menandakan taraf keutamaan terhadap pencapaian amal-ibadat di sisi Islam; pada ketertiban ruhani menyesuaikan keperluan hak diri ruhani atau diri akali, yang mewajibkan penyerahan diri jasmani atau diri hayawani kepadanya. Apabila dia dirujukkan pada bahasa, maka adab itu pengenalan serta pengakuan akan hak kedudukan tiap kata pada keperluan maksudnya dalam kalimat atau dalam pertuturan, sehingga tiada membawa kejanggalan ma`na dan bunyi dan faham, sehingga masing-masing terletak pada tempatnya yang sesuai dengan keperluan hak ma`nawi. Maka adab, sebagaimana dita`rifkan di sini, mengenakan maksudnya pada seluruh segi kehidupan. Dan rencana-usaha bagi menjelmakan adab pada diri, bagi memupuknya dalam diri, tiada lain dari pendidikan jua.[29]
Adab terhadap diri sendiri bermula ketika seseorang mengakui bahwa dirinya merupakan makhluk yang lemah, yang tidak terlepas dari salah dan dosa, sebab manusia memiliki sifat kebinatangan, namun juga dibekali dengan akal untuk memimpin dan menimbang, sehingga dapat mengetahui kebenaran dan tidak berlarut dalam kesalahan. Kecuali para nabi yang memang telah dijamin ma`sum. Ketika akal seseorang menguasai dan mengontrol sifat kebinatangan atau hawa nafsunya, maka ia sudah meletakkan keduanya pada tempat yang semestinya, dan memposisikan dirinya pada tempat yang benar, yang memberikan keadilan atau tidak menzalimi dirinya. Potensi akal manusia juga harus tunduk kepada wahyu, tidak membiarkannya berpikir bebas dan menentang sumber ilmu tertinggi. Wahyu membimbing akal manusia untuk berpikir tepat dalam mendapatkan kebenaran dan keadilan.
Adab terhadap sesama manusia, berarti memperlakukan setiap manusia sesuai dengan hak dan derajatnya. Derajat manusia ditimbang sesuai dengan syariat Islam, yang membedakan manusia atas dasar ketaqwaan dan keilmuannya. Bagaiamana adab yang benar dalam keluarga, seperti adab anak kepada orang tua, dengan memuliakan dan mentaatinya, dan hak anak untuk diperlakukan beradab oleh orang tua, dengan menyayangi dan mendidiknya. Adab di sekolah adalah murid menghormati dan mematuhi gurunya, dan guru pun memberikan ilmu yang baik serta penghargaan kepada muridnya. Dalam pandangan seorang yang beradab, menjadi politisi tidak mesti lebih tinggi daripada seorang guru ngaji, jika politisi tersebut adalah seorang yang suka membela kezaliman, sedangkan guru ngaji tersebut dengan ikhlas dan keras mengajarkan masyarakat membaca al-Qur`an di pedalaman, di tempat yang tidak banyak diketahui orang. Dan seorang takmir masjid bisa jadi lebih baik dari seorang pemilik hotel berbintang, jika takmir masjid itu sangat bersemangat dan perhatian memelihara dan memakmurkan masjid, sehingga banyak jamaah yang merasa nyaman dan senang untuk datang sholat berjamaah. Sedangkan pemilik hotel memberikan kebebasan dan fasilitas kemaksiatan terjadi di hotel miliknya.  Menurut al-Attas adab kepada sesama manusia ini disebut sebagai akhlak. Jadi akhlak telah tercakup dalam makna adab dan akhlak adalah bagian dari adab. Manusia yang beradab, secara otomatis ia telah berakhlak.
Adian Husaini, murid dari al-Attas juga menjelaskan bahwa dalam Islam, adab juga digunakan dalam aktivitas atau interaksi terhadap suatu benda mati, seperti adab ketika bangun tidur, adab dalam masjid, adab saat masuk kamar mandi, adab bercermin, adab menggunakan dan melepas pakaian, dan sebagainya.[30] Yang mana pemahaman ini memang telah berakar dalam tradisi keilmuan dan pengamalan Islam.  Jadi setiap materi dalam hidup juga memiliki kedudukan yang mesti disikapi dan dijaga dengan adab.
Selain itu, adab juga menjadi permulaan dan kelanjutan dari setiap aktivitas keilmuan, sehingga bisa dirasakan membawa pada kenikmatan dan keberkahan. Seperti sebelum kita menuntut ilmu kita dituntut untuk terlebih dahulu belajar tentang adab-adabnya, dan menjalaninya dengan beradab. Misalnya adab dalam membaca al-Qur`an, kita harus berwudhu sebelum berinteraksi dengannya, meluruskan dan menjaga niat dengan maksud untuk memahami Islam, tidak tergesa-gesa dalam membaca dan mengikuti hukum bacaan yang benar, membacanya di tempat yang bersih dan suci, mengusahakan untuk terus meningkatkan pemahaman dan pengamalan akan isi al Qur`an, meletakkannya ditempat yang tinggi dan mulai, serta lain sebagainya.
Adab pada konteks ilmu adalah pengakuan terhadap tingkat keluhuran, keutamaan dan ketinggian ilmu, yang terkandung dalam sifat akan kemuliaannya. Ilmu yang bersumber pada wahyu itu lebih tinggi, dibandingkan ilmu yang berdasar pada akal. Al-Attas membagi tingkat keutamaan ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu fardu `ain dan ilmu fardu kifayah. Ilmu fardu `ain adalah ilmu yang wajib bagi setiap Muslim memenuhi dan memahaminya, sebab ia menjadi dasar dan kebutuhan hidup disetiap waktu, seperti ilmu tentang aqidah dan fiqih (ushuluddin), yang membimbing seseorang dalam setiap aktivitasnya untuk selalu terjaga dalam pikiran dan perbuatan yang benar, dan yang pertama adalah untuk mengetahui bagaimana cara memenuhi kewajibannya kepada Rabb-nya.Sedangkan ilmu fardu kifayah adalah ilmu yang diwajibkan bagi sebagian Muslim untuk memiliki dan mewakilinya, seperti ilmu tentang kedokteran, ilmu tentang pertanian, ilmu tentang penghitungan dan sebagainya yang masuk dalam ranah sains. Ilmu-ilmu ini juga menjadi wajib bagi sebagian kaum Muslimin, yang keberadaannya juga selalu dibutuhkan dan mengisi ruang serta menunjang kehidupan bersama. Ilmu pengenalan adalah fardu `ain dan ilmu pengetahuan adalah fardu kifayah. Seorang Muslim yang beradab adalah ia yang lebih mendahulukan dan memenuhi ilmu-ilmu fardu ain, sebelum masuk ke ilmu-ilmu fardu kifayah, tidak tinggi penguasaannya dalam ilmu fardu kifayah, namun sangat rendah dan kurang dalam memahami ilmu fardu `ain. Adab terhadap ilmu pengetahuan, juga akan mendisiplinkan dan menghasilkan cara serta metodologi yang tepat dalam belajar dan penerapannya. Seorang yang telah memiliki ilmu yang benar, tentu saja akan beradab kepada subjek dan objek ilmu, beradab kepada para guru dan lingkungannya.
Selanjutnya adab pada alam hidup adalah memandangnya sebagai sebuah tanda-tanda yang menunjukkan eksistensi dan sumber ilmu pengetahuan dari yang Maha Besar. Manusia yang dipilih sebagai pemimpin di muka bumi, diberikan amanah dan tanggung jawab besar, untuk memanfaatkan dan mengatur segala sumber daya, lautan, daratan, tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, sungai, gunung dan binatang serta habitatnya, pada tempat yang semestinya. Tidak mengeruk keuntungan dari sumber daya alam secara berlebihan, kemudian meninggalkannya begitu saja dalam keadaan rusak dan tercemar, yang mematikan ekosistem yang telah lama hidup di sana. Ketika alam dan elemen penjaganya telah rusak, mengakibatkan berbagai bencana yang akan menimpa manusia, yang juga bermula dari kejahilan tangan manusia. Padahal Allah tidak menzalimi manusia, namun manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri. Allah Subhanahu wa ta`ala mengingatkan “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).“ (Qs. ar-Rum : 41). Alam yang baik dan indah, memberikan ketenangan dan kebahagiaan bagi orang yang melihat dan mendiaminya, hal ini juga menandakan orang-orang yang hidup di sekitarnya merupakan orang yang beradab terhadap alam.
Lalu adab kepada alam ruhani atau alam ghaib, adalah pengenalan dan pengakuan kita pada tingkatan kedudukan alam ruhani, berdasarkan nilai keutamaan dan ibadah kita dalam syariat Islam. Alam arwah, alam barzah, padang masyar, hingga surga dan neraka, adalah kedudukan tempat yang akan dilalui manusia, merupakan sebuah ilmu yang benar dan  rasional, yang harus diyakini manusia, sebagaimana pemikiran dan hati manusia yang bersifat abstrak namun bisa dirasakan akan adanya. Mengetahui tingkat keutamaan alam ini, menjadikan manusia terdorong meletakkan dan mengamalkan diri untuk mencapai tingkatan yang paling mulia.
Adab dalam bahasa, berarti pengenalan dan pengakuan tiap kata secara benar dalam makna, perkataan dan tulisan. Sebab setiap bahasa mentransmisikan ilmu dan memiliki pandangan hidup yang terangkai dari sebuah istilah yang terjalin menjadi makna, konsep dan jaringan konsep yang membangun pandangan hidup. Bahasa harus diletakkan pada tempat dan pemiliknya, sehingga tidak terjadi kerancuan dan kehilangan makna aslinya.
Menurut al-Attas keadilan ditegakkan melalui adab, sebab adab merupakan suatu kebijaksanaan untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya yang benar secara harmonis. Yang merupakan hasil dari kedisiplinan raga, pikiran dan jiwa atas pengenalan dan pengakuannya terhadap tingkatan wujud yang ada. [31] Disimpulkan oleh al-Attas, segala sesuatu yang menjadi bagian dari hidup memiliki tatanan yang harus dikenal dan diakui sesuai dengan derajat dan martabatnya yang berlaku padanya menjadi sebuah adab:
Adablah yang menunjukkan adanya sikap yang adil yang menerima serta melakukan penempatan martabat dan darjat keluhuran diri masing-masing pada tempatnya yang wajar. Pengenalan serta pengakuan diri tentang adanya martabat di kalangan makhluk jelata, dan adanya darjat pada tiap pernisbahan yang berlaku dalamnya—itulah adab.[32]
Maka konsekuensi dari ilmu yang benar adalah pengenalan dan pengakuan setiap peringkat kedudukan sesuatu pada tempatnya. Melalui pengamalan pada hakikat ilmu, akan memberikan pengaruh pada keseluruhan bagian diri dan lingkungannya menjadi tempat berlakunya adab, dan menunjukkan betapa kompleknya pengaruh ilmu. Sedangkan ilmu yang tidak diresapi hingga taraf pengenalan, dan tidak memberikan pengaruh pada keseluruhan diri dan lingkungannya, maka ilmu tersebut belum memberikan arti yang bermakna pada kehidupan. Al-Attas menjelaskan:
Di sisi Islam maka ilmu, jikalau tiada bersabit dengan mengenal diri, mematuhi ajaran agama, menyempurnakan masyarakat, membimbing negara, menyatakan hikmah, menegakkan keadilan, mengukuhkan akhlak dan budipekerti –hanyalah sia-sia belaka; di sisi Islam seseorang itu tiada dapat dikatakan berilmu atau alim, jikalau tiada ia membayangkan dalam dirinya kesan ilmu itu pada seluruh segi kehidupannya sebagaimana dijelaskan di atas. Sekalipun seseorang itu pandai dan handal dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan, maka jikalau tiada dia mengenal diri, tiada mengamalkan ajaran agama dan tiada berakhlak dan budipekerti yang tinggi nilainya maka sia-sialah ilmunya itu, dan orang itu bukan berilmu; dia telah membohongi dirinya dan dengan demikian telah menyesatkan dan menzalimi diri sendiri.[33]


[1] Ahmad Alim “Ilmu dan Adab dalam Islam”, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2013, hlm. 191-192.
[2] Loc. cit.
[3] Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al Attas adalah seorang intelektual Islam dunia, yang telah cukup masyur dikenal namanya sebagai penggagas Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dan pemikir kontemporer di dunia Melayu. Syed Muhammad Naquib al Attas – ada yang menyebutnya Habib Naquib – lahir di Bogor, Jawa Barat, 5 September 1932 M. Beliau sempat mengenyam pendidikan dasar beberapa tahun di Bogor dan Sukabumi. Al Attas adalah cucu dari Habib Abdullah bin Muhsinal Attas, atau yang lebih dikenal sebagai Habib Keramat, dan setelah ditelusuri Prof Wan, ia menemukan bahwa al Attas adalah keturunan ke-37 dari silsilah keturunan Rasulullah Saw, bertemu pada garis Hussein bin Ali bin Abi Thalib r.a . Kakek al Attas, Habib Keramat merupakan seorang ulama besar di Nusantara. Bisa dilihat dari hasil didikannya, yaitu para muridnya –dengan izin Allah—menjadi ulama-ulama yang terkenal, diantaranya yaitu Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir al Hadad (Mufti Kerajaan Johor).  Al Attas sempat mengenyam pendidikan militer di Royal Military Academy, Sanghurt England (1952-1955). Karir militernya tidak dilanjutkan dan ia lebih tertarik melanjutkan studinya ke Universitas Malaya di Singapura, 1957-1959. Tahun 1962, Syed Naquib al-Attas meraih gelar M.A. di Islamic Studies di Mc-Gill University, dengan Tesis berjudul Raniry and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh. Kemudian pada tahun 1965, Syed Naquib al Attas menyelesaikan Ph.D. degree di School of Oreintal and African Studies (SOAS) University of London, dengan disertasi dua jilid berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri. Berbagai jabatan penting dalam dunia pendidikan yang pernah didudukinya antara lain: ketua Department of Malay Language and Literature, Dekan the Faculty of Arts, dan pemegang pertama `the Chair of Malay Language and Literature`, dan Direktur pertama The Institute of Malay Language, Literatur and Culture, yang ia dirikan tahun 1973. Al Attas juga mengetuai the Division of Literatur di Depaetment of Malay Studies, University of Malay, Kuala Lumpur. Juga pernah memegang posisi UNESCO expert on Islamics; Visiting Scholar and Professor of Islamics at Temple University and Ohio University, distinguished Professorof Islamic Studies and first holder of the Tun Abdul Razak Distinguished Chair of Southeast Asian Studies at the American University, Washington, Ibn Khaldun Chair of Islamic Studies (1986), dan Life Holder Distinguished al Ghazali Chair of Islamic Thought, International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993. (Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qolam-INSISTS, 2015, hlm. 76-81)
[4] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001, hlm.  118.

[5] Ibid, hlm.  119.
[6] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 154.
[7] Ibid, hlm. 155-156.
[8] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk... hlm.  147.
[9] Ibid, hlm.  119.
[10] Kholili Hasib, “Isu-isu Pendidikan, antara Problematika dan Konseptualisasi”, Jurnal Islamia, Vol IX, 1 Maret 2014, hlm. 63.
[11] Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qolam-INSISTS, 2015, hlm. 104-105.
[12] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.cit., hlm. 175.
[13] Ibid, hlm. 180.
[14] Imam Bawani, Segi-Segi Pendidikan Islam, Surabaya: Al Ikhlas, 1987, hlm. 216.
[15] Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer dan Peran Universitas Islam dalam Konteks Dewester dan Dekolonialisasi, Bogor: UIKA Bogor & CASIS-UTM, 2013, hlm. 67.
[16] Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud dilahirkan pada 23hb Desember 1955 di Tanah Merah Kelantan,Malaysia. Saat ini dikenal sebagai ahli falsafah, pentadbir pendidikan, aktivis Islam dan penyair. Beliau adalah  murid dan sahabat dekat dari Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas. Sejak tahun 1988 hingga 2002, ia menjadi seorang pioneer dan mantan Timbalan Pengarah Internastional Institute of Thougt and Civilization (ISTAC) membantu pengarah-pengasasnya Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas dalam perihal akademik, pelajar, penerbitan dan perpustakaan di ISTAC sehingga menjadi salah satu pusat pengajian Islam yang ulung di dunia Islam. Wan Mohd Nor mendapatkan B.Sc (Hons) Kajihayat dan M.Sc.Ed. (Kurikulum dan Pengajaran), kedua-duanya dari Northern Illionois of Chicago, Delkab, Illionis dan Ph.D dari The University of Chicago di bawah selian  Prof. Dr. Fazlur Rahman. Dari Februari 2011 hingga kini, Prof. Dr. Mohd Nor Wan Daud dilantik sebagai pengarah sebuah pusat kecemerlangan di Universiti Teknologi Malaysia (UTM) Kuala Lumpur: Center for Advanced  Studies on Islam, Science and Civilization (CASIS). Serta pada tahun itu juga dilantik sebagai felo Terhormat (Distinguished Fellow) Akademi Kenegaraan Biro Tatanegara, Jabatan Perdana Mentri, atas persetujuan YAB Perdana Mentri Malaysia, Dato` Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak. Beliau telah menulis lebih dari 16 buku dan monograf serta puluhan  makalah dalam jurnal tempatan dan antarbangsa. (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Rihlah Ilmiah: dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer. Jakarta: UTM-CASIS dan INSISTS, 2012, hlm. 469-470)
[17] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.cit. hlm. 181-182.
[18] Kholili Hasib, Op.cit., hlm. 58.
[19] George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam..., hlm. 140, 147.
[20] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.cit., hlm. 179.
[21] Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu..., hlm. 191-193.
[22] Syed Muhammad Naquib al Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: PIMPIN-CASIS UTM, 2010, hlm. 185-186.
[23] Ibid, hlm. 187.
[24] Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamisasi Ilmu-Ilmu..., hlm. 75.
[25] Kholili Hasib, Op.cit., hlm. 61.
[26] Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu..., hlm. 191-191.
[27] Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia..., hlm. 126-127.
[28] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk... hlm.  119.
[29] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk..., hlm.  119-121.
[30] Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia..., hlm. 103.
[31] Syed Muhammad Naquib al Attas, Islam dan..., hlm. 129.
[32] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk..., hlm.  119. 142.
[33] Ibid, hlm. 59.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons