Apr 20, 2016

Adab Kepada Bahasa, Kebudayaan dan Sejarah



Hamka yang merupakan seorang ulama, juga dikenal sebagai pujangga dan budayawan Nusantara. Semasa hidupnya ia memberikan perhatian khusus terhadap budaya, dengan banyak berkiprah dan terlibat dalam lembaga dan konfrensi kebudayaan nasional, serta minatnya pada bahasa yang banyak tertuang dalam karya-karyanya yang mengandung sastra dan cita rasa istimewa. Karena kesenangannya kepada kebudayaan, Hamka bahkan pernah berkata “Dalam politik tangan saya pernah terbakar, namun dalam kebudayaan hati saya terobat, luka saya terdamak.”[1]
Pentingnya permasalahan bahasa dan budaya bagi Hamka, sehingga ia menyeru dan mengingatkan kepada angkatan muda atau para generasi selanjutnya, untuk memperhatikan dan menangani masalah ini. Sebab bahasa dan kebudayaan memiliki pengaruh yang sangat terkait dan berperan strategis dalam dakwah.  Yang dalam hal ini bisa dipahami menjadi adab bagi Hamka dalam memandang bahasa dan kebudayaan.
Dalam Seminar Sejarah Riau, di Universitas Riau (UNRI) Pekanbaru, 20-25 Mei 1975. Hamka menyerukan kepada para angkatan muda, agar mereka tidak meninggalkan huruf pusaka Islam di Tanah Melayu, yaitu huruf jawi, huruf melayu atau huruf pegon:
“Dan kepada sarjana-sarjana Angkatan Muda di Riau baik dari UNRI atau dari IAIN, saya serukan, jangan diabaikan huruf pusaka kita, yaitu huruf arab yang telah kita pakai, beratus tahun lamanya. Di Malaysia di disebut Huruf Jawi, sedang di Indonesia di disebut huruf Melayu. Kasihan huruf pusaka Islam itu, Indonesia menolak Melayu, Malaysia menolak ke Jawa, akhirnya terbenam di Selat Malaka! Lalu karena Indonesia dan Malaysia telah merdeka dari penjajahan bangsa Barat, kita gantilah huruf pusaka penjajah. Dengan demikian jadi sukarlah kita menggali sumber kebudayaan nenek moyang kita yang tersimpan dalam huruf itu. Sehingga ajaran Abdurrauf Singkel, Dr. Rinkeslah yang menggalinya, Hamzah Fansuri digali oleh Doorensbos, Syamsuddin Sumantri digali oleh Nuwenhuyze. Kita sendiri tidak sampai ke sumbernya, kalau tidak melalui apa yang disuguhkan oleh sarjana-sarjana Barat itu.”[2]
Huruf jawi atau melayu bagi Hamka memiliki pengaruh dan peran yang sangat besar untuk menjaga ketersambungan identitas dan pemahaman terhadap kebudayaan dan sejarah asli di Nusantara. Melalui bahasa, seseorang akan bisa saling terhubung dan memahami makna dan maksud dari setiap bahasa atau kata yang dikeluarkannya, sehingga akan didapatkan keseragaman pemikiran dan rasa. Kurangnya perhatian angkatan muda saat ini untuk melestarikan huruf jawi yang merupakan perwakilan dari bahasa dan budaya, diperuncing dengan ketidak satuan antara negara-negara yang dahulu terjalin dalam satu rumpun Melayu. Maka semakin terputuslah sanad atau ketersambungan ilmu dan identitas keagamaan di Nusantara, sebab sangat sedikit yang sadar dan membelanya. Padahal para pendiri dan nenek moyang mereka dahulu berkeluarga dan satu keturunan, mereka berinteraksi dan menulis banyak kitab melalui bahasa Melayu dan huruf jawi tersebut.
Banyak dari karya dan pemikiran ulama serta tokoh-tokoh asli tanah Melayu, yang akhirnya diteliti dan dikaji oleh para orientalis atau angkatan muda Barat. Mereka kemudian menerjemahkan dan menafsirkan tulisan-tulisan tersebut melalui kebudayaan, kepentingan dan pandangan hidup mereka. Yang hal ini kemudian diambil dan kita terima secara latah sebagai penafsiran dan kebudayaan asli milik kita. Hamka menuliskan bagaimana pola dan kebiasaan yang dilakukan para orientalis:
Bangsa-bangsa yang menjajah kita, meskipun menyelidiki kebudayaan dan filsafat kita, itu hanya untuk kepentingan mereka, bukan untuk kepentingan kita. Sungguhpun demikian, sekali-kali dikirim Tuhan juga orang-orang besar, untuk menunjukkan bahwa api itu belum mati.[3]
Bahasa Melayu merupakan bahasa tua dan telah dipakai oleh para nenek moyang di Nusantara, untuk memberikan persatuan dan menanamkan nilai-nilai pandangan hidupnya.  Namun bahasa ini kini sudah sangat asing dan hampir tergerus oleh bahasa dan budaya yang datang setelahnya. Generasi muda saat ini pun lebih kenal dan merasa bangga dengan bahasanya yang terpengaruh dengan modernisme dan gaya hidup Barat, serta yang didiktekan oleh kaum Katholik di Indonesia. Akhirnya secara perlahan bahasa Melayu hilang dan bahasa Indonesia mulai berubah, membentuk istilah dan makna baru dalam keseharian serta pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini menurut Hamka dapat menjadi sebuah kehinaan, karena memilih satu identitas yang seharusnya bukan miliknya, kemudian melupakan jati dirinya:
Sebagaimana terpandang hina dan terpencil dari masyarakat orang yang meninggalkan bahasa ibunya atau bahasa tanah airnya yang dengan dia lidahnya lebih sanggup menerangkan segala perasaan hatinya, lalu meminjam bahasa dan logat orang lain semata-mata karena hendak menjadi megah, maka lebih terpandang hina lagi manusia yang melebihi daripada kekuatan dan kesanggupannya, atau memilih yang sebenarnya bukan pakaiannya.[4]
Perhatian Hamka yang serius pada bahasa Melayu, ialah karena ia memiliki alasan yang cukup kuat untuk mempertahankannya. Bagi Hamka, bahasa Melayu merupakan bahasa pokok dari bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu merupakan bahasa yang memiliki pengaruh Islam yang sangat dominan dalam kehidupan dan sastra Melayu. Lidah melayu yang telah menerima Islam sejak abad-abad pertama tahun hijriyah, tidak asing dengan istilah-istilah Arab yang merupakan bahasa agamanya. Sehingga bahasa Arab ini telah memperkaya istilah-istilah dan makna  bahasa Indonesia. Yang mana hal ini pernah disampaikan Hamka pada sidang Konstituante dan juga diterima dalam seminar kebudayaan Indonesia.[5]
Dalam Seminar Kebudayaan Melayu di Kuala Lumpur tahun 1974, Hamka bahkan menegaskan pemikirannya, bahwa “tak ada Melayu tanpa Islam dan di balik Melayu adalah Islam.” Demikian pandangannya sebagai seorang ulama yang telah lama melintang dan hidup dalam dua periode sejarah, pada masa kolonial, di mana dia merasakan dan berinterksi langsung menggunakan bahasa dan tulisan melayu, hingga ia memasuki periode baru masa kemerdekaan yang mulai meninggalkan tradisi keilmuan ini. Hamka juga merupakan seorang penghulu adat di Minangkabau, yang dahulu pernah menjadi tempat konflik antara kaum agama dan kaum adat, yang akhirnya telah dapat disatukan dengan mendudukkan keduanya secara tepat. Kata Hamka “Adat bersendiri Syara` dan Syara` bersendi Kitabullah.[6]
Hamka seringkali mengatakan dalam gurauannya “Melayu tanpa Islam hilang ,,me”nya, dan layulah dia. Minangkabau tanpa Islam hilang ,,minang”nya, jadi kerbaulah dia.” [7] Yang menunjukkan pendirian Melayu tidak bisa dipisahkan oleh Islam. Rumpun Melayu memang memiliki akar yang cukup kuat pada agama Islam dengan bahasa Arabnya dalam membentuk kebudayaan dan intelektualitas masyarakat Tanah Melayu. Dapat ditemukan hingga saat ini, banyaknya kosa kata bahasa Melayu yang merupakan derivasi dari bahasa Arab, seperti musyawarah, adil, adab, akhlak, hikmah, dan serta lainnya. Dan hal yang cukup wajar jika setiap kebudayaan dan komunitas itu bisa terbentuk melalui pengembangan atau pengaruh dari suatu kebudayaan yang lain atau telah ada sebelumnya. Namun yang utama adalah bagaimana ketersambungan makna dan pemahaman seseorang dari bahasa sebelumnya dapat terjaga. Hamka memberikan pembelaan terhadap bahasa Indonesia yang dianggap kearab-araban dengan menyatakan:
Kalau saudara-saudara kita dari Jawa mengambil istilah-istilah Sansekerta yang ke-Hindu-hinduan, dan orang-orang didikan Barat mengambil bahasa Belanda atau Inggris, kitapun boleh menunjukkan ke-Islaman kita. Tak perlu takut dan merasa rendah diri dikatakan ke-Arab-araban.[8]
Pada tahun 1960, ketika Hamka menerjemahkan tulisan ayahnya Dr. Abdul Karim Amrullah “Sullamul Ushul Yurqa` Bihi Samau `Ilmil Ushul” dari huruf jawi ke huruf latin. Ia berkomentar, bahwa tulisan ayahnya tersebut 45 tahun lalu masih menggunakan bahasa Melayu yang sangat terpengaruh dengan pandangan hidupnya yang condong ke bahasa Arab, sebagaimana juga orang berpendidikan Barat yang condong ke bahasa Belanda dan Inggris. Dahulu bahasa Melayu ditulis dengan huruf Arab-Melayu atau huruf jawi, sekarang ditulis dengan huruf latin.[9] Maka untuk dapat kembali menggali dan menemukan ketersambungan sanad keilmuan dan pandangan hidup dari para leluhur bangsanya, tidak bisa tidak, harus dapat menggunakan dan melestarikan bahasa ini. Hamka menyindir tentang masalah ini:
Bagaimana akan dapat menumpahkan fikiran, kalau bahasa sendiri tidak dapat dikuasai? Cobalah baca kitab-kitab karangan ahli agama 40 atau 50 tahun yang lalu. Tidakkah kita tertawa geli melihat susunan karangan itu? Tapi itu jauh lebih baik daripada kaum intelektual yang tidak ada sama sekali hubungannya dengan bahasa dan jiwa bangsanya.”[10]
            Sangat pentingnya pengaruh dan peran bahasa, Hamka sampai menaruh kecurigaan kepada sarjana-sarjana Kristen yang mempelajari bahasa Indonesia dan kebudayaan daerah, terutama kebudayaan Jawa. Ia mengatakan “Usaha mereka itu pasti tak lepas dari tujuan mengkristenkan bangsa Indonesia.”[11] Menurut Hamka latar belakang Kristen menghidupkan kembali Kejawen tidak terlepas dari upaya kristenisasi, dan hal itu terbukti sampai saat ini. Oleh sebab itu, ia mengingatkan kepada kawannya di Yogya (Pimpinan Muhammadiyah Yogya) saat itu, agar lebih giat untuk menekuni dan menggali nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Jawa.
            Hamka misalnya ketika mempertahankan argumentasinya pada penafsiran Pancasila yang merupakan konsensus para ulama dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Melandaskan bahasanya pada kesepakatan Kongres Bahasa Indonesia di Medan tahun 1954, yang dijelaskan oleh sarjana-sarjana dan ahli bahasa, bahwa bahasa Indonesia yang menjadi bahasa negara, berasal dan berdasar kepada bahasa Melayu. Sehingga sampai sekarang tata bahasa Indonesia masih tetap bahasa Melayu. Dituliskan oleh Hamka dua poin utamanya:
1.        Telah sama pendapat ahli-ahli bahasa sejak dari Melayu Lama (Klasik) sampai kepada zaman kita sekarang ini, terutama di sumber-sumber asli bahasa Melayu sebagai Riau dan Johor bahwa “Kepercayaan” dalam bahasa Melayu adalah terjemahan daripada “Iman” dalam bahasa Arab.
2.        Di dalam naskah-naskah asli Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas dituliskan di ujung pasal 29 ayat 2 “Menurut agama dan kepercayaan itu.”[12]
Hamka kemudian berkomentar bahwa, kata-kata “itu” di belakang kalimat “Menurut agama dan kepercayaan itu” adalah merujuk pada pemahaman bahasa Melayu, yang menjadi Bahasa Negara Republik Indonesia. Bahwa diantara Agama dan Kepercayaan, bukanlah dua hal, melainkan satu. Kata “itu” menunjukkan kesatuan di antara Agama dengan Kepercayaan, dalam arti Agama dan Iman. Bukan merupakan suatu bentuk kepercayaan yang dianggap sekedudukan dengan agama, yang mencoba membuat upacara menyembah sendiri, cara mengubur mayat sendiri atau akad nikah sendiri.
Bahasa merupakan bagian dari budaya, dan bahasa mencerminkan budaya serta menilik akan sejarah. Pentingnya bahasa, karena ia merupakan pengantar pada budaya dan menunjukkan pandangan hidup manusia. Atas dasar ini, Hamka dimasa hidupnya mengambil peran dengan menerjunkan diri untuk banyak menulis dan memberikan pengarahan tentang bahasa dan budaya. Sebab bagi Hamka mengarang merupakan suatu mata rantai perjuangan yang panjang dalam menegakkan Islam dari sektor kebudayaan, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur seni, akhlak, budi dan daya, serta ilmu pengetahuan, dengan Islam sebagai sumbernya.[13]
Menjelaskan tentang maksud kebudayaan, Hamka mengutip pidato Dr. Mohammad Hatta ketika masih menjadi wakil presiden pada Kogres Kebudayaan di Bandung, bahwa kebudayaan adalah pertalian di antara kejadian alam (Natur) dengan usaha manusia menyesuaikan hidupnya dengan alam yang terbentang. Beliau jelaskan bahwa air yang turun berlimpah dari gunung karena adanya hujan (Natur), kemudian manusia mengambil lahan dan manfaat di bawahnya, untuk membuat sawah, menyemaikan benih padi untuk dimakan, mendirikan rumah, itulah kebudayaan (Culture).[14] Termasuk dalam budaya keagamaan di Indonesia, adalah kekhasan ukiran dan arsitektur bangun Masjid serta rumah adat yang memiliki nilai Islam dan kebudayaan Melayu. Juga seperti penggunaan songkok dan sarung yang mencirikan identitas Muslim di Indonesia.
            Menurut Hamka pada Symposium Kebudayaan Islam di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 4 Desember 1979, setiap manusia pasti memiliki kebudayaan dan kebudayaan tidak bisa kosong dari kehidupan manusia. Baik manusia dan bangsa-bangsa yang masih primitif hingga yang telah modern, memiliki kebudayaannya masing-masing. Hamka kemudian menyebutkan bahwa kebudayaan yang kita anut, yaitu Kebudayaan Indonesia, yang sebagian besarnya timbul secara wajar dari Islam. Sehingga wajar pula ketika akan mengkajinya, harus melalui dasar Islam. Karena golongan terbesar dari bangsa Indonesia dan pelaku kebudayaan adalah orang-orang Islam.
            Agama Islam menciptakan budaya, namun agama Islam bukan agama budaya. Allah telah memberikan inspirasi dan ilham bagi manusia untuk menimbulkan suatu amal budaya yang penting untuk meresapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya. Menurut Hamka, bahwa hasil wahyu merupakan kebudayaan yang setinggi-tingginya, dan kebudayaan Islam ialah kebudayaan Tauhid. “Adat hendaklah bersendi syara` dan syara` bersendi Kitabullah.” Sedangkan orang materialis akan berkata bahwa wahyu bukan budaya, sebab mereka tidak percaya akan adanya Allah yang memberikan wahyu.
Hamka menyimpulkan bahwasanya kebudayaan meliputi seluruh kegiatan hidup. Sehingga kata “Tamaddun” dan “Hadlarah” dalam bahasa Arab atau “Civilization” dalam bahasa Inggris telah termasuk ke dalamnya. Kemudian dibuatlah bagian-bagiannya untuk memudahkan pemikiran. Yaitu kebudayaan meliputi ilmu pengetahuan, filsafat dan seni.[15] Kebudayaan dalam pandangan manusia beradab, adalah melihat alam ini sebagai bagian dari kebenaran yang menghubungkan pada keindahan dan pengenalan kepada-Nya, melakukan interaksi atau amal kegiatan pada alam yang merupakan bahan mentah yang disediakan oleh Allah untuk diolah dan dipimpin oleh manusia. Mengambil manfaat dan menjauhi yang mudharat melalui kebudayaan.
Perkembangan bahasa sekarang yang dinamai Bahasa Indonesia, adalah dari bahasa Melayu klasik yang ditulis oleh ulama-ulama Islam. Sejak Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsji. Dan bahasa itu kemudian ditulis dalam huruf Arab-Melayu, huruf Jawi atau huruf Pegon, yang menjadi huruf kesatuan bangsa. Wali Songo juga memberikan sumbangan yang banyak sekali pada filsafat Jawa, bahkan ke dalam wayang sekalipun. Mangkunegara keempat memberi orang Jawa nyanyian dalam jiwa tasawuf Islam.[16]
Di daerah-daerah yang kuat Islamya, kuat pula semangat gotong-royongnya, yang berpusat pada jamaah di langgar atau masjid. Tetapi di tempat yang sisa Hindu masih berkesan, gotong-royong hanya dapat kalau dipatrikan dengan “nuhun inggih” etiket di luarnya gotong-royong, namun hakikatnya ialah persembahan wong cilik kepada kandjeng.[17]
Jika seorang pernah mengalami atau merasakan masa kecilnya dalam lingkungan kebudayaan Melayu, kemungkinan ia akan dapat menghayati bagaimana keelokan dan penjiwaan bahasa dan kebudayaan Melayu menyatu dengan alam yang terkembang bersamanya, yang diciptakan oleh Allah dan berasas pada agama Islam. Sehingga membuat mereka bisa hidup dengan tenang meskipun sederhana, bahagia dengan kecukupan dan menikmati pada keindahan alam. Inilah ke khas-an budaya Melayu yang merupakan identitas Muslim di Nusantara. Berbeda halnya dengan kondisi dan kebudayaan saat ini, yang mulai dikungkung oleh kemewahan dan glamoritas hidup hasil impor Barat. Menghilangkan seni jiwa dan adab Islam. Sehingga membuat manusia tersesak dalam gaya hidup yang mengejar kepuasan badan, lalai dalam mengingat tujuan hidup ke depan, serta karam di bawah bangunan-bangunan tinggi yang menutup dirinya dengan alam. Hamka memberikan beberapa kesimpulan tentang Kebudayaan di bawah ini:[18]
1.        Kebudayaan manusia akan selalu mengalir ibarat air di sungai, menerima dan memberi.
2.        Kebudayaan adalah sejarah hidup insani di dunia. Mempunyai zaman lampau, zaman sekarang dan zaman depan. Yang sekarang adalah akibat dari yang lampau, dan yang di depan adalah hasil dari yang sekarang. Apabila kita lupakan pertalian diantara lampau, kini dan masa depan, sendatlah (mandek) jalannya kebudayaan.
3.        Islam mempunyai konsepsi yang cukup untuk turut mengisi kebudayaan dunia. Ini bukanlah teori sekarang, melainkan kesaksian sejarah.
4.        Bangsa Indonesia dalam dalam membangunkan kebudayaan, dari zaman bergilir zaman, telah menerima juga unsur dari Islam. Yang ingkar dengan kenyataan ini, hanyalah orang yang tidak berkebudayaan.
5.        Dalam gerak budaya manusia sekarang ini, nampaklah perjuangan dan perebutan yang dahsyat diantara kebudayaaan semata-mata benda dengan kebudayaan yang berpangkalan dengan kesadaran rohani. Sehingga kadang-kadang tidak terpelihara lagi pemilihan yang bermanfaat dan penjauhan yang mudharat (tidak bermanfaat). Hal ini dirasai oleh ahli-ahli fikir dunia sadar.
6.        Budayawan Islam harus kembali mengambil bagian dalam perkembangan kebudayaan, serta melakukan risalahnya (tugasnya) yang suci itu, dalam mengisi kebudayaan dunia.
7.        Di Indonesia sendiri kelihatan gejala-gejala pancaroba kebudayaan. Kebudayaan materialis, kebudayaan jadi pak turut, kebudayaan menuhankan manusia, atau manusia ingin dituhankan. Kebudayaan yang tidak lagi memilih manfaat dan menghindari yang madharat, kebudayaan yang tidak mengenal halal haram.
8.        Dalam kalangan Islam sendiri terdapat golongan tua yang telah beku berhadapan dengan golongan muda yang belum tentu arahnya.
9.        Masih belum bersambung kegiatan ahli filsafat yang menumbangkan pikiran. Kalau ada ahli ilmu pengetahuan beragama Islam, belum tentu pangkalan berpikirnya dari Islam. Seniman pun demikian pula.
10.    Modal menghadapi perjuangan kebudayaan masih amat terbatas dan kerdil, sebab itu maka: “Dengan kail panjang sejengkal, tidaklah ada daya upaya menduga laut.”
Menurut Hamka ancaman Islam yang datang dari sektor kebudayaan melalui bahasa, lebih besar daripada sektor politik. Sehingga Hamka menyerukan harus ada umat Islam yang menerjunkan diri ke lapangan kebudayaan, bahasa juga sejarah. Hamka misalnya menunjukkan usaha-usaha kaum Komunis dengan organisasi kebudayaan LEKRA-nya yang mempropagandakan kebudayaan rakyat, yang mengarahkan kepada kebudayaan atheis.[19] Demikian juga ketika umat Islam melupakan bahasanya, maka berbagai literatur dan keilmuan pendahulunya dapat hilang dan memutus sejarah dan identitas mereka. Di Sekolah Katholik diadakan mata pelajaran sejarah yang memuji kedatangan Belanda menaklukkan Aceh, sebab orang Aceh itu fanatik. Jasa pendeta Thenu dan Verbraak lebih ditonjolkan. Dan dalam sejarah kekejaman Portugis di Maluku dan peperangan Sultan Khairun dengan Portugis dan penghianatan gubernur Portugis de Mosquita. Pendeknya usaha memutar balikkan sejarah Indonesia, telah dimulai lebih hebat sesudah Indonesia Merdeka dalam buku-buku pelajaran Nasrani, [20] yang juga ada dipakai di sekolah-sekolah umum saat ini.
Para ahli bahasa dan budayawan yang tidak memiliki pemahaman Islam, juga telah berupaya untuk mengkaburkan dan mengalihkan identitas asli Indonesia kepada kebudayaan dan kepercayaan lain. Mereka misalnya membuat suatu penelitian yang dibakukan menjadi bahan pelajaran ilmiah tentang sejarah kedatangan Islam di Nusantara. Bahwa Islam yang masuk ke Indonesia bukan asli dari Arab, tetapi melalui India. Dan Islam India itulah yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dengan menyebut India tempat kedatangan Islam, mereka akan mengatakan bahwa Islam di India bercampur dengan Hindu atau tidak asli sebagaimana mestinya atau sinkritisme. Beberapa orientalis juga bekerjasama dengan zending dan missi berlomba mempelajari tasawwuf, mistik, kebatinan dan primbon dan kejawen, untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia menerima Islam ialah Islam yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu kepribadian mistik.Al Qur`an dikatakan bukan wahyu, hanya karangan Muhammad, dicurinya dari kitab suci Yahudi dan Nasrani. [21]
Hamka pernah dicibir oleh salah satu tokoh pergerakan Islam, bahwa ia sibuk membuang waktu untuk meneliti sejarah masuknya Islam, juga aktif dalam kebudayaan, sementara musuh Islam sibuk berkerja menghapuskan Islam dari Indonesia. Maka Hamka menjawab, bagaimana ia mau menjadi pemimpin jika pemikirannya sepicik atau sesempit itu dengan mengkritik seminar-seminar sejarah yang Hamka lakukan. Kemudian Hamka menimbali “Kenapa tidak bisa dikatakan ilmiyah hasil penyelidikan itu hanya karena sumbernya bukan Snouck Hurgronje, Goldzier atau Zwimmer”, menyebut nama-nama Orientalis,[22] untuk menunjukkan kekurangan yang terjadi dan tidak diperhatikan umat Islam.
Padahal adapula yang mengatasnamakan “ilmiah”, namun sejatinya hanya sebuah istilah untuk membaluti, sebagaimana kata terpimpin yang dipakai saat Orde Lama, demi menjaga hegemoni penguasa. Sebagaimana Hamka menyebutkannya:
Ini “Studi Terpimpin” yang digunakan untuk mengelabui mata orang yang menerima Islam sebagai agama pusaka nenek moyangnya tetapi tidak mendapat peluang untuk mempelajari Islam dari sumbernya sendiri. Lalu dicari “ilmiah” Islam dari guru-guru bangsa Barat yang “mengatur” suatu macam ilmu tentang Islam menurut apa yang mereka kehendaki, karena pengaruh penyerbuan dan ekspansi agama atau kolonialisme.[23]
Manusia yang memahami dan beradab terhadap budaya dan sejarah suatu masyarakat, menurut Hamka, ia akan mampu meletakkan diri dan dapat duduk di mana saja. Ia tidak akan canggung dan berlawanan dengan budaya yang ada. Adab kepada budaya dan sejarah ini dilakukan secara lahir dan batin. Secara lahir, ialah lebih dapat bersikap bijak dalam menghadapi kebudayaan, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak memaksakan suatu kebudayaan baru secara total. Secara batin adalah memikirkan dan merasakan akan alasan suatu budaya itu dapat tegak dalam suatu masyarakat, sehingga tidak terburu-buru dalam menerima atau menghukumi suatu kebudayaan begitu saja. Disini kemudian perlunya memahami sejarah, agar dapat melihat dan memahami suatu kebudayaan secara tepat, dan dibutuhkannya bahasa untuk membaca sejarah dan kebudayaan dengan benar. Hamka menyebutkan:
Kalau kesopanan batin suci, hati bersih, niat bagus, tidak hendak berkicuh berdaya kepada sesama manusia, akan baiklah segenap buahnya bagi segenap masyarakat. Tidaklah akan canggung ke mana dia pergi, walau ke Bugis, ke Makassar, ke Ambon, ke Ternate, ke Jawa, ke Madura, ke Aceh, ke Minang-kabau, bahkan ke sudut dunia yang mana sekalipun.[24]
            Hamka kemudian memberikan contoh bagaimana kesalahan dalam memandang suatu kebudayaan. Ada orang Arab Hejaz, mencela orang Indonesia, karena menganggap mereka sedang makan ular. Padahal yang dimaksud adalah belut, yang merupakan sebangsa dengan ikan. Adapun orang Jawa menuduh orang Arab Hejaz itu pemakan bengkarung, padahal yang mereka makan adalah Dhabb, yang bentuknya mirip dengan bengkarung, namun jenisnya berbeda. Menurut adat indonesia duduk bersila di muka orang tua adalah adab. Adat Eropa apabila bertemu dengan seorang teman mengangkat topi memberi hormat, namun pada bangsa Cina, mengangkat topi ketika akan pergi.[25] Demikian juga adab terhadap bentuk kebudayan lainnya seperti bentuk rumah, makanan, bahasa dan lainnya, yang bagi Hamka tidak boleh dicela begitu saja, sebelum mengetahui alasannya. Yang baru diketahui adalah gambaran dari kebiasaan yang sudah ada, tapi belum ketahui latar belakangnya. Hamka kemudian menyinggung akan kekurangan seseorang yang tidak memahami dan beradab kepada kebudayaan, dengan tidak memperhatikan tentang budaya:
Kalau ini tidak diperhatikan, walaupun tiga lapis ikat kepalanya, tiga kisar letak kerisnya, tiga kisar letak kerisnya, tiga patah susun gelarnya. Walaupun dia keturunan Sang Sapurba dari Bukit Siguntang Mahamereu... tidaklah akan berfaedah hidupnya, masuknya tidaklah akan menjadi laba, keluarnya tidaklah akan membawa rugi.[26]
            Akhirnya dari beberapa uraian penjelasan dan peringatan Hamka dalam memandang bahasa, kebudayaan dan sejarah di atas, Hamka kemudian memberikan anjuran yang patut untuk diperhatikan, khususnya oleh angkatan muda Islam saat ini:
1.        Hendaklah angkatan muda Islam memperdalam pengetahuan dan pengertian ajaran Islam, dituruti dengan amal, sehingga menjadi pandangan hidup yang sebenarnyam dan dapat membandingkan, “mana yang kita punya dan mana yang kepunyaan orang lain.”
2.        Hendaklah angkatan muda Islam mempelajari sejarah umatnya, di Indonesia dan di luarnya, sehingga dia sadar bahwa kebudayaan Islam itu universal sifatnya. Dan kebudayaan yang universal itulah tujuan terakhir dunia di zaman ini. Dan Nasionalisme sempit, tidaklah panjang usianya.
3.        Hendaklah angkatan muda Islam menuntut ilmu pengetahuan, merenung filsafat dan mencintai seni. Sebab semuanya itu adalah anjuran tegas dari agamanya. Sehingga kelak dapat disumbangkan kepada dunia umumnya dan Indonesia khususnya. Untuk membina satu kebudayaan kepunyaan umat manusia, sebagai hasil kecerdasan akal dan keluhuran iman. Dan itulah sekarang yang amat diperlukan oleh pri-kemanusiaan.[27]


[1] Rusydi Hamka dan Iqbal Emsyarip Are Saimima, Kebangkitan Islam dalam Pembahasan, Yayasan Nurul Islam, t.t., hlm. 69.
[2] Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hal.174.
[3] Hamka, Falsafah Hidup..., hlm. 15.
[4] Ibid, hlm. 25.
[5] Buya Hamka pada tahun 1959 ke Medan menjadi delegasi Seminar Bahasa Indonesia yang terdiri dari delegasi-delegasi dari Semenanjung Tanah Melayu, dengan ketua delegasi masing-masing negara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Malaya diwakili oleh ketuanya Tun Abdul Razak yang waktu itu menjadi Mentri Penerangan dan Kebudayaan, kemudian menjadi Perdana Menteri Malaysia.
Salah satu keputusan seminar adalah, bahwa Bahasa Indonesia adalah berasal dari Bahasa Melayu yang disempurnakan atau diperkaya oleh bahasa daerah. Seminar juga mengakui kedudukan bahasa Arab sebagai salah satu sumber perbendaharaan bahasa Indonesia. (Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hlm. 47)
[6] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hlm. 42.
[7] Ibid, hlm. 42.
[8]Ibid, hlm. 43.
[9] Kata pengantar Hamka dalam , H. Abdul Karim Amrullah , Pengantar Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, hlm.VI.
[10] Hamka, Falsafah Hidup..., hal.16
[11] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., hlm. 94-95.
[12] Yayasan Nurul Islam, Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka,, hlm. 279.
[13] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., hlm. 43.
[14] Rusydi Hamka dan Iqbal Emsyarip Are Saimima, Kebangkitan Islam..., hlm
[15] Hamka, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1966, hlm. 222.
[16] Ibid, hlm. 227-228.
[17] Loc.cit.
[18] Ibid, hlm. 229.
[19] Rusydi Hamka, Pribadi dan martabat..., hlm.  95.
[20] Hamka, Beberapa Tantangan Terhadap Ummat Islam di Masa Kini (Secularisme, Syncritisme dan Ma`shiat), Jakarta: Bulan Bintang, 1970., hlm. 9.
[21] Loc. cit.
[22] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat.., hlm. 97.
[23] Hamka, Studi Islam, Jakarta: 1982, hlm. 278.
[24] Hamka, Falsafah Hidup..., hlm. 99-100.
[25] Hamka, Falsafah Hidup..., hlm.  98-99.
[26] Hamka, Falsafah Hidup..., hlm. 100.
[27] Hamka, Pandangan Hidup..., hlm. 230.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons