Nov 8, 2015

Penanaman Ideologi Melalui Sejarah



“Tokoh-tokoh sekuler diangkat secara dominan dalam sejarah, seolah mereka pemeran utama dalam berdirinya Indonesia. Hal tersebut kemudian menjadi legitimasi, bahwa sekularisasi yang saat ini terjadi, merupakan kesepakatan yang telah dimulai oleh para pendiri negeri” ungkap Tiar Anwar Bahtiar, di hadapan sekitar 35 peserta.
Workshop “Perspektif Islam dalam Pengajaran Sejarah” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) dan Ma`had `Aly Imam al Ghazally (MAIG) Surakarta, menghadirkan Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M. Hum, Penasehat Jejak Islam untuk Bangsa dan Peneliti INSISTS Jakarta, pada Sabtu 7 November 2015 di Aula Ma`had `Aly Imam al Ghazally, Surakarta, Jawa Tengah.
Menurut Tiar, ada tiga permasalahan yang terjadi dalam penulisan dan pengajaran sejarah di Indonesia, yang bagi beliau tidak bebas nilai dan melayangkan cara pandang sejarawan serta kepentingan politik pada masa tersebut. Pertama sekularisasi, yaitu sejarah hanya dianggap sebagai hasil dari perbuatan dan pengalaman manusia yang tidak melibatkan Tuhan di dalamnya. Kedua nativisasi, yaitu mendefinisikan kembali akar sejarah Indonesia pada kebudayaan lama (primitif) yang berdasarkan animisme-dinamisme. Ketiga deislamisasi, yaitu menghilangkan peran Islam dalam sejarah Indonesia.
Beliau contohkan misalnya, bagaimana nativisasi dan deislamisasi terjadi dalam buku materi sejarah kelas IX yang banyak digunakan di sekolah-sekolah, menyebutkan bahwa Majapahit yang berideologi Hindu-Budha, adalah yang pertama kali menyatukan Nusantara dan merupakan jiwa bangsa Indonesia, sedangkan keruntuhan Majapahit dan perpecahan yang selanjutnya terjadi, disebabkan oleh serangan kerajaan Demak, Gresik dan Tuban yang menganut agama Islam.
Hal ini menurutnya merupakan kebohongan dan ketidak adilan yang ditanamkan dalam sejarah Indonesia, seperti rekayasa asal-usul manusia, yang sebenarnya tidak ilmiah dan lebih karena pesanan ideologi.
“Banyak sekali hal-hal yang tidak ilmiah dalam sejarah, lebih banyak karena ideologi. Ideologi apapun selalu diperkuat dengan sejarah, dan sejarah memperkuat ideologi” jelasnya.
Peran Islam yang sangat kuat dalam membentuk sejarah Indonesia pun, akhirnya dimentahkan dan dicurigai sebagai kepentingan yang memperpecah belah. Hal ini memberikan tanda akan antipati nya terhadap Islam.
“Orang Indonesia anti terhadap Islam yang dianggap dari Arab, tapi mereka suka dan menerima dengan sejarah yang dibuat oleh orang-orang Eropa dan Kristen” tambah Tiar, doktor jurusan sejarah, alumni Universitas Indonesia.
Maka sangat penting menurut Tiar Anwar Bachtiar, untuk melakukan Islamisasi dalam pengajaran sejarah, sebab sejarah merupakan konsep pemikiran yang berkaitan dengan ideologi, dan ideologi yang saat ini merasuki materi dan pengajaran sejarah harus digantikan dengan ideologi yang benar, yaitu Islam.  Pertama, yaitu menetapkan tujuan-tujuan operasional pendidikan dan pengajaran sejarah dalam kerangka kepentingan pendidikan Islam. Kedua, membuat narasi bahan ajar sejarah yang disesuaikan dengan Islamic Worldview. Ketiga menyiapkan guru-guru sejarah yang memiliki visi Islam dan memahami ajaran Islam dengan baik. (Laporan/Galih)

Nov 5, 2015






“Anak-anak yang tidak diberi didikan sederhana, didikan merdeka, didikan percaya akan kekuatan diri sendiri, tak ubahnya dengan burung yang tidak tumbuh bulunya

“Sebab nyatalah bahwa sederhana, yang boleh disebut “istiqamah” (tegak lurus di tengah-tengah) dan “i`itidal” (sama berat), disuruh di dalam ibadat sendiri, yang akan mendekatkan diri kepada Allah. Apatah lagi di dalam pekerjaan sehari-hari yang tidak mengenai ibadat, perkataan, perbuatan dan gerak-gerik. Semua hendaklah menurut jalan yang telah ditentukan. Menurut suruh agama dan menghentikan larangannya, dan berusaha menuntut kesempurnaan diri, mencapai budi yang utama, menjauhi segala kedurjanaan. Semuanya hendaklah menempuh jalan yang telah ditentukan agama. Sebab agama telah memilih jalan yang sederhana, untuk kemaslahatan kita dunia dan akhirat.” 


 “Orang tua! Bersenang dirilah. Kurangi pekerjaan berat. Tilik pemuda dari jauh, beri pimpinan dengan baik, jangan jadi batu penarung, hendak meminta pemuda kini supaya serupa dengan di zaman beliau masih muda, 40 tahun yang lalu. Tua itu bukanlah artinya tidak terpakai lagi, tetapi si tua adalah tulang belakang si muda. Jika ganjil perangai pemuda yang tidak dicocoki, jangan ditilik kepada perangainya saja, tembuslah sampai kepada darahnya. Menghambat pemuda dalam geloranya, sama denga mengikat kaki tangan anak kecil berumur empat bulan supaya jangan bergerak, atau mengurung anak berumur lima tahun supaya jangan berlari. Kalau hendak begitu juga, lebih baik doakan anak-anak itu lekas sakit supaya dia `elok laku` saja di rumah serupa neneknya. Kalau di waktu masih muda diminta supaya di serupa orang tua pula, maka di waktu tuanya esok serupa siapakah dia?”

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons