Istilah adab telah
populer digunakan dalam tradisi keilmuan Islam, untuk memberikan penjelasan
mengenai akhlak atau tata perbuatan serta tentang sastra. Pembahasan mengenai
adab juga telah menjadi perhatian serta tema besar yang biasa ditulis dalam
satu kitab-kitab tersendiri.
Imam
al Bukhari (194-256) misalnya menulis tentang Adab al-Mufrad, Ibnu Sahnun
(202-256 H) menulis Risalah Adab al-Mua`llimin, al-Rummani (w. 384 H) menulis
tentang adab al-Jadal, al Qabisi (324-403 H) menulis tentang Risalah
al-Mufashilah li Ahwal al-Muta`allimin wa Ahkam al-Mu`allimin wa Muta`allimin,
al-Mawardi (w. 450 H) menulis tentang adab al-Dunya wa al-Din dan Adab
al-Wazir, al-Khatib al-Baghdadi (w. 463
H) menulis tentang al-Faqih wa al-Mutafaqih, al-Ghazali (450-505 H) menulis
kitab Al-Ilm, Fatihah al-Ulum dalam Ihya Ulum al-Din, al-Sam`ani (506-562 H)
menulis Adab al-Imla` wa al-Istimla`, Nashir al-Din al-Thusi (597-672 H)
menulis Kitab Adab al-Muta`allimin, al-Zarnuji (penghujung adab ke-6 H) telah
menulis Ta`lim al-Muta`allimin, Muhyiddin al-Nawawi (w. 676 H) menulis tentang
Adab al-Daris wa al-Mudarris, Ibn Jama`ah (w. 733 H) menulis Tadzkirah al-Sami`
wa al-Mutakallim fii Adab al-A`lim wa al-Muta`allim, al-Syirazi (w. 756 H)
menulis tentang Adab al-Bahs, Abd Lathif al-Maqdisi (w. 856 H) menulis tentang
Syifa` al-Muta`allim Fii Adab al-Muta`allimin, al-Marsifi (w. 981 H) menulis
tentang Ahsan al-Titlab Fiima Yalzam al-Syaikh wa al-Mudarris Min al-Adab, Ibn
Hajar al-Haysami (w. 974 H) menulis Tahrir al-Maqal fii Adab wa Ahkam wa
Fawa`id Yahtaj Ilaiha Mua`ddib al-Athfal, al-Almawi (w. 981 H) menulis al-Mu`id
fii Ada al-Mufid wa al-Mustafid, Badr al-Din al-Ghazzi (w. 984 H) menulis
tentang al-Dur al-Nadid fii Adab al-Munadzarah, Taj al-Din ibn Zakariyya
al-Utsmani (w. 1050) menulis tentang Adab al-Muridin, al-Syaukani (1173-1250 H)
menulis Adab al-Thalab, dan lainnya.[1]
Dari
kajian para ulama tersebut disimpulkan bahwa adab memiliki peran sentral,
khususnya dalam dunia pendidikan. Tanpa adab, dunia pendidikan berjalan tanpa
ruh dan makna. Lebih dari itu, salah satu penyebab utama hilangnya keberkahan
dalam dunia pendidikan adalah kurangnya perhatian penuntut ilmu atau juga
pendidik dalam masalah adab. Az Zarjuni mengatakan, “Banyak dari para pencari ilmu yang sebenarnya mereka sudah
bersungguh-sungguh menuntut ilmu, namun mereka tidak merasakan nikmatnya ilmu,
hal ini disebabkan mereka meninggalkan atau kurang memerhatikan adab dalam
menuntut ilmu.”[2]
Adab
yang diterjemahkan sebagai sastra, dalam berbagai cara yang berbeda sering
diartikan dengan: (1) Pedoman ke arah perbuatan baik dan peralihan dari
perbuatan buruk; (2) perilaku lurus; (3) pengetahuan tentang seni mengarang
puisi; (4) pengetahuan tentang seni bahasa Arab; pengetahuan yang membantu
seseorang menghindari kesalahan dalam diskursus bahasa Arab lisan atau tulisan;
dan (5) pengetahuan dalam pengertian tak terbatas. Dua definisi pertama adab di
atas dapat disederhanakan menjadi definisi yang menuntun pada perbuatan baik;
tiga definisi terakhir dapat disederhanakan menjadi pengetahuan, meskipun
jenisny agak lain – yaitu kemampuan tentang komposisi puitis (3), ketepatan
berbahasa Arab (4), atau sekedar pengetahuan tentang sesuatu (5). Jadi ada dua
aspek adab, aspek praktis yang mengacu pada perbuatan baik,dan aspek teoritis,
yang mengacu pada pengetahuan. [3]
Konsepsi
dan bentuk-bentuk adab memang telah banyak disinggung oleh ulama atau
tokoh-tokoh Islam sejak dahulu, baik mengenai sikap dan sastra. Kemudian secara
lebih ilmiah dan komplek dibahas atau digali kembali oleh seorang intelektual
Islam kontemporer, yaitu Syed Muhammad Naquib al Attas.[4] Bagi
beliau adab merupakan sebuah istilah yang memiliki makna mendasar terhadap
pandangan dan sikap hidup Islam yang benar, serta akar dari permasalahan besar
yang melanda umat Islam saat ini, yang beliau sebut sebagai “Loss of Adab” atau
hilangnya adab.
Al
Attas terbilang yang paling mencolok dan lebih sistematis memberikan penjelasan
mengenai konsep adab dalam buku-bukunya, sebagaimana dalam bukunya Risalah
untuk Kaum Muslimin, yang secara filosofis ia sebutkan:
Adab itu pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan
sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat
dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.[5]
Al
attas menjelaskan bahwa adab merupakan pengenalan serta pengakuan hak sesuatu
sesuai dengan kedudukannya yang tepat. Pengenalan adalah pengetahuan tentang
sesuatu hingga pada taraf hakikat, yang menunjukkan kedudukannya. Pengertian
“mengenal” tidak sama dengan “mengetahui”, mengenal itu merupakan pengetahuan
yang lebih detail dan memberikan pemahaman yang lebih kompleks. Seorang bisa tahu
tentang salah seorang ulama besar Indonesia, yaitu KH. Hasyim Asyari, tapi ia
belum tentu mengenalnya. Ia sebatas mengetahui bahwa KH. Hasyim Asyari adalah
pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Timur. Namun
ia belum tentu mengetahui dengan lebih kompleks atau dalam arti “mengenal” KH.
Hasyim Asyari, tentang perkara yang merujuk pada hakikatnya, seperti bagaimana
latar belakang hidup KH. Hasyrim Asyari, karya-karya yang memuat jalan
pemikirannya, kepribadiannya dalam memimpin keluarga, organisasi dan
pesantrennya, hubungannya dengan ulama-ulama dahulu, serta mendapatkan
keterangan atau pandangan langsung oleh keturunan-keturunannya saat ini tentang
beliau. Sehingga didapatkan pengetahuan yang lebih mendalam dan mengarah pada
keyakinan, bahwa KH. Hasyim Asyari adalah seorang yang benar-benar dikenal
besar memiliki peran dan pengaruh dalam memberikan kesadaran dan membela
kemajuan umat Islam di Indonesia.
“Pengenalan”
yang dimaksud oleh al Attas adalah kesadaran manusia untuk kembali mengetahui
perjanjiannya kepada Tuhannya, yang dimana manusia dan setiap materi pada
tabiat atau asalnya telah memiliki
tempatnya masing-masing dalam hirarki wujud. Adapun “pengakuan” yang
dimaksudkan adalah memperlakukan sesuatu sesuai dengan tempatnya masing-masing
berdasarkan tingkatan wujud. Pengenalan didapatkan melalui ilmu, sedangkan
pengakuan dilakukan melalui amal. Melalui ilmu, manusia dapat mengenal sesuatu
sesuai dengan hakikat dan tingkatannya. Ketika sesuatu telah dikenal hakikat
dan tingkatannya, maka ia akan dapat menempatkan dan memperlakukan sesuatu
sesuai dengan kedudukannya yang benar dalam susunan berperingkat martabat,
dalam arti dikenal kemudian diakui. Melalui hal ini kemudian keadilan dapat
ditegakkan, ketika makna adab dipahami dan diterapkan. Di sini kemudian
pentingnya ilmu yang dibimbing oleh hikmat didapatkan oleh manusia, sehingga ia
dapat mengenal. Sebagaimana dijelaskan oleh al Attas pada tahun 1970-an dalam
bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin:
Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat, yang
memberitahu atau memperkenalkan sehingga ketara tentang hak yang mensifatkan
sesuatu atau seseorang itu; dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di
manakah atau bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya.[6]
Menurut
al Attas, semua ilmu pengetahuan
datang dari Allah Swt, dan ia menerima klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah
diberikan oleh para filosof, pakar dan orang bijak, khususnya para sufi. Ilmu
dikategoriasasikan oleh al Attas menjadi dua bagian, sebagai bentuk keadilan
dalam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai objek, dan manusia sebagai subjek,
yaitu ilmu pengenalan atau iluminasi dan ilmu pengetahuan atau sains. Ilmu
pengenalan hanya terjadi pada makhluk hidup, yang melibatkan interaksi batin
yang kuat untuk dapat mengakui dan mengenal sesuatu itu dengan cara yang tepat
secara personalitas dan tingkat yang ingin diketahuinya.[7]
Ilmu pengenalan merupakan makanan bagi jiwa manusia.
Pada konteks Nabi Muhammad Saw, ilmu ini diberikan Allah Swt secara langsung
kepada beliau dalam bentuk al-Qur`an, yang kemudian dipahami dan diamalkan
sebagai Sunnah. Dalam perspektif hukum, al-Qur`an dan Sunnah ini disebut dengan
syariat, sedangkan dalam perspektif spiritual disebut dengan ilmu laduni atau
hikmah. Ilmu hikmah diberikan Allah Swt kepada manusia melalui kasyaf atau intuisi (ilham) dan
pengalaman spiritual yang memungkinkan pemiliknya mengetahui batas kegunaan dan
batasan makna yang terdapat dalam berbagai persoalan dan ilmu pengetahuan yang
ditekuninya, yang memungkinkannya bertindak dengan adil. Pengetahuan tentang
Allah Swt adalah keutamaan religius yang juga berasal dari hikmah. Al Attas di
lain tempat juga menyebutkan bahwa hikmah bisa didapatkan dalam kombinasi dua
jenis ilmu, yaitu ilmu pengenalan dan sains. [8]
Sebab keduanya bisa menjadi perantara datangnya hikmah, sebagaimana misalnya
bisa kita temukan, bagaimana seorang ilmuan yang melakukan ketekunan keilmuan
dan penemuan, bisa mendapatkan pengenalan saat hatinya terbuka dan tersibak
mendapatkan fenomena dalam penelitiannya tentang manusia dan alam yang
menunjukkan akan adanya suatu kebesaran di luar dirinya. Terlebih kepada
orang-orang yang sejak awal bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri dan
memikirkan akan kebesaran Allah.
Hikmah merupakan ilmu untuk mengetahui tempat atau
kedudukan sesuatu dengan tepat dan benar, yang memberikan timbangan keadilan
yang terpancar dan terdisiplin pada setiap tingkatan, mulanya dalam diri
manusia sendiri. Hikmah tidak didapatkan dan diberikan oleh sembarang orang,
namun diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah untuk diberikan
hikmah, yang merupakan bagian dari kebaikan besar. Didefinisikan oleh al Attas
apa yang dimaksud dengan hikmah:
Hikmah adalah ilmu yang memberitahu nazar akali diri
yang mendapat tahu di mana letaknya tempat yang wajar, yang tepat menyelarasi
sifat sesuatu, bagi tiap sesuatu –termasuk diri yang mengetahui itu sendiri.
Dan dari itu maka hikmah itu adalah pancaran keadilan.[9]
Ilmu untuk mengetahui kedudukan sesuatu dengan tepat
adalah hikmah, sedangkan perbuatan yang dibimbing oleh hikmah, atau perlakuan
yang menyesuaikan dengan tempat yang benar itu, disebut sebagai adab. Apabila
manusia telah mendapatkan hikmah dan melakukan perbuatan beradab, maka hasilnya
adalah keadilan pada diri dan lingkungan luar dirinya, yang memberikan sebuah
pandangan dan sikap yang meletakkan sesuatu pada tempatnya secara harmonis.
Jadi keadilan adalah keadaan di mana adab diterapkan, dan seseorang yang di
dalam dirinya tersimpan adab mencerminkan kebijaksanaan:
Jadi adab itu perolehan diri akan keadaan atau
kedudukan yang betul dan benar yang tiada dapat tiada sesuai dengan keperluan
ilmu dan hikmat dan keadilan, serta perbuatan diri terhadap keadaan atau
kedudukan yang betul dan benar itu menurut letaknya dalam rencana susunan
berperingkat martabat dan darjat yang mencarakan tabiat semesta.[10]
Pengenalan dan pengakuan yang
menjadi landasan manusia beradab, dibentuk berdasarkan pada pandangan hidup
Islam (Worldview of Islam), yakni
bagaimana manusia memandang hirarki wujud sesuai dengan tempat dan
ketinggiannya, yang disalurkan melalui pendidikan yang berbasis nilai atau
syariat Islam. Hal ini pula yang menjadi menjadi prinsip dan timbangan hidup
Muslim dalam menyikapi dan memandang segala sesuatu. Menjadikan seseorang dapat
menempatkan diri dan berbuat adil, kapan, di mana serta bagaimana memperlakukan
sesuatu sesuai dengan kadar yang tepat. Dan sebab itulah, para ulama menekankan
pentingnya bersungguh-sungguh dalam mencari adab, karena untuk meraihnya pun
tidak mudah, memerlukan ilmu dan hikmah dari Allah Swt. Anas radhiallahu
`anhu meriwayatkan bahwa Rasululullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Akrimuu auladakum, wa ahsinuu adabahum”,
kata Rasulullah “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka”. (HR.
Ibnu Majah)
[1] Ahmad Alim “Ilmu dan Adab dalam
Islam”, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2013, hlm.
191-192.
[2] Loc. cit.
[3] George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan
Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat, Jakarta:
Serambi, 2005, hlm. 144.
[4] Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib
al Attas adalah seorang intelektual Islam dunia, yang telah cukup masyur
dikenal namanya sebagai penggagas Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dan pemikir
kontemporer di dunia Melayu. Syed Muhammad Naquib al Attas – ada yang
menyebutnya Habib Naquib – lahir di Bogor, Jawa Barat, 5 September 1932 M.
Beliau sempat mengenyam pendidikan dasar beberapa tahun di Bogor dan Sukabumi.
Al Attas adalah cucu dari Habib Abdullah bin Muhsinal Attas, atau yang lebih dikenal
sebagai Habib Keramat, dan setelah ditelusuri Prof Wan, ia menemukan bahwa al
Attas adalah keturunan ke-37 dari silsilah keturunan Rasulullah Saw, bertemu
pada garis Hussein bin Ali bin Abi Thalib r.a . Kakek al Attas, Habib Keramat
merupakan seorang ulama besar di Nusantara. Bisa dilihat dari hasil didikannya,
yaitu para muridnya –dengan izin Allah—menjadi ulama-ulama yang terkenal,
diantaranya yaitu Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir al Hadad (Mufti Kerajaan
Johor). Al Attas sempat mengenyam pendidikan
militer di Royal Military Academy, Sanghurt England (1952-1955). Karir
militernya tidak dilanjutkan dan ia lebih tertarik melanjutkan studinya ke
Universitas Malaya di Singapura, 1957-1959. Tahun 1962, Syed Naquib al-Attas
meraih gelar M.A. di Islamic Studies di
Mc-Gill University, dengan Tesis berjudul Raniry and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.
Kemudian pada tahun 1965, Syed Naquib al Attas menyelesaikan Ph.D. degree di School of Oreintal and African
Studies (SOAS) University of London, dengan disertasi dua jilid berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri.
Berbagai jabatan penting dalam dunia pendidikan yang pernah didudukinya antara
lain: ketua Department of Malay Language
and Literature, Dekan the Faculty of Arts, dan pemegang pertama `the Chair of Malay Language and Literature`,
dan Direktur pertama The Institute of
Malay Language, Literatur and Culture, yang ia dirikan tahun 1973. Al Attas
juga mengetuai the Division of Literatur
di Depaetment of Malay Studies, University of Malay, Kuala Lumpur. Juga
pernah memegang posisi UNESCO expert on
Islamics; Visiting Scholar and Professor of Islamics at Temple University and
Ohio University, distinguished Professorof Islamic Studies and first holder of
the Tun Abdul Razak Distinguished Chair of Southeast Asian Studies at the
American University, Washington, Ibn Khaldun Chair of Islamic Studies
(1986), dan Life Holder Distinguished al
Ghazali Chair of Islamic Thought, International Institute of Islamic Thought
and Civilization (ISTAC), 1993. (Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina
Qolam-INSISTS, 2015, hlm. 76-81)
[5] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala
Lumpur: ISTAC, 2001, hlm. 118.
[6] Ibid, hlm. 119.
[7] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 154.
[8] Ibid, hlm. 155-156.
[9] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk... hlm. 147.
[10] Ibid, hlm. 119.
0 komentar:
Post a Comment