Jul 12, 2016

revolusi adab 2



Istilah adab telah populer digunakan dalam tradisi keilmuan Islam, untuk memberikan penjelasan mengenai akhlak atau tata perbuatan serta tentang sastra. Pembahasan mengenai adab juga telah menjadi perhatian serta tema besar yang biasa ditulis dalam satu kitab-kitab tersendiri.
Imam al Bukhari (194-256) misalnya menulis tentang Adab al-Mufrad, Ibnu Sahnun (202-256 H) menulis Risalah Adab al-Mua`llimin, al-Rummani (w. 384 H) menulis tentang adab al-Jadal, al Qabisi (324-403 H) menulis tentang Risalah al-Mufashilah li Ahwal al-Muta`allimin wa Ahkam al-Mu`allimin wa Muta`allimin, al-Mawardi (w. 450 H) menulis tentang adab al-Dunya wa al-Din dan Adab al-Wazir,  al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) menulis tentang al-Faqih wa al-Mutafaqih, al-Ghazali (450-505 H) menulis kitab Al-Ilm, Fatihah al-Ulum dalam Ihya Ulum al-Din, al-Sam`ani (506-562 H) menulis Adab al-Imla` wa al-Istimla`, Nashir al-Din al-Thusi (597-672 H) menulis Kitab Adab al-Muta`allimin, al-Zarnuji (penghujung adab ke-6 H) telah menulis Ta`lim al-Muta`allimin, Muhyiddin al-Nawawi (w. 676 H) menulis tentang Adab al-Daris wa al-Mudarris, Ibn Jama`ah (w. 733 H) menulis Tadzkirah al-Sami` wa al-Mutakallim fii Adab al-A`lim wa al-Muta`allim, al-Syirazi (w. 756 H) menulis tentang Adab al-Bahs, Abd Lathif al-Maqdisi (w. 856 H) menulis tentang Syifa` al-Muta`allim Fii Adab al-Muta`allimin, al-Marsifi (w. 981 H) menulis tentang Ahsan al-Titlab Fiima Yalzam al-Syaikh wa al-Mudarris Min al-Adab, Ibn Hajar al-Haysami (w. 974 H) menulis Tahrir al-Maqal fii Adab wa Ahkam wa Fawa`id Yahtaj Ilaiha Mua`ddib al-Athfal, al-Almawi (w. 981 H) menulis al-Mu`id fii Ada al-Mufid wa al-Mustafid, Badr al-Din al-Ghazzi (w. 984 H) menulis tentang al-Dur al-Nadid fii Adab al-Munadzarah, Taj al-Din ibn Zakariyya al-Utsmani (w. 1050) menulis tentang Adab al-Muridin, al-Syaukani (1173-1250 H) menulis Adab al-Thalab, dan lainnya.[1]
Dari kajian para ulama tersebut disimpulkan bahwa adab memiliki peran sentral, khususnya dalam dunia pendidikan. Tanpa adab, dunia pendidikan berjalan tanpa ruh dan makna. Lebih dari itu, salah satu penyebab utama hilangnya keberkahan dalam dunia pendidikan adalah kurangnya perhatian penuntut ilmu atau juga pendidik dalam masalah adab. Az Zarjuni mengatakan, “Banyak dari para pencari ilmu yang sebenarnya mereka sudah bersungguh-sungguh menuntut ilmu, namun mereka tidak merasakan nikmatnya ilmu, hal ini disebabkan mereka meninggalkan atau kurang memerhatikan adab dalam menuntut ilmu.”[2]
Adab yang diterjemahkan sebagai sastra, dalam berbagai cara yang berbeda sering diartikan dengan: (1) Pedoman ke arah perbuatan baik dan peralihan dari perbuatan buruk; (2) perilaku lurus; (3) pengetahuan tentang seni mengarang puisi; (4) pengetahuan tentang seni bahasa Arab; pengetahuan yang membantu seseorang menghindari kesalahan dalam diskursus bahasa Arab lisan atau tulisan; dan (5) pengetahuan dalam pengertian tak terbatas. Dua definisi pertama adab di atas dapat disederhanakan menjadi definisi yang menuntun pada perbuatan baik; tiga definisi terakhir dapat disederhanakan menjadi pengetahuan, meskipun jenisny agak lain – yaitu kemampuan tentang komposisi puitis (3), ketepatan berbahasa Arab (4), atau sekedar pengetahuan tentang sesuatu (5). Jadi ada dua aspek adab, aspek praktis yang mengacu pada perbuatan baik,dan aspek teoritis, yang mengacu pada pengetahuan. [3]
Konsepsi dan bentuk-bentuk adab memang telah banyak disinggung oleh ulama atau tokoh-tokoh Islam sejak dahulu, baik mengenai sikap dan sastra. Kemudian secara lebih ilmiah dan komplek dibahas atau digali kembali oleh seorang intelektual Islam kontemporer, yaitu Syed Muhammad Naquib al Attas.[4] Bagi beliau adab merupakan sebuah istilah yang memiliki makna mendasar terhadap pandangan dan sikap hidup Islam yang benar, serta akar dari permasalahan besar yang melanda umat Islam saat ini, yang beliau sebut sebagai “Loss of Adab” atau hilangnya adab.
Al Attas terbilang yang paling mencolok dan lebih sistematis memberikan penjelasan mengenai konsep adab dalam buku-bukunya, sebagaimana dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin, yang secara filosofis ia sebutkan:
Adab itu pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.[5]
Al attas menjelaskan bahwa adab merupakan pengenalan serta pengakuan hak sesuatu sesuai dengan kedudukannya yang tepat. Pengenalan adalah pengetahuan tentang sesuatu hingga pada taraf hakikat, yang menunjukkan kedudukannya. Pengertian “mengenal” tidak sama dengan “mengetahui”, mengenal itu merupakan pengetahuan yang lebih detail dan memberikan pemahaman yang lebih kompleks. Seorang bisa tahu tentang salah seorang ulama besar Indonesia, yaitu KH. Hasyim Asyari, tapi ia belum tentu mengenalnya. Ia sebatas mengetahui bahwa KH. Hasyim Asyari adalah pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Timur. Namun ia belum tentu mengetahui dengan lebih kompleks atau dalam arti “mengenal” KH. Hasyim Asyari, tentang perkara yang merujuk pada hakikatnya, seperti bagaimana latar belakang hidup KH. Hasyrim Asyari, karya-karya yang memuat jalan pemikirannya, kepribadiannya dalam memimpin keluarga, organisasi dan pesantrennya, hubungannya dengan ulama-ulama dahulu, serta mendapatkan keterangan atau pandangan langsung oleh keturunan-keturunannya saat ini tentang beliau. Sehingga didapatkan pengetahuan yang lebih mendalam dan mengarah pada keyakinan, bahwa KH. Hasyim Asyari adalah seorang yang benar-benar dikenal besar memiliki peran dan pengaruh dalam memberikan kesadaran dan membela kemajuan umat Islam di Indonesia.
“Pengenalan” yang dimaksud oleh al Attas adalah kesadaran manusia untuk kembali mengetahui perjanjiannya kepada Tuhannya, yang dimana manusia dan setiap materi pada tabiat atau asalnya  telah memiliki tempatnya masing-masing dalam hirarki wujud. Adapun “pengakuan” yang dimaksudkan adalah memperlakukan sesuatu sesuai dengan tempatnya masing-masing berdasarkan tingkatan wujud. Pengenalan didapatkan melalui ilmu, sedangkan pengakuan dilakukan melalui amal. Melalui ilmu, manusia dapat mengenal sesuatu sesuai dengan hakikat dan tingkatannya. Ketika sesuatu telah dikenal hakikat dan tingkatannya, maka ia akan dapat menempatkan dan memperlakukan sesuatu sesuai dengan kedudukannya yang benar dalam susunan berperingkat martabat, dalam arti dikenal kemudian diakui. Melalui hal ini kemudian keadilan dapat ditegakkan, ketika makna adab dipahami dan diterapkan. Di sini kemudian pentingnya ilmu yang dibimbing oleh hikmat didapatkan oleh manusia, sehingga ia dapat mengenal. Sebagaimana dijelaskan oleh al Attas pada tahun 1970-an dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin: 
Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat, yang memberitahu atau memperkenalkan sehingga ketara tentang hak yang mensifatkan sesuatu atau seseorang itu; dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di manakah atau bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya.[6]
Menurut al Attas, semua ilmu pengetahuan datang dari Allah Swt, dan ia menerima klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah diberikan oleh para filosof, pakar dan orang bijak, khususnya para sufi. Ilmu dikategoriasasikan oleh al Attas menjadi dua bagian, sebagai bentuk keadilan dalam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai objek, dan manusia sebagai subjek, yaitu ilmu pengenalan atau iluminasi dan ilmu pengetahuan atau sains. Ilmu pengenalan hanya terjadi pada makhluk hidup, yang melibatkan interaksi batin yang kuat untuk dapat mengakui dan mengenal sesuatu itu dengan cara yang tepat secara personalitas dan tingkat yang ingin diketahuinya.[7]
Ilmu pengenalan merupakan makanan bagi jiwa manusia. Pada konteks Nabi Muhammad Saw, ilmu ini diberikan Allah Swt secara langsung kepada beliau dalam bentuk al-Qur`an, yang kemudian dipahami dan diamalkan sebagai Sunnah. Dalam perspektif hukum, al-Qur`an dan Sunnah ini disebut dengan syariat, sedangkan dalam perspektif spiritual disebut dengan ilmu laduni atau hikmah. Ilmu hikmah diberikan Allah Swt kepada manusia melalui kasyaf atau intuisi (ilham) dan pengalaman spiritual yang memungkinkan pemiliknya mengetahui batas kegunaan dan batasan makna yang terdapat dalam berbagai persoalan dan ilmu pengetahuan yang ditekuninya, yang memungkinkannya bertindak dengan adil. Pengetahuan tentang Allah Swt adalah keutamaan religius yang juga berasal dari hikmah. Al Attas di lain tempat juga menyebutkan bahwa hikmah bisa didapatkan dalam kombinasi dua jenis ilmu, yaitu ilmu pengenalan dan sains. [8] Sebab keduanya bisa menjadi perantara datangnya hikmah, sebagaimana misalnya bisa kita temukan, bagaimana seorang ilmuan yang melakukan ketekunan keilmuan dan penemuan, bisa mendapatkan pengenalan saat hatinya terbuka dan tersibak mendapatkan fenomena dalam penelitiannya tentang manusia dan alam yang menunjukkan akan adanya suatu kebesaran di luar dirinya. Terlebih kepada orang-orang yang sejak awal bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri dan memikirkan akan kebesaran Allah.
Hikmah merupakan ilmu untuk mengetahui tempat atau kedudukan sesuatu dengan tepat dan benar, yang memberikan timbangan keadilan yang terpancar dan terdisiplin pada setiap tingkatan, mulanya dalam diri manusia sendiri. Hikmah tidak didapatkan dan diberikan oleh sembarang orang, namun diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah untuk diberikan hikmah, yang merupakan bagian dari kebaikan besar. Didefinisikan oleh al Attas apa yang dimaksud dengan hikmah:
Hikmah adalah ilmu yang memberitahu nazar akali diri yang mendapat tahu di mana letaknya tempat yang wajar, yang tepat menyelarasi sifat sesuatu, bagi tiap sesuatu –termasuk diri yang mengetahui itu sendiri. Dan dari itu maka hikmah itu adalah pancaran keadilan.[9]
Ilmu untuk mengetahui kedudukan sesuatu dengan tepat adalah hikmah, sedangkan perbuatan yang dibimbing oleh hikmah, atau perlakuan yang menyesuaikan dengan tempat yang benar itu, disebut sebagai adab. Apabila manusia telah mendapatkan hikmah dan melakukan perbuatan beradab, maka hasilnya adalah keadilan pada diri dan lingkungan luar dirinya, yang memberikan sebuah pandangan dan sikap yang meletakkan sesuatu pada tempatnya secara harmonis. Jadi keadilan adalah keadaan di mana adab diterapkan, dan seseorang yang di dalam dirinya tersimpan adab mencerminkan kebijaksanaan:
Jadi adab itu perolehan diri akan keadaan atau kedudukan yang betul dan benar yang tiada dapat tiada sesuai dengan keperluan ilmu dan hikmat dan keadilan, serta perbuatan diri terhadap keadaan atau kedudukan yang betul dan benar itu menurut letaknya dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat yang mencarakan tabiat semesta.[10]
Pengenalan dan pengakuan yang menjadi landasan manusia beradab, dibentuk berdasarkan pada pandangan hidup Islam (Worldview of Islam), yakni bagaimana manusia memandang hirarki wujud sesuai dengan tempat dan ketinggiannya, yang disalurkan melalui pendidikan yang berbasis nilai atau syariat Islam. Hal ini pula yang menjadi menjadi prinsip dan timbangan hidup Muslim dalam menyikapi dan memandang segala sesuatu. Menjadikan seseorang dapat menempatkan diri dan berbuat adil, kapan, di mana serta bagaimana memperlakukan sesuatu sesuai dengan kadar yang tepat. Dan sebab itulah, para ulama menekankan pentingnya bersungguh-sungguh dalam mencari adab, karena untuk meraihnya pun tidak mudah, memerlukan ilmu dan hikmah dari Allah Swt. Anas radhiallahu `anhu meriwayatkan bahwa Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Akrimuu auladakum, wa ahsinuu adabahum”, kata Rasulullah “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka”. (HR. Ibnu Majah)


[1] Ahmad Alim “Ilmu dan Adab dalam Islam”, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2013, hlm. 191-192.
[2] Loc. cit.
[3] George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat, Jakarta: Serambi, 2005, hlm. 144.
[4] Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al Attas adalah seorang intelektual Islam dunia, yang telah cukup masyur dikenal namanya sebagai penggagas Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dan pemikir kontemporer di dunia Melayu. Syed Muhammad Naquib al Attas – ada yang menyebutnya Habib Naquib – lahir di Bogor, Jawa Barat, 5 September 1932 M. Beliau sempat mengenyam pendidikan dasar beberapa tahun di Bogor dan Sukabumi. Al Attas adalah cucu dari Habib Abdullah bin Muhsinal Attas, atau yang lebih dikenal sebagai Habib Keramat, dan setelah ditelusuri Prof Wan, ia menemukan bahwa al Attas adalah keturunan ke-37 dari silsilah keturunan Rasulullah Saw, bertemu pada garis Hussein bin Ali bin Abi Thalib r.a . Kakek al Attas, Habib Keramat merupakan seorang ulama besar di Nusantara. Bisa dilihat dari hasil didikannya, yaitu para muridnya –dengan izin Allah—menjadi ulama-ulama yang terkenal, diantaranya yaitu Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir al Hadad (Mufti Kerajaan Johor).  Al Attas sempat mengenyam pendidikan militer di Royal Military Academy, Sanghurt England (1952-1955). Karir militernya tidak dilanjutkan dan ia lebih tertarik melanjutkan studinya ke Universitas Malaya di Singapura, 1957-1959. Tahun 1962, Syed Naquib al-Attas meraih gelar M.A. di Islamic Studies di Mc-Gill University, dengan Tesis berjudul Raniry and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh. Kemudian pada tahun 1965, Syed Naquib al Attas menyelesaikan Ph.D. degree di School of Oreintal and African Studies (SOAS) University of London, dengan disertasi dua jilid berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri. Berbagai jabatan penting dalam dunia pendidikan yang pernah didudukinya antara lain: ketua Department of Malay Language and Literature, Dekan the Faculty of Arts, dan pemegang pertama `the Chair of Malay Language and Literature`, dan Direktur pertama The Institute of Malay Language, Literatur and Culture, yang ia dirikan tahun 1973. Al Attas juga mengetuai the Division of Literatur di Depaetment of Malay Studies, University of Malay, Kuala Lumpur. Juga pernah memegang posisi UNESCO expert on Islamics; Visiting Scholar and Professor of Islamics at Temple University and Ohio University, distinguished Professorof Islamic Studies and first holder of the Tun Abdul Razak Distinguished Chair of Southeast Asian Studies at the American University, Washington, Ibn Khaldun Chair of Islamic Studies (1986), dan Life Holder Distinguished al Ghazali Chair of Islamic Thought, International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993. (Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina Qolam-INSISTS, 2015, hlm. 76-81)
[5] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001, hlm.  118.

[6] Ibid, hlm.  119.
[7] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 154.
[8] Ibid, hlm. 155-156.
[9] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk... hlm.  147.
[10] Ibid, hlm.  119.

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons