Jul 4, 2016

Benturan Peradaban: Antara Barat dan Islam



Dalam deretan waktu panjang yang telah tertelusuri.Diantara persinggungan dan persaingan peradaban yang silih berganti dan tak terelaki. Merupakan sebuah kesempatan maupun kehimpitan yang terus bergulir mengambil alih posisi dari superioritas sebuah peradaban yang sedang berdiri menguasai dan mengendali peradaban-peradaban yang telah terisolasi. Tak sedikit kemudian serpihan kecil sisa peradaban saling berafiliasi dengan membawa kepentingan tersendiri,berkontruksi membentuk kekuatan baru yang lebih besar sebagai pengganti. Demikianlah sejarah perjalanan kehidupan di antara peradaban manusia terus berjalan dan berganti hingga kepastian akhir berpihak pada yang Maha Menguasai.
            Seperti yang diketahui dan diakui, bahwasanyaPeradaban Barat saat ini sedang mendominasidi berbagai aspek kehidupan. Peradaban ini membawa kemajuan dan kemanfaatan materi serta ilmu pengetahuan bagi pemenuhan, kemudahan dan kesenangan hidup manusia. Kemilau kemajuan yang dihasilkan, banyak memukau berbagai kalangan untuk memuji dan menarik diri dalam gelombang besar arus globalisasi yang mereka pelopori. Mengambil secara utuh baik bunga maupun duri dari Peradaban ini untuk ditanamkan diberbagai negeri.
            Di lain sisi, tidak sedikit pula yang dengan tegas menolak penuh dan mengkritisi, baik konsep, sistem, hasil, maupun dasar ideologi yang diadobsi. Peradaban yang tak disangkal,juga telah membawa kehancuran nilai, moral, manusia dan kerusakan alam serta diri.Yang saat ini menjadi sistem hidup yang mesti diterima danberkembang mempengaruhi berbagai bentuk kebijakan sampai padalingkup terkecil yang tak terbayangi, menjadi “tuan tanah” diberbagai negeri yang terus menggali potensi untuk dieksplotasi. Adapula sebagian kecil yang bersikap bijak dengan mengambil jalan tengah, mengadobsi dan mengadaptasi yang berkesesuaian dengan ideologi.
            Pemandangan tersebut akhirnya menghasilkan gagasan-gagasan yangberbenturan diberbagai sisi.Para tokoh dan pengamat mengungkapkan alasan dan kesimpulan dengan berbagai dalih,tentang peran, persaingan dan kejatuhanperadaban, yang dimulai dari benturan pemikiran dan sistem hidup yang berbeda dan berseberangan. Ada yang adil dan bijak dalam menyikapi, namun tak sedikit yang memaksakan dan menyombongkan diri.
Francis Fukuyama, seorang ilmuan Amerika keturunan Jepang yang bekerja sebagai pakar di pusat riset Departemen luar Negeri Amerika mengeluarkan teori akhir sejarah yang sangat populer dan disanjung dipenghujung abad 20, dalam bukunya The End of History and The Last Manyang merupakan pengembangan dari artikelnya The End of History? Di jurnal TheNational Interest (Summer 1989).Fukuyama mengasumsikan bahwa akhir sejarah akan berhenti pada diadobsinya ideologi dan sistem demokrasi liberal sebagai konsensus yang mesti diterima, pasca kemenangan Barat terhadap rival ideologisnya, monarki herediter, komunisme, dan fasisme, berbagai negara kemudian mulai menerapkan sistem demokrasi liberal yang dianggap ideal dan modern. Kesuksesan dan kemajuan berbagaihalkhususnyamateripada Peradaban Barat saat ini, dianggap sebagai hasil dari demokrasi liberal yang diterapkan, sehingga banyakkemudianyanglatahmengikutinya.
            Dalam bukunya, Fukuyama memasang sederet negara yang pada tahun 1990-an memilih sistem demokrasi liberal, yang seolah menjadi indikasi sebagaimana ramalan Hegel, bahwa akhir sejarah umat manusia akan menerima kesepakatan demokrasi liberal.Fukuyama mencatat bahwa tidak akan ada lagi tantangan ideologis serius terhadap demokrasi liberal. Tahun 1790, hanya tiga negara; AS, Swiss dan Prancis, yang memilih demokrasi liberal. Tahun 1848 jumlahnya 5 negara; tahun 1900,13 negara; tahun 1975, 30 negara; dan tahun 1990 menjadi 61 negara.
            Kesombongan Fukuyama yang memperediksikan bahwa demokrasi liberal akan diterima secara rata oleh seluruh dunia dan menjadi titik akhir sejarah manusia, ternyata juga tidak sepenuhnya dan lebih diikuti phobia. Prinsip dan nilai dasar demokrasi adalah relativisme dan penolakan nilai absolut dari agama, yang ia akui bahwa Islam merupakan tantangan ideologi utama bagi Peradaban Barat saat ini.Konsep hidup Islam yangkompleks dan kokoh, bertolak belakang dengan liberalisme yang menjadi prasyarat demokrasi di dunia Islam. Fukuyama menggaris yang menurutnya sangat sulit untuk menerima demokrasi adalah Islam fundamentalis dan Yahudi ortodoks, yang keduanya disebut “totalistic religions”, agama yang ingin mengatur semua aspek kehidupan, baik yang bersifat publik, seperti politik maupun pribadi.
            Bersamaan dengan itu, Samuel Huntington seorang pakar ilmu politik di Universitas Harvard yang merupakan Penasehat Politik AS, mengeluarkan buku Clash of Civilization and The Remaking of World Order (1996) yang merupakan hasil perdebatan panjang tentang artikelnya The Clash of Civilizations di jurnal Foreign Affairs (summer 1993). Huntington mengungkap penelitiannya yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara Islam dan demokratisasi, sebaliknya adanya korelasi yang tinggi antara agama Kristen Barat dengan demokrasi. Di tahun 1988, agama Katolik dan Protestan merupakan agama dominan pada 39 dari 46 negara demokratis. Ke 39 negara demokratis itu merupakan 57 persen dari 68 negara dimana Kristen Barat merupakan agama dominan. Sebaliknya, dari 58 negara yang agama dominannya bukan Kristen Barat, hanya ada 7 negara atau 12 persen yang dapat dikategorikan negara demokratis. Jadi simpul Huntington, demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri di mana mayoritas besar penduduknya beragama Islam, Budha atau Konfusius.
Menurut Huntington, Islam adalah satu-satunya peradaban yang membuat Barat tidak merasa aman dan pernah menjatuhkannya hingga dua kali. Sehingga pasca perang dingin, kemenangan Barat terhadap uni soviet yang berideologi komunis. Islam menjadi tantangan dan kekhawatiran serius akan adanya negara yang muncul menerapkan ideologi Islam. Dan kesombongan awal Fukuyama tentang akhir sejarah yangakandidominasi demokrasi liberal pada dunia juga tampak semakin kuat terbantahkan. Nicholas Lash, seorang guru besar University Cambridge dalam bukunya The Beginning and The End of Religion, menulis satu bab berjudul `Beyond The End of History?yang mengkritik gagasan Fukuyama tentang `The End of History, dengan menyatakan hal tersebut sebagai lelucon gila tentang akhir sejarah, tulisnya “the mad joke of the end of history”.
            Pada pemilu di Aljazair yang dimenangkan oleh Partai FIS, terjadi dukungan Barat untuk pembatalan dalam pemilihan tersebut. Setelah dilakukan pemilihan ulang dan FIS mendapatkan kemenangan mutlak untuk kedua kalinya, terjadi kudeta dari pihak militer dan mengambil alih posisi partai FIS.Cristoper Ogden dalam artikel View from Washington, Times 3 Februari 1992 menyatakan, bahwa sikap AS dan Prancis yang menyatakan bahwa kudeta Aljazair “konstitusional”, tidak lain merupakan gejala penyakit gila atau ketakutan tanpa dasar terhadap Muslim Fundamentalis.Kemenangan Hamas pada pemilu di Palestina juga mendapatkan penolakan, karena tidak sesuai dengan keinginan AS dan Israel. Demikian halnya yangterjadi beberapawaktuterakhir, kemenangan Ikhwanul Muslimin di Mesir juga segeraditumbangkanolehpesananmiliternegara Barat, akibatmassifnyakebijakanIkhwanulMuslimindalambeberapawaktukepemimpinannya yang membawa kepentingan Islam.Hal inimemperlihatkanbahwaBarat menggunakan standar ganda dan tidak konsisten dalam memasarkan demokrasi, yang kononjargonnya adalah menempatkan setiap hak manusia dan negara pada prinsip “equality” atau kesamaan, memberikan kebebasan kepada mayoritas suara atau hak masyarakat untuk mementukan kebijakan dan aturannya masing-masing.Namunpada faktanya demokrasi digunakansesuai dengan monopoli kepentingan dan kekuasaannya. Jika demokrasi jatuh pada kendali gerakan Islam fundamental, demokrasiseakan tidak diberlakukan.
            Demokrasi juga menunjukkan kelemahannya, Barat meyakini bahwa mayoritas dari umat manusia tidak dapat menghasilkan keputusan yang baik bagi dunia internasional, jika bertentangan dengan keinginan mereka. PBB sebagai penghulu demokrasi yang sejak awal didirikan pada 24 Oktober 1945, telah menentukan lima negara yang dikenal dengan “The Big Five”, yaitu AS, Rusia, Cina, Prancis dan Inggris, yang mendapatkan hak “Veto”. Dari 15 negara Dewan Keamanan PBB, 5 negara ini adalah anggota tetap, dan sisanya 10 negara dipilih setiap dua tahun oleh Majelis Umum PBB. Dewan ini memiliki tugas vital yaitu bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Jika salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB memberikan veto (larangan), maka resolusi tidak dapat diterapkan.
Mayoritas negara dunia sebenarnya sejak lama menuntut restrukturisasi PBB, namun tidak dihiraukan. Bahkan ketika mayoritas telah bersepakat dan menyetujui satu resolusi, tetapi hanya karena satu negara anggota tetap Dewan Keamanan tidak menyetujui, maka keputusan PBB itu tidak bernyali. Seperti kecaman tindakan ASpada Iraq dan perbuatan Israel terhadap Palestina yang telah lama dikutuk oleh mayoritas dunia, namun tetap aman-aman saja. Yang menunjukkan Demokrasi Liberal tidak selalu didukung oleh para pengusung utamanya.
            Ketakukan Barat juga semakin tampak, AS, Rusia, Prancis, Inggris hingga Cina yang masuk dalam “The Big Five”. Semenjak Arab Spring berlangsung di berbagai negara Timur Tengah, dengan dilakukannya penumbanganatas rezim otoriter yang telah puluhan tahun menindas umat Islam di Tunisia, Afganistan, Libya, Iraq, Suriah, dan negara-negara lainnya. Diikuti dengan tumbuhnya kesadaran sebagian umat Islam akan kebobrokan dan kebohongan sistem demokrasi, serta keinginan kuat untuk kembali pada persatuan sistem dan penerapan hukum Islam. Namun negara Baratselalucampurtangan, membajak revolusi dan kembali menamkan demokrasi serta rezim boneka yang telah mereka sepakati dan restui.
            Selain dikemas dan dipromosikan dengan cara menarik, yang membuat para pengikutnya selalu mengelu-elu dan menyanyikan lagu wajib demokrasi. Demokrasi juga tidak jarang diberikan secara paksa melalui kekuatan militer, sepertioleh AS di Iraqdan Afganistan. Inilah bentuk kebebasan yang ditawarkan dan mesti diterima. Kebebasan untuk diambil minyaknya oleh AS dan kebebasan untuk tidak tidak mengatur negeri sendiri.
Di awal kelahirannya, demokrasi sendirisebenarnya tidak diterima pada era Yunani dan Romawi,yang kemudian terkubur selama beradab-adab dibawah ideologi dan sistem lainnya seperti teokrasi, monarki, komunisme, fasisme dan lainnya. Plato (429-347 M) menyebut empat kelemahan demokrasi, salah satunya adalah pemimpin akan dipilih dan diikuti karena faktor-faktor nonesensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan dan latar belakang keluarga, sedang ia memimpikan munculnya orang yang bijak, yang mampu menangani berbagai persoalan dengan akal dan kearifannya. Demikian juga Aristoteles (384-322) seorang murid Plato, yang menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk seperti tirani dan olargi. Sebab dalam mekanisme pemilihan demokrasi, para pemimpin dipilih berdasarkan popularitasnya, bagaimana ia dapat mengambil simpati dan perhatian masyarakat dengan berbagai caranya, tanpa melihat ilmu dan integritasnya. Setiap manusia memiliki hak sama untuk memilih. Seorang profesor dipandang sejajar dengan seorang bodoh yang tidak dapat baca-tulis. Seorang penari atau artis yang terkenal setingkat dengan seorang ilmuan yang menghasilkan penemuan. Seorang pezina, perampok dan pelaku kejahatan tidak lebih tinggi dengan seorang kyai dan ulama yang banyak mengajarkankebaikan.
Abraham Lincoln (1860-1865) mantan Presiden AS mengatakan, demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people”, sebagaimana yang sangat seringkita ketahui dan dipropagandakan bahwa demokrasi adalah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kekuasaan diatur dan ditentukan oleh rakyat.Namundalamaplikasinyasepanjangini, demokrasimemanghanyadikendalikanolehsegelintir orang yang memilikikekuatandanadankuasa. Merekamemimpinatasnamarakyat, meskimayoritasrakyattidakmensetujuinya.Presiden AS Rutherford B. Hayes (1876), pada 11 tahunkemudian  mengatakan bahwa yang terjadi di Amerika Serikat adalah “from company, by company, and for company” bahwademokrasiadalahdari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan.Demikianlah sejatinya demokrasi yang memang hanyadimiliki oleh para pemilik modal yang juga merupakan para pemilik kendali.
Demokrasi yang ditawarkan sebenarnya juga tidak berjalan sendiri dalam peradaban Barat, ia membawa dan menjadisatu paket dengan kapitalisme, sekularisme, pluralisme dan lainnya, yang menjadi penyempurna demokrasi dengansistem dantata nilai yang sejalan dan berlaku universal.
.
Akhir Sejarah Barat
            Syed Naquib Al Attas menilai bahwa peradaban Barat saat ini merupakan peradaban yang paling membawa tantangan serius, sebab ia merusak dan mengacaukan ekosistem hewan, tanaman dan alam. Problem ilmu yang telah disusupi dengan pengalaman dan pandangan hidup Barat, membentuk pemikiran dan perbuatan manusiauntukberpaling dari hakikat dan tujuannya, sehingga merusak berbagai tatanan kehidupan.
            Menurut Raghib As Sirjani, peradaban adalah kekuatan manusia untuk mendirikan hubungan yang seimbang dengan Tuhannya, hubungan dengan manusia yang hidup bersama mereka, dengan lingkungan pertumbuhan dan perkembangan.Peradaban itu terjalin dalam tiga interaksi hubungan manusia, Tuhan dan alam sekitarnya.
Interaksi antara manusia dengan Tuhannya yaitu dengan beragama, interaksi antara manusia dan sesamanya, interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya seperti hewan, tumbuhan, bumi, tambang dan berbagai perbendaharaannya yang mesti saling bertimbal balik membentuk nilai adab dalam tiga rantai kehidupan tersebut, merupakan aplikasi dari aturan agama yang menjadi nilai kebenaran tertinggi dan berkesesuaian.
            Manusia yang menciptakan senjata canggih akan menjadi manusia beradab jika senjata itu digunakan untuk membela dirinya, menetapkan hak dan keadilan, memenuhi kemerdekaan, kedamaian dan kebaikan. Jika ia menciptakan senjata canggih untuk berbuat zalim dan pemberontakan, membawa permusuhan dan perbudakan, merupakan bentuk penyimpangan, meski ia telah sampai pada nilai yang tinggi dengan menghasilkan penemuan dan mendapatkan keahlian.
Jika kita menilik dalam beberapa dekade sebelumnya, tumpuk kekuasaan Islam telah tersebar ke wilayah terjauh Barat dan Timur. Membawa keadilan bagi pluralitas agama, suku dan ras manusia, memberi keindahan dan kebaikan pada hewan dan alam kehidupannya. Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan penemuan yang  berpuncak pada saat itu, juga didukung dan berbanding lurus dengan ketenangan dan kemanfaatan yang didapatkan dalam tiga mata rantai tersebut. Menurut Raghib As Sirjanidan banyak diakui oleh para orientalis sekalipun, sesungguhnya hanya Islam satu-satunya peradaban dunia yang memenuhi keunggulan dalam menjalin tiga interaksi, yaitu pada Rabbnya, sesama manusia dan alam sekitar, yang hal tersebut dapat terangkum dalam salah hadist yang menjadi pilarnya yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Bertolak belakang dengan peradaban Islam, peradaban Barat yang telah dibesarkan oleh Islam, dengan mengambil berbagai kemajuan berpikir, konsep dan metodologi keilmuan, hingga mampu berjalan sendiri saat ini, justru mendurhakai dan tidak tahu berterima kasih.
Glenn Leonard mengungkapkan “Seharusnya sikap Eropa kepada Islam jauh dari ungkapan-ungkapan mendiskreditkan. Mereka seharusnya berterima kasih kepada Islam untuk selamanya, bukan mengingkari kebaikan Islam dengan membenci, meremehkan dan menghinakan Islam. Sesungguhnya Eropa sampai sekarang ini –dengan jujur dan hati tulus- belum mengakui hutangnya yang besar bahwa ia telah mengenyam pendidikan Islam dan Peradaban kaum Muslimin. Mereka menyadari fakta ini untuk beberapa dekade saja, yaitu tatkala orang-orang Eropa tenggelam dalam lautan kebiadaban dan kebodohan pada masa-masa kegelapan. Pada waktu itu Peradaban Islam telah mencapai puncak keemasannya dalam pembangunan dan keilmuan, kemudian ia menghidupkan masyarakat Eropa dan menjaganya dari keterpurukan, Kami (masyarakat Eropa) belum mengakui –pada saat kami melihat diri kami berada di puncak pendidikan dan peradaban- bahwasannya jika bukan karena pendidikan Islam dan peradabannya, keilmuan dan keagungan kaum Muslimin dalam puncak urusan-urusan peradaban serta keteraturan sekolah-sekolah mereka, tentu Eropa sampai sekarang akan tetap tenggelam dalam gelapnya kebodohan.”
Peradaban Barat yang saat ini berdiri lebih mengagungkan diri pada materi, kepuasaan untuk menguasai danmenjadi atheis sejati,lebih pada kebebasan semu dan kemajuan parsial. Marvin PerrydalambukunyaWestern Civilization menggambarkan apa yang terjadi di Barat ini dengan ungkapan “Peradaban Barat adalah sebuah drama besar namun tragis. Barat telah melupakan instrumen-instrumen akal yang memungkinkan terjadinya keselerasan rasional antara alam fisik dan budaya manusia, menawarkan gagasan tentang kebebasan politik, dan mengakui nilai-nilai intrinsik setiap individu. Barat modern, walaupun telah berhasil menyingkap berbagai misteri alam, namun gagal menemukan pemecahan rasional bagi penyakit-penyakit sosial serta konflik antar bangsa. Sains, sebagai pencapaian besar para intelektual Barat, sembari memperbaiki berbagai kondisi kehidupan, telah pula menghasilkan senjata pemusnah massal. Walaupun Barat telah menjadi pionir bagi perlindungan hak-hak asasi manusia, ia juga telah menghasilkan rezim-rezim totaliter yang mengijak-injak kebebasan individu dan martabat manusia. Dan walaupun Barat telah menunjukkan komitmen akan kesetaraan manusia, ia telah pula mempraktikkan rasisme yang brutal.
            Teori akhir sejarah yang digagas oleh Fukuyama jugaterbukti menghadapi persaingan keras. Thomas L. Friedman, dalam kolom International Tribune (3 November 2003), menulis Barat mengalami ketepercahan, dengan judul “Is this the End of the West?” AS dan Eropa, khususnya Jerman dan Prancis, telah berbeda dalam banyak hal prinsip. Mereka gagal dalam membangun visi bersama dalam menghadapi isu-isu global.
Pada tahun 2003 terjadi perdebatan menarik yang mengundang mata dunia untuk mengekspos “Two West” Dua Barat, antara Samuel Huntington dan Anthony Giddens yang diselenggarakan oleh The Aspen Institute Italia, mereka mendiskusikan tentang perbedaan masyarakat AS dan Eropa “the meaning of the West”, disamping “the identity of Europa” dan “US military power in relation to Europe”. Yang diakui Huntington bahwa Barat memiliki kekuatan, tetapi mereka menghadapi problem legitimasi, khususnya AS yang di mata sebagian besar dunia internasional, kekurangan legitimasi. Kekuatan dan superioritas Barat tidaklah direstui oleh umat manusia.Pasca serangan terhadap Irak tahun 2003, tampak bagaimana dua kekuatan besar di Barat, yaitu Jerman dan Prancis yang menolak bergabung dengan AS dan Inggris, dan coba ditutupi oleh AS. Yang memunculkanwacana “The End of the West” atau “The End of America”. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammadmenyampaikan kritik keras terhadap kebijakan negara-negara kuasa besar khususnya AS, dengan menyebut negara superpower itu telah melakukan politik yang “blatant double standart”. AS bersikap lembut terhadap Korea Utara yang jelas-jelas memiliki senjata nuklir, tetapi bersikap ganas terhadap Irak yang tidak memiliki senjata nuklir, pada Pembukaan Sidang negara-negara Non Align Movement (NAM), 24 Februari 2003.
Chile Luis Sepuldeva seorang penulis terkenaljuga mengecam invasi pimpinan AS ke Irak, dengan menyebut tindakan itu sebagai ulah sekelompok “orang-orang fanatik yang berbahaya” yang berkuasa di Washington, “AS adalah bangsa teroris pelopor” katanya dalam satu wawancara yang diterbitkan mingguan berita Portugal Visao. Sejalan dengan hal tersebut, sebelumnya Prof. Johan Galtung dalam wawancaranya dengan Harian Kompas 17 November 2002, menyatakan “Dibandingan dengan serangan yang pernah dilakukan teroris, terorisme negara yang dilakukan AS jauh lebih berbahaya karena menggabungkan fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar.”
Teori akhir sejarah nampaknya hanya akanmenjadi sekedar teori belaka. Berbagai paradoksyang terjadi di Barat menunjukkan adanya paranoid terhadap Islam, sehingga memunculkan sikap berlebihan untuk memusnahkan. Dan telah jelas benturan peradaban yang saat ini terjadi adalah antara Barat dan Islam. Barat berdiri pada pondasi sekularisme dan ateisme, sedang Islam merupakan sebuah dien(agama) sempurna yang memiliki seperangkat sistem nilai menjadi tamaddun (peradaban), sebagaimana pernah berlangsung pada awal mulanya.
Antara ketakutan dan ketenangan, kehinaan dan kemuliaan, kekalahan dan kemenangan akan senantiasa Allah pergulirkan untuk kita mengambil pelajaran, dan tersebut sejalan dengan faktor kualitas suatu generasi yang sedang berdiri, menjadi esensi dan nilai lebih untuk mendapatkan sebab kemenangan.Namun keyakinan dan keniscayaan bagi orang beriman, bahwa kebenaran tunggal pasti akan kembali ditunjukkan, meskipun musuh-musuh Islam tidak menginginkan.(GL)

"Katakanlah, Ya Allah Tuhan yang memilikisegalakekuasaan.Engkaberikankekuasaankepadasiapa yang Engkaukehendaki, danEngkaucabutkekuasaandarisiapa yang Engkaukehendaki, danEngkaumuliakansiapa yang EngkaukehendakidanEngkauhinakansiapa yang Engkaukehendaki. Di tanganEngkaulahsegalakebajikan.SesungguhnyaEngkauMahaKuasaatas segalasesuatu."( QS.Ali Imran: 26).
“ … …  Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir”. (QS.Ali Imran (3): (140-141).

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons