Dalam
deretan waktu panjang yang telah tertelusuri.Diantara persinggungan dan
persaingan peradaban yang silih berganti dan tak terelaki. Merupakan sebuah
kesempatan maupun kehimpitan yang terus bergulir mengambil alih posisi dari
superioritas sebuah peradaban yang sedang berdiri menguasai dan mengendali
peradaban-peradaban yang telah terisolasi. Tak sedikit kemudian serpihan kecil
sisa peradaban saling berafiliasi dengan membawa kepentingan tersendiri,berkontruksi
membentuk kekuatan baru yang lebih besar sebagai pengganti. Demikianlah sejarah
perjalanan kehidupan di antara peradaban manusia terus berjalan dan berganti
hingga kepastian akhir berpihak pada yang Maha Menguasai.
Seperti
yang diketahui dan diakui, bahwasanyaPeradaban Barat saat ini sedang
mendominasidi berbagai aspek kehidupan. Peradaban ini membawa kemajuan dan
kemanfaatan materi serta ilmu pengetahuan bagi pemenuhan, kemudahan dan
kesenangan hidup manusia. Kemilau kemajuan yang dihasilkan, banyak memukau
berbagai kalangan untuk memuji dan menarik diri dalam gelombang besar arus globalisasi
yang mereka pelopori. Mengambil secara utuh baik bunga maupun duri dari
Peradaban ini untuk ditanamkan diberbagai negeri.
Di
lain sisi, tidak sedikit pula yang dengan tegas menolak penuh dan mengkritisi,
baik konsep, sistem, hasil, maupun dasar ideologi yang diadobsi. Peradaban yang
tak disangkal,juga telah membawa kehancuran nilai, moral, manusia dan kerusakan
alam serta diri.Yang saat ini menjadi sistem hidup yang mesti diterima danberkembang
mempengaruhi berbagai bentuk kebijakan sampai padalingkup terkecil yang tak
terbayangi, menjadi “tuan tanah” diberbagai negeri yang terus menggali potensi
untuk dieksplotasi. Adapula sebagian kecil yang bersikap bijak dengan mengambil
jalan tengah, mengadobsi dan mengadaptasi yang berkesesuaian dengan ideologi.
Pemandangan
tersebut akhirnya menghasilkan gagasan-gagasan yangberbenturan diberbagai
sisi.Para tokoh dan pengamat mengungkapkan alasan dan kesimpulan dengan
berbagai dalih,tentang peran, persaingan dan kejatuhanperadaban, yang dimulai
dari benturan pemikiran dan sistem hidup yang berbeda dan berseberangan. Ada
yang adil dan bijak dalam menyikapi, namun tak sedikit yang memaksakan dan menyombongkan
diri.
Francis Fukuyama, seorang
ilmuan Amerika keturunan Jepang yang bekerja sebagai pakar di pusat riset
Departemen luar Negeri Amerika mengeluarkan teori akhir sejarah yang sangat
populer dan disanjung dipenghujung abad 20, dalam bukunya The End of History and The Last Manyang merupakan pengembangan dari
artikelnya The End of History? Di jurnal TheNational Interest (Summer 1989).Fukuyama
mengasumsikan bahwa akhir sejarah akan berhenti pada diadobsinya ideologi dan
sistem demokrasi liberal sebagai konsensus yang mesti diterima, pasca
kemenangan Barat terhadap rival ideologisnya, monarki herediter, komunisme, dan
fasisme, berbagai negara kemudian mulai menerapkan sistem demokrasi liberal
yang dianggap ideal dan modern. Kesuksesan dan kemajuan berbagaihalkhususnyamateripada Peradaban Barat saat ini, dianggap
sebagai hasil dari demokrasi liberal yang diterapkan, sehingga banyakkemudianyanglatahmengikutinya.
Dalam
bukunya, Fukuyama memasang sederet negara yang pada tahun 1990-an memilih
sistem demokrasi liberal, yang seolah menjadi indikasi sebagaimana ramalan
Hegel, bahwa akhir sejarah umat manusia akan menerima kesepakatan demokrasi
liberal.Fukuyama mencatat bahwa tidak akan ada lagi tantangan ideologis serius
terhadap demokrasi liberal. Tahun 1790, hanya tiga negara; AS, Swiss dan
Prancis, yang memilih demokrasi liberal. Tahun 1848 jumlahnya 5 negara; tahun
1900,13 negara; tahun 1975, 30 negara; dan tahun 1990 menjadi 61 negara.
Kesombongan
Fukuyama yang memperediksikan bahwa demokrasi liberal akan diterima secara rata
oleh seluruh dunia dan menjadi titik akhir sejarah manusia, ternyata juga tidak
sepenuhnya dan lebih diikuti phobia. Prinsip dan nilai dasar demokrasi adalah
relativisme dan penolakan nilai absolut dari agama, yang ia akui bahwa Islam
merupakan tantangan ideologi utama bagi Peradaban Barat saat ini.Konsep hidup Islam yangkompleks dan kokoh,
bertolak belakang dengan liberalisme yang menjadi prasyarat demokrasi di dunia
Islam. Fukuyama menggaris yang menurutnya sangat sulit untuk menerima demokrasi
adalah Islam fundamentalis dan Yahudi ortodoks, yang keduanya disebut “totalistic religions”, agama yang ingin
mengatur semua aspek kehidupan, baik yang bersifat publik, seperti politik
maupun pribadi.
Bersamaan
dengan itu, Samuel Huntington seorang pakar ilmu politik di Universitas Harvard
yang merupakan Penasehat Politik AS, mengeluarkan buku Clash of Civilization and The Remaking of World Order (1996) yang
merupakan hasil perdebatan panjang tentang artikelnya The Clash of Civilizations di jurnal Foreign Affairs (summer 1993). Huntington mengungkap penelitiannya
yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara Islam dan demokratisasi,
sebaliknya adanya korelasi yang tinggi antara agama Kristen Barat dengan
demokrasi. Di tahun 1988, agama Katolik dan Protestan merupakan agama dominan
pada 39 dari 46 negara demokratis. Ke 39 negara demokratis itu merupakan 57
persen dari 68 negara dimana Kristen Barat merupakan agama dominan. Sebaliknya,
dari 58 negara yang agama dominannya bukan Kristen Barat, hanya ada 7 negara
atau 12 persen yang dapat dikategorikan negara demokratis. Jadi simpul
Huntington, demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri di mana mayoritas
besar penduduknya beragama Islam, Budha atau Konfusius.
Menurut Huntington,
Islam adalah satu-satunya peradaban yang membuat Barat tidak merasa aman dan
pernah menjatuhkannya hingga dua kali. Sehingga pasca perang dingin, kemenangan
Barat terhadap uni soviet yang berideologi komunis. Islam menjadi tantangan dan
kekhawatiran serius akan adanya negara yang muncul menerapkan ideologi Islam.
Dan kesombongan awal Fukuyama tentang akhir sejarah yangakandidominasi demokrasi liberal pada
dunia juga tampak semakin kuat terbantahkan. Nicholas Lash, seorang guru besar
University Cambridge dalam bukunya The
Beginning and The End of Religion, menulis satu bab berjudul `Beyond The End of History?yang
mengkritik gagasan Fukuyama tentang `The
End of History, dengan menyatakan hal tersebut sebagai lelucon gila tentang
akhir sejarah, tulisnya “the mad joke of
the end of history”.
Pada
pemilu di Aljazair yang dimenangkan oleh Partai FIS, terjadi dukungan Barat
untuk pembatalan dalam pemilihan tersebut. Setelah dilakukan pemilihan ulang
dan FIS mendapatkan kemenangan mutlak untuk kedua kalinya, terjadi kudeta dari
pihak militer dan mengambil alih posisi partai FIS.Cristoper Ogden dalam
artikel View from Washington, Times 3
Februari 1992 menyatakan, bahwa sikap AS dan Prancis yang menyatakan bahwa
kudeta Aljazair “konstitusional”, tidak lain merupakan gejala penyakit gila
atau ketakutan tanpa dasar terhadap Muslim Fundamentalis.Kemenangan Hamas pada
pemilu di Palestina juga mendapatkan penolakan, karena tidak sesuai dengan
keinginan AS dan Israel. Demikian halnya yangterjadi beberapawaktuterakhir, kemenangan
Ikhwanul Muslimin di Mesir juga segeraditumbangkanolehpesananmiliternegara
Barat, akibatmassifnyakebijakanIkhwanulMuslimindalambeberapawaktukepemimpinannya
yang membawa kepentingan Islam.Hal
inimemperlihatkanbahwaBarat menggunakan standar ganda dan
tidak konsisten dalam memasarkan demokrasi, yang kononjargonnya adalah menempatkan
setiap hak manusia dan negara pada prinsip “equality”
atau kesamaan, memberikan kebebasan kepada mayoritas suara atau hak masyarakat
untuk mementukan kebijakan dan aturannya masing-masing.Namunpada faktanya demokrasi digunakansesuai
dengan monopoli kepentingan dan kekuasaannya. Jika demokrasi jatuh pada kendali
gerakan Islam fundamental, demokrasiseakan tidak diberlakukan.
Demokrasi
juga menunjukkan kelemahannya, Barat meyakini bahwa mayoritas dari umat manusia
tidak dapat menghasilkan keputusan yang baik bagi dunia internasional, jika
bertentangan dengan keinginan mereka. PBB sebagai penghulu demokrasi yang sejak
awal didirikan pada 24 Oktober 1945,
telah menentukan lima negara yang dikenal dengan “The Big Five”, yaitu AS,
Rusia, Cina, Prancis dan Inggris, yang mendapatkan hak “Veto”. Dari 15 negara
Dewan Keamanan PBB, 5 negara ini adalah anggota tetap, dan sisanya 10 negara
dipilih setiap dua tahun oleh Majelis Umum PBB. Dewan ini memiliki tugas vital
yaitu bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
Jika salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB memberikan veto (larangan),
maka resolusi tidak dapat diterapkan.
Mayoritas negara dunia
sebenarnya sejak lama menuntut restrukturisasi PBB, namun tidak dihiraukan.
Bahkan ketika mayoritas telah bersepakat dan menyetujui satu resolusi, tetapi
hanya karena satu negara anggota tetap Dewan Keamanan tidak menyetujui, maka
keputusan PBB itu tidak bernyali. Seperti kecaman tindakan ASpada Iraq dan
perbuatan Israel terhadap Palestina yang telah lama dikutuk oleh mayoritas
dunia, namun tetap aman-aman saja. Yang menunjukkan Demokrasi Liberal tidak
selalu didukung oleh para pengusung utamanya.
Ketakukan
Barat juga semakin tampak, AS, Rusia, Prancis, Inggris hingga Cina yang masuk
dalam “The Big Five”. Semenjak Arab Spring berlangsung di berbagai negara Timur
Tengah, dengan dilakukannya penumbanganatas rezim otoriter yang telah puluhan
tahun menindas umat Islam di Tunisia, Afganistan, Libya, Iraq, Suriah, dan
negara-negara lainnya. Diikuti dengan tumbuhnya kesadaran sebagian umat Islam
akan kebobrokan dan kebohongan sistem demokrasi, serta keinginan kuat untuk
kembali pada persatuan sistem dan penerapan hukum Islam. Namun negara Baratselalucampurtangan, membajak revolusi dan
kembali menamkan demokrasi serta rezim boneka yang telah mereka sepakati dan
restui.
Selain
dikemas dan dipromosikan dengan cara menarik, yang membuat para pengikutnya
selalu mengelu-elu dan menyanyikan lagu wajib demokrasi. Demokrasi juga tidak
jarang diberikan secara paksa melalui kekuatan militer, sepertioleh AS di Iraqdan
Afganistan. Inilah bentuk kebebasan yang ditawarkan dan mesti diterima.
Kebebasan untuk diambil minyaknya oleh AS dan kebebasan untuk tidak tidak
mengatur negeri sendiri.
Di awal kelahirannya,
demokrasi sendirisebenarnya tidak diterima pada era Yunani dan Romawi,yang kemudian
terkubur selama beradab-adab dibawah ideologi dan sistem lainnya seperti
teokrasi, monarki, komunisme, fasisme dan lainnya. Plato (429-347 M) menyebut
empat kelemahan demokrasi, salah satunya adalah pemimpin akan dipilih dan
diikuti karena faktor-faktor nonesensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan
dan latar belakang keluarga, sedang ia memimpikan munculnya orang yang bijak,
yang mampu menangani berbagai persoalan dengan akal dan kearifannya. Demikian
juga Aristoteles (384-322) seorang murid Plato, yang menyebut demokrasi sebagai
bentuk pemerintahan buruk seperti tirani dan olargi. Sebab dalam mekanisme
pemilihan demokrasi, para pemimpin dipilih berdasarkan popularitasnya,
bagaimana ia dapat mengambil simpati dan perhatian masyarakat dengan berbagai
caranya, tanpa melihat ilmu dan integritasnya. Setiap manusia memiliki hak sama
untuk memilih. Seorang profesor dipandang sejajar dengan seorang bodoh yang
tidak dapat baca-tulis. Seorang penari atau artis yang terkenal setingkat
dengan seorang ilmuan yang menghasilkan penemuan. Seorang pezina, perampok dan
pelaku kejahatan tidak lebih tinggi dengan seorang kyai dan ulama yang banyak
mengajarkankebaikan.
Abraham Lincoln (1860-1865) mantan
Presiden AS mengatakan, demokrasi adalah “from
the people, by the people, and for the people”, sebagaimana yang sangat seringkita ketahui dan dipropagandakan bahwa demokrasi adalah kekuasaan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kekuasaan diatur dan ditentukan oleh
rakyat.Namundalamaplikasinyasepanjangini, demokrasimemanghanyadikendalikanolehsegelintir
orang yang memilikikekuatandanadankuasa. Merekamemimpinatasnamarakyat,
meskimayoritasrakyattidakmensetujuinya.Presiden AS Rutherford B. Hayes (1876),
pada 11 tahunkemudian mengatakan bahwa
yang terjadi di Amerika Serikat adalah “from
company, by company, and for company” bahwademokrasiadalahdari perusahaan,
oleh perusahaan dan untuk perusahaan.Demikianlah sejatinya demokrasi yang memang
hanyadimiliki oleh para pemilik modal yang juga merupakan para pemilik kendali.
Demokrasi yang ditawarkan sebenarnya
juga tidak berjalan sendiri dalam peradaban Barat, ia membawa dan menjadisatu
paket dengan kapitalisme, sekularisme, pluralisme dan lainnya, yang menjadi
penyempurna demokrasi dengansistem dantata nilai yang sejalan dan berlaku universal.
.
Akhir
Sejarah Barat
Syed
Naquib Al Attas menilai bahwa peradaban Barat saat ini merupakan peradaban yang
paling membawa tantangan serius, sebab ia merusak dan mengacaukan ekosistem hewan,
tanaman dan alam. Problem ilmu yang telah disusupi dengan pengalaman dan
pandangan hidup Barat, membentuk pemikiran dan perbuatan manusiauntukberpaling
dari hakikat dan tujuannya, sehingga merusak berbagai tatanan kehidupan.
Menurut
Raghib As Sirjani, peradaban adalah kekuatan manusia untuk mendirikan hubungan
yang seimbang dengan Tuhannya, hubungan dengan manusia yang hidup bersama
mereka, dengan lingkungan pertumbuhan dan perkembangan.Peradaban itu terjalin
dalam tiga interaksi hubungan manusia, Tuhan dan alam sekitarnya.
Interaksi antara
manusia dengan Tuhannya yaitu dengan beragama, interaksi antara manusia dan
sesamanya, interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya seperti hewan,
tumbuhan, bumi, tambang dan berbagai perbendaharaannya yang mesti saling bertimbal
balik membentuk nilai adab dalam tiga rantai kehidupan tersebut, merupakan
aplikasi dari aturan agama yang menjadi nilai kebenaran tertinggi dan
berkesesuaian.
Manusia
yang menciptakan senjata canggih akan menjadi manusia beradab jika senjata itu
digunakan untuk membela dirinya, menetapkan hak dan keadilan, memenuhi
kemerdekaan, kedamaian dan kebaikan. Jika ia menciptakan senjata canggih untuk
berbuat zalim dan pemberontakan, membawa permusuhan dan perbudakan, merupakan
bentuk penyimpangan, meski ia telah sampai pada nilai yang tinggi dengan
menghasilkan penemuan dan mendapatkan keahlian.
Jika kita menilik dalam
beberapa dekade sebelumnya, tumpuk kekuasaan Islam telah tersebar ke wilayah
terjauh Barat dan Timur. Membawa keadilan bagi pluralitas agama, suku dan ras
manusia, memberi keindahan dan kebaikan pada hewan dan alam kehidupannya.
Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan penemuan yang berpuncak pada saat itu, juga didukung dan
berbanding lurus dengan ketenangan dan kemanfaatan yang didapatkan dalam tiga
mata rantai tersebut. Menurut Raghib As Sirjanidan banyak diakui oleh para
orientalis sekalipun, sesungguhnya hanya Islam satu-satunya peradaban dunia
yang memenuhi keunggulan dalam menjalin tiga interaksi, yaitu pada Rabbnya,
sesama manusia dan alam sekitar, yang hal tersebut dapat terangkum dalam salah
hadist yang menjadi pilarnya yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Bertolak belakang
dengan peradaban Islam, peradaban Barat yang telah dibesarkan oleh Islam,
dengan mengambil berbagai kemajuan berpikir, konsep dan metodologi keilmuan,
hingga mampu berjalan sendiri saat ini, justru mendurhakai dan tidak tahu
berterima kasih.
Glenn Leonard
mengungkapkan “Seharusnya sikap Eropa kepada Islam jauh dari ungkapan-ungkapan
mendiskreditkan. Mereka seharusnya berterima kasih kepada Islam untuk
selamanya, bukan mengingkari kebaikan Islam dengan membenci, meremehkan dan
menghinakan Islam. Sesungguhnya Eropa sampai sekarang ini –dengan jujur dan
hati tulus- belum mengakui hutangnya yang besar bahwa ia telah mengenyam
pendidikan Islam dan Peradaban kaum Muslimin. Mereka menyadari fakta ini untuk
beberapa dekade saja, yaitu tatkala orang-orang Eropa tenggelam dalam lautan
kebiadaban dan kebodohan pada masa-masa kegelapan. Pada waktu itu Peradaban
Islam telah mencapai puncak keemasannya dalam pembangunan dan keilmuan,
kemudian ia menghidupkan masyarakat Eropa dan menjaganya dari keterpurukan,
Kami (masyarakat Eropa) belum mengakui –pada saat kami melihat diri kami berada
di puncak pendidikan dan peradaban- bahwasannya jika bukan karena pendidikan Islam
dan peradabannya, keilmuan dan keagungan kaum Muslimin dalam puncak
urusan-urusan peradaban serta keteraturan sekolah-sekolah mereka, tentu Eropa
sampai sekarang akan tetap tenggelam dalam gelapnya kebodohan.”
Peradaban Barat yang
saat ini berdiri lebih mengagungkan diri pada materi, kepuasaan untuk menguasai
danmenjadi atheis sejati,lebih pada kebebasan semu dan kemajuan parsial. Marvin
PerrydalambukunyaWestern Civilization
menggambarkan apa yang terjadi di Barat ini dengan ungkapan “Peradaban Barat
adalah sebuah drama besar namun tragis. Barat telah melupakan
instrumen-instrumen akal yang memungkinkan terjadinya keselerasan rasional
antara alam fisik dan budaya manusia, menawarkan gagasan tentang kebebasan
politik, dan mengakui nilai-nilai intrinsik setiap individu. Barat modern,
walaupun telah berhasil menyingkap berbagai misteri alam, namun gagal menemukan
pemecahan rasional bagi penyakit-penyakit sosial serta konflik antar bangsa.
Sains, sebagai pencapaian besar para intelektual Barat, sembari memperbaiki
berbagai kondisi kehidupan, telah pula menghasilkan senjata pemusnah massal.
Walaupun Barat telah menjadi pionir bagi perlindungan hak-hak asasi manusia, ia
juga telah menghasilkan rezim-rezim totaliter yang mengijak-injak kebebasan
individu dan martabat manusia. Dan walaupun Barat telah menunjukkan komitmen
akan kesetaraan manusia, ia telah pula mempraktikkan rasisme yang brutal.”
Teori
akhir sejarah yang digagas oleh Fukuyama jugaterbukti menghadapi persaingan
keras. Thomas L. Friedman, dalam kolom International Tribune (3 November 2003),
menulis Barat mengalami ketepercahan, dengan judul “Is this the End of the West?” AS dan Eropa, khususnya Jerman dan
Prancis, telah berbeda dalam banyak hal prinsip. Mereka gagal dalam membangun
visi bersama dalam menghadapi isu-isu global.
Pada tahun 2003 terjadi
perdebatan menarik yang mengundang mata dunia untuk mengekspos “Two West” Dua Barat, antara Samuel
Huntington dan Anthony Giddens yang diselenggarakan oleh The Aspen Institute
Italia, mereka mendiskusikan tentang perbedaan masyarakat AS dan Eropa “the meaning of the West”, disamping “the identity of Europa” dan “US military power in relation to Europe”.
Yang diakui Huntington bahwa Barat memiliki kekuatan, tetapi mereka menghadapi
problem legitimasi, khususnya AS yang di mata sebagian besar dunia
internasional, kekurangan legitimasi. Kekuatan dan superioritas Barat tidaklah
direstui oleh umat manusia.Pasca serangan terhadap Irak tahun 2003, tampak
bagaimana dua kekuatan besar di Barat, yaitu Jerman dan Prancis yang menolak
bergabung dengan AS dan Inggris, dan coba ditutupi oleh AS. Yang memunculkanwacana
“The End of the West” atau “The End of America”. Perdana Menteri
Malaysia Mahathir Mohammadmenyampaikan kritik keras terhadap kebijakan
negara-negara kuasa besar khususnya AS, dengan menyebut negara superpower itu
telah melakukan politik yang “blatant
double standart”. AS bersikap lembut terhadap Korea Utara yang jelas-jelas
memiliki senjata nuklir, tetapi bersikap ganas terhadap Irak yang tidak
memiliki senjata nuklir, pada Pembukaan Sidang negara-negara Non Align Movement
(NAM), 24 Februari 2003.
Chile Luis Sepuldeva
seorang penulis terkenaljuga mengecam invasi pimpinan AS ke Irak, dengan
menyebut tindakan itu sebagai ulah sekelompok “orang-orang fanatik yang
berbahaya” yang berkuasa di Washington, “AS adalah bangsa teroris pelopor”
katanya dalam satu wawancara yang diterbitkan mingguan berita Portugal Visao.
Sejalan dengan hal tersebut, sebelumnya Prof. Johan Galtung dalam wawancaranya
dengan Harian Kompas 17 November 2002, menyatakan “Dibandingan dengan serangan
yang pernah dilakukan teroris, terorisme negara yang dilakukan AS jauh lebih
berbahaya karena menggabungkan fundamentalisme agama dan fundamentalisme
pasar.”
Teori akhir sejarah
nampaknya hanya akanmenjadi sekedar teori belaka. Berbagai paradoksyang terjadi
di Barat menunjukkan adanya paranoid terhadap Islam, sehingga memunculkan sikap
berlebihan untuk memusnahkan. Dan telah jelas benturan peradaban yang saat ini
terjadi adalah antara Barat dan Islam. Barat berdiri pada pondasi sekularisme
dan ateisme, sedang Islam merupakan sebuah dien(agama)
sempurna yang memiliki seperangkat sistem nilai menjadi tamaddun (peradaban),
sebagaimana pernah berlangsung pada awal mulanya.
Antara ketakutan dan
ketenangan, kehinaan dan kemuliaan, kekalahan dan kemenangan akan senantiasa
Allah pergulirkan untuk kita mengambil pelajaran, dan tersebut sejalan dengan
faktor kualitas suatu generasi yang sedang berdiri, menjadi esensi dan nilai
lebih untuk mendapatkan sebab kemenangan.Namun keyakinan dan keniscayaan bagi
orang beriman, bahwa kebenaran tunggal pasti akan kembali ditunjukkan, meskipun
musuh-musuh Islam tidak menginginkan.(GL)
“
… … Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara
manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan
orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu
dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang zalim dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa
mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir”. (QS.Ali Imran (3): (140-141).
0 komentar:
Post a Comment