Jul 11, 2016

“Mengetahui Kebenaran”



Pemikiran merupakan tahapan awal dalam proses pencarian. Seorang yang berpikir tentang suatu hal dapat tergiring pada bentuk perasaan yang berupa keyakinan atau keraguan,penerimaan atau penolakan.Pemikiran juga menghasilkan keinginan atau kemauan yang selanjutnya dapat teraplikasi dalampernyataan atau perbuatan. Pernyataan atau perbuatan seseorang dapat mencerminkan apa yang dipikirkan.Maka pemikiran erat kaitannya dengan keimanan yang merupakan ukuran aqidah Islam dan sarana menentukan kebenaran. Seorang yang berpikir atau menyatakan bahwa semua agama adalah benar, sejatinya ia tidak hanya sekedar berpikir tentang kebenaran agama yang dianutnya, namun juga meyakini kebenaran agama lainnya. Dalam arti berpikir tentang apa yang diyakininya dan meyakini apa yang dipikirkannya.
Selain dengan akal, proses berpikir juga melibatkan hati, ia merupakan bagian tertinggi dalam diri yang dapat memikirkan dengan jernih dan sesuai dengan fitrah dan nurani, menjadi wadah terpupuknya keyakinan atau keraguan, kebenaran atau kesalahan.
Kaum Sofis pada masa Yunani atau kaum Relativis pada masa sekarang, telah memberikan penyakit pemikiran yang kronis. Ia merupakan bentuk pemikiran yang mengiring manusia pada keraguan (skeptis) dan kebingungan (confius), pemikiran relatif yang tidak meyakini segala sesuatu, dan meragukan segala sesuatu. Baginya kebenaran dari objek dan ilmu itu tidak ada, ia tergantung dari pemikiran seseorang tentangnya.
Relativisme memunculkan sikap berlepas diri dan mengakui semua perbedaan tanpa ada klaim kebenaran tunggal. Bagi mereka, manusia adalah mahluk yang relatif sehingga tidak mampu untuk mencapai kebenaran, hanya Tuhan yang tahu kebenaran mutlak.Jadi salah atau benar, itu adalah hal relatifbagi manusia dan bisa dinegasikan. Karena hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran, makakebenaran tertinggi adalah ketika seseorang mengatakan“Saya tidak tahu”.
Cara berpikir bahwa “Tidak ada kebenaran mutlak”juga telah diangkat menjadi metodologi ilmiah dalam dunia akademik, bahwa yang namanya ilmiah adalah tidak meyakini sesuatu dan tidak memihak pada salah satu, jika memihak itu akan menjadi subjektif atau ideologis. Tidak menyampaikan antara yang benar dan salah, dan seseorang dipersilahkan untuk memilih sendiri yang menurutnya lebih sesuai.Dengan kesimpulan akhir bahwa “Benar menurut anda belum tentu benar menurut saya, jika anda mengklaim itu benar, saya juga berhak mengklaim itu salah. Pemikiran manusia itu relatif dan hanya Tuhan yang absolut atau tahu kebenaran, sehingga seseorang itu tidak berhak menyalahkan yang lain dengan mengatakan sesat, tidaklah layak seseorang memposisikan diri sebagai Tuhan dengan mengatakan demikian”kebenaran adalah kembali pada pendapatnya tentangnya.
Dasar pemikiranyang menganggap semua relatif seperti ini pula yang kemudian melahirkan paham-paham seperti pluralisme yang menyamakan semua agama, feminisme yang mensejajarkan antara wanita dan pria, dan banyak pemahaman lainnya yang menjadi sistem hidup seperti demokrasi dan HAMyang memandang dan menyetarakan manusia, dengan harapan tidak ada diskriminasi dan tidak saling menyalahkan.
Pernyataan “Tidak ada kebenaran mutlak” atau “Semua kebenaran sama” sebenarnya juga sangat kontradiktif danberlawanan. “Tidak ada”atau “semua” merupakan bentuk pernyataan yang memutlakkan. Padahal ia juga mengatakan bahwa “semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan tersebut juga berarti relatif dan tidak mutlak. Kalau “Semua adalah relatif”, maka yang mengatakan “Di sana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “Di sana tidak ada kebenaran mutlak”. Yang bermakna merelatifkan semua kebenaran, namun memutlakkan nilai kebenaran dari pernyataannya.Meragukan kebenaran, dan membenarkan keraguaannya. Maka pernyatan-pernyataan seperti juga menunjukkan hal yang ambigu dan absurb, yang memiliki arti dapat terbuka terhadap gugatan, anggapan, serta pertanyaan.
Memberi maksud logisyangingin dinyatakan bahwa “Manusia itu tidak tahu kebenaran mutlak kecuali saya” atau “Semua kebenaran itu relatif, kecuali kebenaran dari pernyataan saya”. Jika saja ia konsisten dengan pendapatnya bahwa “Hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran” seharusnya ia tidak ngomong dan juga tidak ikut menyalahkan yang mengetahui danmenyatakan tahu akankebenaran,sebab ia sendiri bukan Tuhan dan tidak tahu akan kebenaran.
Maka seorang yang menolak konsep kebenaran sekalipun, tidak dapat menolak dan tak terasa telah meyakini kebenaran konsep pemikiran mereka sendiri. Seorang atheis yang tidak mempercayai Tuhan karena membatasi konsep kebenaran pada yang terindra, tetap percaya bahwa keyakinannya tentang ketiadaan Tuhan itu benar adanya. Keraguaannya akan banyak atau satu hal, akan memilihkannya yakin pada hal lainnya. Inilah keyakinan yang menurutnya benar, dan akan selalu ada pada setiap diri manusia.

Mengetahui Kebenaran
Islam memberikan perintah wajib untuk belajar sejak dini, untuknya dapat mencari, mengetahui hingga meyakini,dengan puncak pengetahuan tertinggi dalam Islam yaitu mengenal Tuhannya yang menjadi wujud keyakinan dan kecintaan kepada-Nya. Maka kebenaran dalam pandangan ummat Islam Ahlus Sunnah wal-Jama’ah adalah pasti dan bisa didapatkan. Untuk apa kemudian Allah subhanahu wa ta`ala meminta kita untuk belajar,dan mengapa Rasulullah Saw diutus untuk mengajarkan manusia, jika kebenaran dianggap relatif dan tidak ada. Lalu untuk apa pula bersusah-payah untuk belajar dan berpendidikan tinggi hingga ke luar negeri dengan seabrek title atau gelar sampai menjadi doktor atau profesor, namun tidak mampu mencapai dan mendapatkan kebenaran. Apa gunanya selama ini belajar jika tidak mengetahui dan meyakini adanya kebenaran? Bukankah seseorang itu belajar untuk mengetahui dan meyakini kebenaran, lalu mengikutinya? Abraham Lincon mengatakan “No one has the right to choose to do what is wrong”Tak seorangpun yang meyakini suatu kebenaran, lalu memilih jalan yang ia yakini salah. Maka dalam Islam ilmu itu adalah kepastiaan yang mengantarkan pada kebenaran dan keyakinan. Seorang yang semakin bertambah ilmunya, mestinya harus semakin bertambah keyakinan atau keimanannya, yang menjadi prinsip kebahagiaan. Tidak akan ada orang yang bahagia dengan keraguan, sebab kebahagiaan itu adalah ketika seorang yakin pada sesuatu, dan hidup dalam keyakinannya.

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons