Pemikiran merupakan
tahapan awal dalam proses pencarian. Seorang yang berpikir tentang suatu hal
dapat tergiring pada bentuk perasaan yang berupa keyakinan atau keraguan,penerimaan
atau penolakan.Pemikiran juga menghasilkan keinginan atau kemauan yang
selanjutnya dapat teraplikasi dalampernyataan atau perbuatan. Pernyataan atau
perbuatan seseorang dapat mencerminkan apa yang dipikirkan.Maka pemikiran erat
kaitannya dengan keimanan yang merupakan ukuran aqidah Islam dan sarana
menentukan kebenaran. Seorang yang berpikir atau menyatakan bahwa semua agama
adalah benar, sejatinya ia tidak hanya sekedar berpikir tentang kebenaran agama
yang dianutnya, namun juga meyakini kebenaran agama lainnya. Dalam arti berpikir
tentang apa yang diyakininya dan meyakini apa yang
dipikirkannya.
Selain dengan akal,
proses berpikir juga melibatkan hati, ia merupakan bagian tertinggi dalam diri yang
dapat memikirkan dengan jernih dan sesuai dengan fitrah dan nurani, menjadi
wadah terpupuknya keyakinan atau keraguan, kebenaran atau kesalahan.
Kaum Sofis pada
masa Yunani atau kaum Relativis pada masa sekarang, telah memberikan penyakit
pemikiran yang kronis. Ia merupakan bentuk pemikiran yang mengiring manusia pada
keraguan (skeptis) dan kebingungan (confius), pemikiran relatif yang tidak
meyakini segala sesuatu, dan meragukan segala sesuatu. Baginya kebenaran dari
objek dan ilmu itu tidak ada, ia tergantung dari pemikiran seseorang
tentangnya.
Relativisme
memunculkan sikap berlepas diri dan mengakui semua perbedaan tanpa ada klaim
kebenaran tunggal. Bagi mereka, manusia adalah mahluk yang relatif sehingga tidak mampu untuk mencapai
kebenaran, hanya Tuhan yang tahu kebenaran mutlak.Jadi salah atau
benar, itu adalah hal relatifbagi manusia dan bisa dinegasikan. Karena hanya
Tuhan yang mengetahui kebenaran, makakebenaran tertinggi adalah ketika
seseorang mengatakan“Saya tidak tahu”.
Cara berpikir bahwa
“Tidak ada kebenaran mutlak”juga telah diangkat menjadi metodologi ilmiah dalam
dunia akademik, bahwa yang namanya ilmiah adalah tidak meyakini sesuatu dan
tidak memihak pada salah satu, jika memihak itu akan menjadi subjektif atau
ideologis. Tidak menyampaikan antara yang benar dan salah, dan seseorang
dipersilahkan untuk memilih sendiri yang menurutnya lebih sesuai.Dengan kesimpulan
akhir bahwa “Benar menurut anda belum tentu benar menurut saya, jika anda
mengklaim itu benar, saya juga berhak mengklaim itu salah. Pemikiran manusia
itu relatif dan hanya Tuhan yang absolut atau tahu kebenaran, sehingga seseorang
itu tidak berhak menyalahkan yang lain dengan mengatakan sesat, tidaklah layak
seseorang memposisikan diri sebagai Tuhan dengan mengatakan demikian”kebenaran
adalah kembali pada pendapatnya tentangnya.
Dasar pemikiranyang
menganggap semua relatif seperti ini pula yang kemudian melahirkan paham-paham
seperti pluralisme yang menyamakan semua agama, feminisme yang mensejajarkan
antara wanita dan pria, dan banyak pemahaman lainnya yang menjadi sistem hidup
seperti demokrasi dan HAMyang memandang dan menyetarakan manusia, dengan harapan
tidak ada diskriminasi dan tidak saling menyalahkan.
Pernyataan “Tidak ada kebenaran mutlak” atau “Semua kebenaran
sama” sebenarnya juga sangat kontradiktif danberlawanan. “Tidak ada”atau
“semua” merupakan bentuk pernyataan yang memutlakkan. Padahal ia juga mengatakan bahwa “semua
kebenaran adalah relatif” maka pernyataan tersebut juga berarti relatif dan
tidak mutlak. Kalau “Semua adalah relatif”, maka yang mengatakan “Di sana ada
kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “Di sana tidak ada
kebenaran mutlak”. Yang bermakna merelatifkan semua kebenaran, namun
memutlakkan nilai kebenaran dari pernyataannya.Meragukan kebenaran, dan
membenarkan keraguaannya. Maka pernyatan-pernyataan seperti juga menunjukkan
hal yang ambigu dan absurb, yang memiliki arti dapat terbuka terhadap gugatan,
anggapan, serta pertanyaan.
Memberi maksud logisyangingin dinyatakan
bahwa
“Manusia itu tidak tahu kebenaran mutlak kecuali saya” atau “Semua kebenaran
itu relatif, kecuali kebenaran dari pernyataan saya”. Jika saja ia konsisten
dengan pendapatnya bahwa “Hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran” seharusnya ia
tidak ngomong dan juga tidak ikut menyalahkan yang mengetahui danmenyatakan
tahu akankebenaran,sebab ia sendiri bukan Tuhan dan tidak tahu akan kebenaran.
Maka seorang yang
menolak konsep kebenaran sekalipun, tidak dapat menolak dan tak terasa telah
meyakini kebenaran konsep pemikiran mereka sendiri. Seorang atheis yang tidak
mempercayai Tuhan karena membatasi konsep kebenaran pada yang terindra, tetap
percaya bahwa keyakinannya tentang ketiadaan Tuhan itu benar adanya.
Keraguaannya akan banyak atau satu hal, akan memilihkannya yakin pada hal
lainnya. Inilah keyakinan yang menurutnya benar, dan akan selalu ada pada
setiap diri manusia.
Mengetahui Kebenaran
Islam memberikan perintah wajib untuk belajar sejak
dini, untuknya dapat mencari, mengetahui hingga meyakini,dengan puncak
pengetahuan tertinggi dalam Islam yaitu mengenal Tuhannya yang menjadi wujud keyakinan
dan kecintaan kepada-Nya. Maka kebenaran dalam pandangan ummat Islam Ahlus Sunnah wal-Jama’ah adalah pasti dan bisa
didapatkan. Untuk apa kemudian Allah subhanahu
wa ta`ala meminta
kita untuk belajar,dan mengapa Rasulullah Saw diutus untuk mengajarkan manusia,
jika kebenaran dianggap relatif dan tidak ada. Lalu untuk apa pula bersusah-payah
untuk belajar dan berpendidikan tinggi hingga ke luar
negeri dengan seabrek title atau
gelar sampai menjadi doktor atau profesor, namun tidak mampu mencapai dan
mendapatkan kebenaran. Apa gunanya selama ini belajar jika tidak mengetahui dan
meyakini adanya kebenaran? Bukankah seseorang itu belajar untuk mengetahui dan
meyakini kebenaran, lalu mengikutinya? Abraham Lincon mengatakan “No one has the right to choose to do what
is wrong”Tak seorangpun yang meyakini suatu kebenaran, lalu memilih jalan
yang ia yakini salah. Maka dalam Islam ilmu itu adalah kepastiaan yang
mengantarkan pada kebenaran dan keyakinan. Seorang yang semakin bertambah
ilmunya, mestinya harus semakin bertambah keyakinan atau keimanannya, yang menjadi
prinsip kebahagiaan. Tidak akan ada orang yang bahagia dengan keraguan, sebab
kebahagiaan itu adalah ketika seorang yakin pada sesuatu, dan hidup dalam keyakinannya.
0 komentar:
Post a Comment