Aug 23, 2015

Beragama Tanpa Sekuler


Kelahiran cara pandang dan problem hidup kekinian yang melingkupi realitas kehidupan umum hingga disiplin keilmuan, merupakan dampak dan perbincangan awal yang tidak terlepas dari kenyataan keagamaan. Agama sebagai unsur dasar nilai dan prinsip kehidupan, dalam perkembangannya menjadi dorongan untuk sistematika kemajuan atau pertentangan yang dihadapkan.
Dunia Barat saat ini telah meletakkan realitas dan konsep kehidupan dengan perkembangan zaman yang mengikuti paradigma dan praduga ilmuan. Yang mana loyalitas agama dimarginalkan sebatas apa yang menjadi wilayah kerohanian ketika pernikahan, upacara kematian dan peribadatan. Agama bagi Barat adalah sebuah sistem kepercayaan, amalan, sikap dan nilai yang tercipta dalam sejarah pencarian manusia dengan alam, yang mengalami proses perkembangan dalam kesejarahan dan kebudayaan. Sehingga nilai dari sebuah agama adalah relativ dengan mengikuti keadaan dan kebutuhan zaman. Mereka membagi apa yang menjadi hak agama dan kehidupan, agama dan ilmu pengetahuan, yang dikenal dengan istilah sekular. Hal ini pula yang selanjutnya dibawa ketika kolonialisme Barat di dunia Islam, untuk mencabut akar pemikiran dan sistem Islam, selain karena ketidak pahamannya terhadap prinsip pandangan hidup (worldview) Islam dan Barat yang benar dan menyeluruh, banyak kemudian yang terpengaruh, termasuk dari kalangan cendikiawan dan intelektual Islam.
Secular berasal dari bahasa latin saeculum, mengandung makna yang ditandai dengan dua pengertian yaitu waktu dan tempat atau ruang. Sekuler dalam pengertian waktu merujuk pada `sekarang` atau `kini`, sedangkan dalam pengertian ruang merujuk kepada `dunia` atau `duniawi`. Jadi saeculum bermakna `zaman kini` atau `masa kini`.[1] Yang menjadi penekanan istilahnya diletakkan pada suatu waktu tertentu di dunia yang dipandang sebagai proses sejarah.
Secara definisi, sekularisasi merupakan pembebasan manusia pertama dari kungkungan agama dan dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya.[2] Sekularisasi tidak hanya meliputi aspek-aspek sosial dan politik dalam kehidupan manusia, tetapi juga aspek kebudayaan, karena sekularisasi bermaksud `hilangnya pengaruh agama daripada simbol-simbol integrasi kebudayaan`. Sekularisasi juga mengandung makna `suatu proses kesejarahan`, yang hasil akhirnya adalah relativisme historis.
Sekularisasi dalam suatu proses yang berkelanjutan dan terbuka (open-ended), di mana nilai-nilai dan pandangan alam (worldview) secara terus-menerus diperbaharui sesuai dengan perubahan sejarah yang `berevolusi`. Yang karakteristik utamanya telah terbangun dalam pemikiran Barat, sebagaimana menurut Max Weber dan Harvex Cox, yaitu pengosongan nilai-nilai spiritual dalam memandang alam semesta (disenchantement of nature), penyingkiran aspek ruhani dan agama dari politik (desacralization of politics), dan penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan (deconstruction of values). Sedang sekularisme, seperti agama, menayangkan pandangan alam yang tertutup dan faham nilai yang mutlak sesuai dengan adanya maksud akhir sejarah yang menentukan hakikat manusia. Maka sekularisme bagi mereka memberi maksud sebuah ideologi.[3]
Meski sekularisme memiliki kesamaan dengan sekularisasi dalam pengosongan nilai spiritual dan penyingkaran aspek ruhani dan agama dari politik, tetapi sekularisme tidak pernah menghapus kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan. Jadi sekularisme tidak seperti sekularisasi yang menisbikan semua nilai dan menghasilkan keterbukaan dan kebebasan yang perlu bagi tindakan manusia dan untuk sejarah. Sehingga menurutnya sekularisme juga menjadi ancaman sekularisasi dan mendesak agar ia terus diawasi dan dikekang agar tidak menjadi ideologi negara.[4] Sekularisasi adalah hasil penerapan yang salah terhadap filsafat Yunani dalam teologi dan metafisika Barat, yang pada abad ke-17 dengan logis mengantarkan kepada revolusi saintifik, yang dicetuskan oleh Rene Descartes yang membuka pintu kepada keraguan dan skeptisisme. Dan pada pertengahan abad ke-19, telah menghasilkan studi akademis tentang agama, yang cenderung kritis.[5]
Dalam pergulirannya hingga era postmodern yang dianggap sekarang ini, sekularisasi telah melahirkan banyak ideologi-ideologi yang terus mengalami keterbukaan dan kebebasan seperti, liberalisme, feminisme, kapitalisme, pluralisme hingga ateisme dan agnotisme modern, yang semuanya berawal dari pemisahan antara agama dan kehidupan.
Diawali semenjak zaman pencerahan Eropa berlangsung, yang dikenal dengan Renesainse  pada abad 17 hingga 20 M. Para ilmuan dan filosof Barat secara berkesinambungan telah mempengaruhi dasar pemikiran dan kehidupan masyarakat Barat pada rasionalisme dan empirisme. Yang saat itu ditandai dengan kebangkitan sains dan kejatuhan agama di Barat. Yang hal ini juga telah diramalkan oleh Fredrich Nietzsche melalui lisan Zarathustra-paling tidak bagi dunia Barat- bahwa Tuhan telah mati. Filsuf, penyair, dan novelis Barat telah menyangka kehadiran kenyataan ini dan menyambutnya sebagai persiapan menyongsong hadirnya dunia yang bebas tanpa Tuhan dan agama sama sekali.[6]
Penolakan dan pembunuhan Tuhan dalam masyarakat Barat, merupakan sebuah trauma dan upaya panjang manusia Barat dalam perseteruannya terhadap Gereja. Kaum Gerejawan dan Bangsawan selama berabad sebelumnya telah memainkan perananannya yang feodal dalam pemerintahan dan kekuasaan atas nama Tuhan. Mereka memonopoli dan mengintervensi sebagian besar aspek kehidupan masyarakat. Melegalisasi kepentingan gereja dan melegitimasi apa yang tidak sesuai dengan doktrin gereja dalam realitas kehidupan, yang cenderung menyeleweng dan meyalahgunakan kekuasaannya dengan tiran. Dari berbagai arus peristiwa dan pertentangan yang terjadi, kemudian menghantarkan pada pemikiran dan krisis keyakinan terpendam, yang harus dihadapi Kristen dengan puncak kebebasan dan pelepasan diri melalui sekularisasi.
Jadi benih-benih sekularisme yang banyak diakui oleh para tokoh, lahir dari faktor agama, khususnya agama Kristen yang banyak dianut oleh masyarakat Barat.
Menurut Yusuf Qardhawi, kemunculan sekularisme di Barat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya ialah; faktor agama, yaitu berkenaan dengan ajaran bibel itu sendiri. Faktor pemikiran, yaitu pertentangan doktrin gereja dan ilmu pengetahuan yang berkembang pada waktu itu. Faktor psikologi, yaitu yang berhubungan dengan trauma sejarah, ketika gereja berkuasa, Barat berada dalam kemunduran, perpecahan dan kemandekan ilmu pengetahuan. Faktor sejarah, yaitu yang berhubungan dengan sejarah gereja khususnya ketika Gereja berkuasa pada abad pertengahan. Serta faktor realitas kehidupan empiris.[7]
Secara garis besar beliau simpulkan pertama, Barat Kristen menerima pemisahan antara kehidupan Tuhan dan kehidupan Kaisar.[8] Dalam injil matius XXII:21 tercatat perkataan Yesus “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah, apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Implikasinya, agama tidak perlu ikut campur dalam urusan politik, yang memunculkan dikotomi regnum dan sacerdotium, pemisahan antara kekuasaan Raja dan otoritas Gereja, antara negara dan agama, yang dibagi oleh St. Augustin menjadi Kota Bumi (civitas terrena) dan Kota Tuhan (civitas dei).[9] Dan bagi orang Barat sendiri, kebenaran itu, atau Tuhan sendiri, telah menjelma dalam diri manusia, dalam waktu dan sejarah.[10] Kedua, Barat Kristen tidak memiliki hukum (syari`at) bagi kehidupan dunia. Kristen Barat tidak memiliki hukum yang dapat dijadikan referensi dan sebagai pegangan dalam memutuskan suatu masalah. Kristen hanya mengajarkan hal-hal spiritual dan akhlak yang termuat dalam Bibel dan perkataan Yesus.[11] Karena tidak memiliki hukum yang diwahyukan, maka agama Kristen harus mengambil dan menyerap hukum-hukum Romawi, dan karena tidak memiliki pandangan alam (worldview) yang mantap yang ditayangkan oleh wahyu-Nya, maka ia harus meminjam pemikiran Yunani-Romawi dan darinya mereka membangun teologi dan metafisika yang terperinci.[12] Ketiga, tidak ada di dalam Islam Institusi Agama. Karena Islam mengajarkan kaum Muslimin untuk tunduk kepada Allah dan kepada pemimpin (ulil amri), Islam tidak mengajarkan kaum Muslimin untuk tunduk kepada Allah tanpa tunduk kepada pemimpin, dan tunduk kepada pemimpin tanpa tunduk kepada Allah.[13] Keempat, Sejarah gereja bukan sejarah Islam. Bahwasannya Islam memiliki ukiran sejarah yang berbeda drastis dengan dunia Barat, yang hal tersebut tidak dapat disamakan atau dikaitkan dalam berbagai pemikiran atau kehidupan di dunia Islam.[14]
Adian Husaini, seorang cendikiawan Muslim Indonesia juga menyimpulkan, mengapa Barat memilih jalan hidup sekuler-liberal. Setidaknya ada tiga faktor penting yang melatar belakanginya, yaitu pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Kedua, problem teks bibel, berkaitan dengan otentitas teks Bibel dan makna yang terkandung di dalamnya. Dan ketiga, problema teologi Kristen, yaitu pencariannya terhadap esensi dan eksistensi Tuhan. Ketiga problem itu terkait satu dengan lainnya, sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya melahirkan sikap berpikir sekuler-liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat modern.[15]
Kesimpulan yang diambil oleh kaum orientalis Barat, bahwa ajaran Kristen dianggap masih dalam tingkatan perkembangan anak-anak, yang harus tumbuh menghadapi kedewasan sebagai tuntutan kematangan dunia dan zaman. Bagaimana menemukan makna dan tujuan kebenaran, bergantung pada pengalaman dan kesadaran setiap peringkat evolusi dan sejarah manusia. Yang tidak dapat dihindari bahwa Kristen harus menerima sekularisasi, sebagai wujud proses kedewasaan.
Meski demikian, pada tingkat kedewasaan yang dinyatakan seperti pada masa modern sekarang ini. Manusia Barat masih meraba-raba, dan belum menemukan makna tentang Tuhan.[16] Karena pada hakikatnya dalam pandangan Islam, meskipun Kristen Barat berdasarkan kepada wahyu, ia bukanlah  agama yang diwahyukan sebagaimana halnya Islam.[17]
Menurut Syed Naquib Al Attas Pernyataan bahwa sekularisasi mempunyai akarnya di dalam kepercayaan Injil dan merupakan natijah dari ajaran injil, tidak didukung oleh fakta sejarah. Akar sejarah bukan dalam kepercayaan kitab injil, melainkan di dalam tafsiran manusia Barat terhadap kepercayaan kitab tersebut, ini bukanlah buah dari ajaran injil, tetapi natijah dari sejarah panjang perseteruan dalam filsafat dan metafisika antara pandangan alam (worldview) manusia Barat yang bersandarkan agama dengan rasionalisme murni. Ia didasarkan atas pembacaan –atau sebenarnya kesalah bacaan-  pengalaman dan kesadaran masa kini terhadap semangat dan pemikiran masa lampau. Bukti sejarah menunjukkan bahwa Kristen pada awalnya dengan konsisten menentang sekularisme dan penentangan ini berlangsung sepanjang kekalahannya dalam pertempuran melawan kekuatan sekularisme.[18]
 Pergeseran ini juga bisa ditandai dengan pemindahan Kristen dari pusat asalnya di Yerussalem ke Roma, yang melambangkan permulaan westernisasi Kristen dan penyerapan unsur-unsur Barat secara berangsur-angsur dan berturut-turut, yang dalam waktu selanjutnya menghasilkan dan mempercepat momentum sekularisasi.[19]
Harvex Cox menyimpulkan, bahwa sekularisasi tidak bisa lagi dibendung, sehingga orang mau atau tidak mau harus belajar mencintainya, kalau tidak ingin tersingkir dari pentas kehidupan. Sarannya agar mengikuti Dietrich Bonhoeffer untuk berbicara tentang Tuhan dan  menafsirkan kitab suci dengan cara sekular.[20]
Sekularisasi memang tidak mesti berakhir dengan atheisme. Agama tidak diprediksi bakal lenyap karena sekularisasi. Namun sebagai gantinya, masyarakat sekuler cenderung beralih dari budaya beragama (religion culture) kepada sekedar kepercayaan agama (religion faith). Asalkan anda percaya bahwa Tuhan itu ada, maka anda sudah dianggap beragama. Cukup menjadi orang baik, tanpa perlu menjadi pemeluk agama tertentu.[21]
Hal ini juga yang berlaku dan berpengaruh kepada agama-agama lainnya, yang pada pondasinya tidak mampu menjawab berbagai tantangan perkembangan zaman. Karena memang terbentuk dari proses kebudayaan dan pemikiran manusia yang terbatas. Agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu dan lainnya, memiliki problem yang sama dan beragam. Dan mengharuskan diri menghadapi sekularisasi. Sebab ia bukanlah agama wahyu, tapi agama budaya, agama yang berkembang mengikuti proses waktu dan budaya.

Islam Agama Revolusionis
Islam adalah agama yang melampaui pengaruh evolusi dan kesejarahan manusia, maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah mutlak, dan ini berarti Islam memiliki pandangannya sendiri yang mutlak tentang Tuhan, alam semesta, realitas dan manusia. Islam juga memiliki penafsiran yang khas terhadap realitas, baik dari sudut ontologi, kosmologi atau psikologi.[22]
Islam adalah agama yang tidak mengenal istilah sekuler, tidak mengalami dikotomi atau pemisahan antara kehidupan dunia dan agama, agama dan negara, akal dan wahyu, rasional dan irrasional. Karena berbagai perbuatan dan kemanfaatan yang dilakukan di dunia, merupakan lahan untuk kehidupannya diakhirat. Setiap aktivitas kehidupan, menjadi amalan dan tuntutan untuk menjalankan misi kepemimpinan sebagai mahluk yang diamanahi oleh Allah. Yang semua hal tersebut berjalan saling terkait dan berkesinambungan. Melengkapi dan sesuai dengan realitas kehidupan.
Berbeda dari pandangan dan realitas yang saling bertentangan dan dikotomi di dunia Barat. Islam telah menghancurkan ketahayulan, sekaligus otoritas kependetaan. Di dalamnya tidak ada kekuasaan gereja yang harus meyakini, apa yang dianggap benar dan salah. Tradisi turun-temurun dari nenek moyang tidak bernilai kecuali jika sesuai dengan hakikat. Berulang-ulang Islam menghimbau rasio, mengajak manusia untuk sepenuhnya menggunakan kemampuan kritisnya. Ajaran itu telah membebaskannya dari dogmatisme, ketahayulan, dan setiap bentuk irrasionalisme. Islam tidak pernah menyuruh dia untuk menerima sebagai benar hal-hal yang bertentangan dengan akal, yang menghalangi daya pengertiannya seperti sebuah batu sandungan Maaha Besar. Apapun yang ia anggap sebagai benar, apapun yang ia terima sebagai masuk akal dan meyakinkan adalah berdasar pada pilihannya sendiri.  Oleh karena itu, Qur`an menyatakan seseorang dan segala daya kemampuannya bertanggung jawab atas akibat yang timbul.[23]
Islam tidak hanya sebatas kepercayaan, tapi merupakan dien yang memiliki konsep dan struktur aturan kehidupan yang kompleks, sehingga tidak ada dikotomi antara kehidupan dan tuntunan, realitas dan keyakinan. Hamid Fahmi Zarkasy menjabarkan tahapan kelahiran keilmuan Islam, yang menjadi akar sistem pemikiran, peradaban dan kehidupan Islam. Yang secara garis besar terbagi atas empat periode, pertama turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam. Kedua lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun mengandung struktur ilmu pengetahuan, tentang konsep kehidupan, konsep penciptaan dan lainnya, sebagai embrio dari ilmu sains dan pengetahuan ilmiah. Ketiga ditunjukkan dengan adanya komunitas ilmuan Muslim, yang dimulai oleh Ashhabus Suffah pada masa Rasulullah, antara lain Abu Hurairah, Abu Dzar Al Ghifari, Salman Al Farisi, Abdullah ibn Mas`ud dan diikuti oleh generasi berikutnya, seperti Qadi Syuriah (w.699), Muhammad ibn Hanafiyyah (w.700), Umar bin Abd Aziz (w.720), Ja`far As Shadiq (w.765), Abu Hanifah (w.767), Malik ibn Anas (w.796), Abu Yusuf (w.799), As Syafi`i (w.819) dan lainnya. Keempat merupakan tahap lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam yang dilalui dengan tiga tahap, tahap problematik, tahap disipliner dan tahap persamaan. Yang terinspirasi dan teraplikasi pada permulaan turunnya wahyu.[24]
Islam merupakan satu-satunya agama wahyu yang masih terpelihara dan terjamin kontinuitas dari otentitas dan finalitasnya, mulai Nabi Adam a.s hingga Nabi Muhammad saw, sampai ummat Islam sekarang. Yang beberapa indikatornya dapat ditemukan.
Pertama, hanya Islam yang namanya secara khusus disebutkan melalui wahyu-Nya. Adapun agama-agama selain merupakan nama yang awalnya belum dikenal dan diberikan oleh para pengamat keagamaan atau manusia. Seperti agama Yahudi (Judaisme), agama Katolik (Katolikisme), agama Protestan (Protestanisme), agama Budha (Budhisme), agama Hindu (Hinduisme), agama Konghucu (Konfusianisme) dan yang lainnya. Kedua, dalam soal nama dan konsep Tuhan. Menurut Al Attas, konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas, yang tidak sama dengan konsep Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani, filsafat Barat modern ataupun tradisi mistik Barat dan Timur. Semua hal ini telah dijelaskan dengan gamblang melalui wahyu-Nya, sedang di agama lainnya seperti Yahudi dan Nasrani, Tuhan masih menjadi problem dan dipertanyakan. Ketiga, dalam soal ritual, Islam masih tetap menikmati ritual yang satu, karena sumber dari dasar yang sama, yaitu Al Qur`an dan Sunnah, yang tidak memiliki perbedaan, kecuali dalam hal yang cabang. Dan ritual Islam tidak tunduk terhadap budaya dan perkembangan sejarah.[25]
Bagi Muslim, sekularisasi bukanlah prasyarat mutlak kemodernan dan kemajuan. Masyarakat tidak perlu menjadi sekuler untuk menjadi modern. Banyak juga masyarakat modern yang tetap religius, baik secara individual maupun konstitusional, seperti Libya dan Malaysia. Sebaliknya tidak sedikit negara yang telah menyatakan diri sekuler namun hingga kini masih saja belum tergolong sebagai negara maju, seperti Maroko dan Turki. Apalagi dengan melepas cara pandang dan prinsip kehidupan Islam.[26]
            Yang pada hakikatnya disimpulkan, bahwa kemunduran ilmu pengetahuan dan kehidupan, hanyalah terjadi dalam hubungan antara agama-agama produk kebudayaan dan realitas kehidupan. Dan yang telah dibuktikan bahwa, justru kemajuan bergantung pada kebenaran, kesempurnaan dan universalitas agama, sebagai petunjuk dasar kehidupan yang sesuai dengan fitrah dan perkembangannya, yang semua hal ini hanya terdapat dalam Islam, berdasar pada pandangan hidup Islam (worldview of Islam) yang lahir dari aqidah Islam melalui Al Qur`an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar. Untuk itu dibutuhkan ilmu dan keyakinan yang mesti terpaut dalam diri Muslim, bahwa kemajuan peradaban Islam, hanya akan dapat terbangun dengan kembali kepada apa yang telah digariskan oleh Sang Pencipta kehidupan, melalui Rasulullah, para sahabat dan para ulama sebagai pengukir tinta emas peradaban.(Galih)
Daftar Pustaka
 Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal. 18
2 Cornelis van Peursen yang dikutip oleh Harvex Cox,The Secular City, New York, 1965.  Dalam  Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal. 19
3 Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal. 22
4 Ibid, hal.23
5Adian Husaini, etc.al,Filsafat Ilmu,(Jakarta:GIP,2013),hal.157)
6 Ibid, hal.2
7 M.Syukri Ismail,Kritik Terhadap Sekularisme; Pandangan Yusuf Qardhawi, (Ponorogo: CIOS,2007),hal.13
8 Ibid, hal.22,24
9 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta:GIP,2008), hal.87
10 Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal.24
11 M.Syukri Ismail, Kritik Terhadap Sekularisme; Pandangan Yusuf Qardhawi, (Ponorogo: CIOS,2007),hal.27
12 Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal.35
13 M.Syukri Ismail, Kritik Terhadap Sekularisme; Pandangan Yusuf Qardhawi, (Ponorogo: CIOS,2007),hal.28
14 Ibid, hal.30
15 Adian Husaini,Wajah Peradaban Barat, (Jakarta:GIP,2005),hal.29
16 Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal.30
17 Ibid, hal.33
18 Ibid, hal.26
19 Ibid, hal.24
20 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta:GIP,2008), hal.85
21 Ibid, hal.87-88
22 Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal.38
23 Ismail Al Faruqi, Islam dan Kebudayaan terj.Yustiono, (Bandung:MIZAN, 1984), hal.31
24 Hamid Fahmy Zarkasy, Worldview Islam Asas Peradaban, (Jakarta:INSISTS,2011), Hal. 14-23
25 Adian Husaini, Islam Agama Wahyu, (Jakarta:INSISTS,2011),hal.59-61

26 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta:GIP,2008), hal.100

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons