Kelahiran cara pandang dan problem hidup kekinian yang melingkupi realitas kehidupan umum hingga disiplin keilmuan, merupakan dampak dan perbincangan awal yang tidak terlepas dari kenyataan keagamaan. Agama sebagai unsur dasar nilai dan prinsip kehidupan, dalam perkembangannya menjadi dorongan untuk sistematika kemajuan atau pertentangan yang dihadapkan.
Dunia Barat saat ini telah meletakkan
realitas dan konsep kehidupan dengan perkembangan zaman yang mengikuti
paradigma dan praduga ilmuan. Yang mana loyalitas agama dimarginalkan sebatas
apa yang menjadi wilayah kerohanian ketika pernikahan, upacara kematian dan
peribadatan. Agama bagi Barat adalah sebuah sistem kepercayaan, amalan, sikap
dan nilai yang tercipta dalam sejarah pencarian manusia dengan alam, yang
mengalami proses perkembangan dalam kesejarahan dan kebudayaan. Sehingga nilai
dari sebuah agama adalah relativ dengan mengikuti keadaan dan kebutuhan zaman.
Mereka membagi apa yang menjadi hak agama dan kehidupan, agama dan ilmu
pengetahuan, yang dikenal dengan istilah sekular. Hal ini pula yang selanjutnya
dibawa ketika kolonialisme Barat di dunia Islam, untuk mencabut akar pemikiran
dan sistem Islam, selain karena ketidak pahamannya terhadap prinsip pandangan
hidup (worldview) Islam dan Barat
yang benar dan menyeluruh, banyak kemudian yang terpengaruh, termasuk dari
kalangan cendikiawan dan intelektual Islam.
Secular
berasal dari bahasa latin saeculum,
mengandung makna yang ditandai dengan dua pengertian yaitu waktu dan tempat atau
ruang. Sekuler dalam pengertian waktu merujuk pada `sekarang` atau `kini`,
sedangkan dalam pengertian ruang merujuk kepada `dunia` atau `duniawi`. Jadi saeculum bermakna `zaman kini` atau
`masa kini`.[1] Yang menjadi penekanan istilahnya diletakkan pada suatu waktu
tertentu di dunia yang dipandang sebagai proses sejarah.
Secara definisi, sekularisasi merupakan
pembebasan manusia pertama dari kungkungan agama dan dari kungkungan metafisika
yang mengatur akal dan bahasanya.[2] Sekularisasi tidak hanya meliputi
aspek-aspek sosial dan politik dalam kehidupan manusia, tetapi juga aspek
kebudayaan, karena sekularisasi bermaksud `hilangnya pengaruh agama daripada
simbol-simbol integrasi kebudayaan`. Sekularisasi juga mengandung makna `suatu
proses kesejarahan`, yang hasil akhirnya adalah relativisme historis.
Sekularisasi dalam suatu proses yang
berkelanjutan dan terbuka (open-ended),
di mana nilai-nilai dan pandangan alam (worldview)
secara terus-menerus diperbaharui sesuai dengan perubahan sejarah yang `berevolusi`.
Yang karakteristik utamanya telah terbangun dalam pemikiran Barat, sebagaimana
menurut Max Weber dan Harvex Cox, yaitu pengosongan nilai-nilai spiritual dalam
memandang alam semesta (disenchantement
of nature), penyingkiran aspek ruhani dan agama dari politik (desacralization of politics), dan
penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan (deconstruction of values). Sedang
sekularisme, seperti agama, menayangkan pandangan alam yang tertutup dan faham
nilai yang mutlak sesuai dengan adanya maksud akhir sejarah yang menentukan
hakikat manusia. Maka sekularisme bagi mereka memberi maksud sebuah
ideologi.[3]
Meski sekularisme memiliki kesamaan
dengan sekularisasi dalam pengosongan nilai spiritual dan penyingkaran aspek
ruhani dan agama dari politik, tetapi sekularisme tidak pernah menghapus
kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan. Jadi sekularisme
tidak seperti sekularisasi yang menisbikan semua nilai dan menghasilkan
keterbukaan dan kebebasan yang perlu bagi tindakan manusia dan untuk sejarah.
Sehingga menurutnya sekularisme juga menjadi ancaman sekularisasi dan mendesak
agar ia terus diawasi dan dikekang agar tidak menjadi ideologi negara.[4]
Sekularisasi adalah hasil penerapan yang salah terhadap filsafat Yunani dalam
teologi dan metafisika Barat, yang pada abad ke-17 dengan logis mengantarkan
kepada revolusi saintifik, yang dicetuskan oleh Rene Descartes yang membuka
pintu kepada keraguan dan skeptisisme. Dan pada pertengahan abad ke-19, telah
menghasilkan studi akademis tentang agama, yang cenderung kritis.[5]
Dalam pergulirannya hingga era
postmodern yang dianggap sekarang ini, sekularisasi telah melahirkan banyak
ideologi-ideologi yang terus mengalami keterbukaan dan kebebasan seperti,
liberalisme, feminisme, kapitalisme, pluralisme hingga ateisme dan agnotisme
modern, yang semuanya berawal dari pemisahan antara agama dan kehidupan.
Diawali semenjak zaman pencerahan Eropa
berlangsung, yang dikenal dengan Renesainse
pada abad 17 hingga 20 M. Para ilmuan dan filosof Barat secara
berkesinambungan telah mempengaruhi dasar pemikiran dan kehidupan masyarakat
Barat pada rasionalisme dan empirisme. Yang saat itu ditandai dengan
kebangkitan sains dan kejatuhan agama di Barat. Yang hal ini juga telah
diramalkan oleh Fredrich Nietzsche melalui lisan Zarathustra-paling tidak bagi
dunia Barat- bahwa Tuhan telah mati. Filsuf, penyair, dan novelis Barat telah
menyangka kehadiran kenyataan ini dan menyambutnya sebagai persiapan
menyongsong hadirnya dunia yang bebas tanpa Tuhan dan agama sama sekali.[6]
Penolakan dan pembunuhan Tuhan dalam
masyarakat Barat, merupakan sebuah trauma dan upaya panjang manusia Barat dalam
perseteruannya terhadap Gereja. Kaum Gerejawan dan Bangsawan selama berabad
sebelumnya telah memainkan perananannya yang feodal dalam pemerintahan dan
kekuasaan atas nama Tuhan. Mereka memonopoli dan mengintervensi sebagian besar
aspek kehidupan masyarakat. Melegalisasi kepentingan gereja dan melegitimasi
apa yang tidak sesuai dengan doktrin gereja dalam realitas kehidupan, yang
cenderung menyeleweng dan meyalahgunakan kekuasaannya dengan tiran. Dari
berbagai arus peristiwa dan pertentangan yang terjadi, kemudian menghantarkan
pada pemikiran dan krisis keyakinan terpendam, yang harus dihadapi Kristen
dengan puncak kebebasan dan pelepasan diri melalui sekularisasi.
Jadi benih-benih sekularisme yang banyak
diakui oleh para tokoh, lahir dari faktor agama, khususnya agama Kristen yang
banyak dianut oleh masyarakat Barat.
Menurut Yusuf Qardhawi, kemunculan
sekularisme di Barat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya ialah; faktor
agama, yaitu berkenaan dengan ajaran bibel itu sendiri. Faktor pemikiran, yaitu
pertentangan doktrin gereja dan ilmu pengetahuan yang berkembang pada waktu
itu. Faktor psikologi, yaitu yang berhubungan dengan trauma sejarah, ketika
gereja berkuasa, Barat berada dalam kemunduran, perpecahan dan kemandekan ilmu
pengetahuan. Faktor sejarah, yaitu yang berhubungan dengan sejarah gereja
khususnya ketika Gereja berkuasa pada abad pertengahan. Serta faktor realitas
kehidupan empiris.[7]
Secara garis besar beliau simpulkan pertama,
Barat Kristen menerima pemisahan antara kehidupan Tuhan dan kehidupan
Kaisar.[8] Dalam injil matius XXII:21 tercatat perkataan Yesus
“Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada
Allah, apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Implikasinya, agama tidak
perlu ikut campur dalam urusan politik, yang memunculkan dikotomi regnum dan sacerdotium, pemisahan antara kekuasaan Raja dan otoritas Gereja, antara
negara dan agama, yang dibagi oleh St. Augustin menjadi Kota Bumi (civitas terrena) dan Kota Tuhan (civitas dei).[9] Dan bagi orang Barat
sendiri, kebenaran itu, atau Tuhan sendiri, telah menjelma dalam diri manusia,
dalam waktu dan sejarah.[10] Kedua, Barat Kristen tidak memiliki
hukum (syari`at) bagi kehidupan dunia. Kristen Barat tidak memiliki hukum yang
dapat dijadikan referensi dan sebagai pegangan dalam memutuskan suatu masalah.
Kristen hanya mengajarkan hal-hal spiritual dan akhlak yang termuat dalam Bibel
dan perkataan Yesus.[11] Karena tidak memiliki hukum yang diwahyukan, maka
agama Kristen harus mengambil dan menyerap hukum-hukum Romawi, dan karena tidak
memiliki pandangan alam (worldview)
yang mantap yang ditayangkan oleh wahyu-Nya, maka ia harus meminjam pemikiran
Yunani-Romawi dan darinya mereka membangun teologi dan metafisika yang
terperinci.[12] Ketiga, tidak ada di dalam Islam Institusi Agama. Karena Islam
mengajarkan kaum Muslimin untuk tunduk kepada Allah dan kepada pemimpin (ulil
amri), Islam tidak mengajarkan kaum Muslimin untuk tunduk kepada Allah tanpa
tunduk kepada pemimpin, dan tunduk kepada pemimpin tanpa tunduk kepada
Allah.[13] Keempat, Sejarah gereja bukan sejarah Islam. Bahwasannya Islam
memiliki ukiran sejarah yang berbeda drastis dengan dunia Barat, yang hal
tersebut tidak dapat disamakan atau dikaitkan dalam berbagai pemikiran atau
kehidupan di dunia Islam.[14]
Adian Husaini, seorang cendikiawan
Muslim Indonesia juga menyimpulkan, mengapa Barat memilih jalan hidup
sekuler-liberal. Setidaknya ada tiga faktor penting yang melatar belakanginya,
yaitu pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan
dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Kedua, problem teks
bibel, berkaitan dengan otentitas teks Bibel dan makna yang terkandung di
dalamnya. Dan ketiga, problema teologi Kristen, yaitu pencariannya terhadap
esensi dan eksistensi Tuhan. Ketiga problem itu terkait satu dengan lainnya,
sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya
melahirkan sikap berpikir sekuler-liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat
modern.[15]
Kesimpulan yang diambil oleh kaum orientalis
Barat, bahwa ajaran Kristen dianggap masih dalam tingkatan perkembangan
anak-anak, yang harus tumbuh menghadapi kedewasan sebagai tuntutan kematangan
dunia dan zaman. Bagaimana menemukan makna dan tujuan kebenaran, bergantung
pada pengalaman dan kesadaran setiap peringkat evolusi dan sejarah manusia.
Yang tidak dapat dihindari bahwa Kristen harus menerima sekularisasi, sebagai
wujud proses kedewasaan.
Meski demikian, pada tingkat kedewasaan
yang dinyatakan seperti pada masa modern sekarang ini. Manusia Barat masih
meraba-raba, dan belum menemukan makna tentang Tuhan.[16] Karena pada
hakikatnya dalam pandangan Islam, meskipun Kristen Barat berdasarkan kepada
wahyu, ia bukanlah agama yang diwahyukan
sebagaimana halnya Islam.[17]
Menurut Syed Naquib Al Attas Pernyataan
bahwa sekularisasi mempunyai akarnya di dalam kepercayaan Injil dan merupakan
natijah dari ajaran injil, tidak didukung oleh fakta sejarah. Akar sejarah
bukan dalam kepercayaan kitab injil, melainkan di dalam tafsiran manusia Barat
terhadap kepercayaan kitab tersebut, ini bukanlah buah dari ajaran injil,
tetapi natijah dari sejarah panjang perseteruan dalam filsafat dan metafisika
antara pandangan alam (worldview) manusia Barat yang bersandarkan agama dengan
rasionalisme murni. Ia didasarkan atas pembacaan –atau sebenarnya kesalah
bacaan- pengalaman dan kesadaran masa
kini terhadap semangat dan pemikiran masa lampau. Bukti sejarah menunjukkan
bahwa Kristen pada awalnya dengan konsisten menentang sekularisme dan
penentangan ini berlangsung sepanjang kekalahannya dalam pertempuran melawan
kekuatan sekularisme.[18]
Pergeseran ini juga bisa ditandai dengan
pemindahan Kristen dari pusat asalnya di Yerussalem ke Roma, yang melambangkan
permulaan westernisasi Kristen dan penyerapan unsur-unsur Barat secara
berangsur-angsur dan berturut-turut, yang dalam waktu selanjutnya menghasilkan
dan mempercepat momentum sekularisasi.[19]
Harvex Cox menyimpulkan, bahwa
sekularisasi tidak bisa lagi dibendung, sehingga orang mau atau tidak mau harus
belajar mencintainya, kalau tidak ingin tersingkir dari pentas kehidupan.
Sarannya agar mengikuti Dietrich Bonhoeffer untuk berbicara tentang Tuhan
dan menafsirkan kitab suci dengan cara
sekular.[20]
Sekularisasi memang tidak mesti berakhir
dengan atheisme. Agama tidak diprediksi bakal lenyap karena sekularisasi. Namun
sebagai gantinya, masyarakat sekuler cenderung beralih dari budaya beragama (religion culture) kepada sekedar
kepercayaan agama (religion faith).
Asalkan anda percaya bahwa Tuhan itu ada, maka anda sudah dianggap beragama.
Cukup menjadi orang baik, tanpa perlu menjadi pemeluk agama tertentu.[21]
Hal ini juga yang berlaku dan
berpengaruh kepada agama-agama lainnya, yang pada pondasinya tidak mampu
menjawab berbagai tantangan perkembangan zaman. Karena memang terbentuk dari
proses kebudayaan dan pemikiran manusia yang terbatas. Agama Yahudi, Nasrani,
Hindu, Budha, Konghucu dan lainnya, memiliki problem yang sama dan beragam. Dan
mengharuskan diri menghadapi sekularisasi. Sebab ia bukanlah agama wahyu, tapi
agama budaya, agama yang berkembang mengikuti proses waktu dan budaya.
Islam
Agama Revolusionis
Islam adalah agama yang melampaui
pengaruh evolusi dan kesejarahan manusia, maka nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya adalah mutlak, dan ini berarti Islam memiliki pandangannya sendiri
yang mutlak tentang Tuhan, alam semesta, realitas dan manusia. Islam juga
memiliki penafsiran yang khas terhadap realitas, baik dari sudut ontologi,
kosmologi atau psikologi.[22]
Islam adalah agama yang tidak mengenal
istilah sekuler, tidak mengalami dikotomi atau pemisahan antara kehidupan dunia
dan agama, agama dan
negara, akal dan wahyu, rasional dan irrasional. Karena
berbagai perbuatan dan kemanfaatan yang dilakukan di dunia, merupakan lahan
untuk kehidupannya diakhirat. Setiap aktivitas kehidupan, menjadi amalan dan
tuntutan untuk menjalankan misi kepemimpinan sebagai mahluk yang diamanahi oleh
Allah. Yang semua hal tersebut berjalan saling terkait dan berkesinambungan.
Melengkapi dan sesuai dengan realitas kehidupan.
Berbeda dari pandangan dan realitas yang
saling bertentangan dan dikotomi di dunia Barat. Islam telah menghancurkan
ketahayulan, sekaligus otoritas kependetaan. Di dalamnya tidak ada kekuasaan
gereja yang harus meyakini, apa yang dianggap benar dan salah. Tradisi
turun-temurun dari nenek moyang tidak bernilai kecuali jika sesuai dengan
hakikat. Berulang-ulang Islam menghimbau rasio, mengajak manusia untuk
sepenuhnya menggunakan kemampuan kritisnya. Ajaran itu telah membebaskannya
dari dogmatisme, ketahayulan, dan setiap bentuk irrasionalisme. Islam tidak
pernah menyuruh dia untuk menerima sebagai benar hal-hal yang bertentangan
dengan akal, yang menghalangi daya pengertiannya seperti sebuah batu sandungan
Maaha Besar. Apapun yang ia anggap sebagai benar, apapun yang ia terima sebagai
masuk akal dan meyakinkan adalah berdasar pada pilihannya sendiri. Oleh karena itu, Qur`an menyatakan seseorang
dan segala daya kemampuannya bertanggung jawab atas akibat yang timbul.[23]
Islam tidak hanya sebatas kepercayaan,
tapi merupakan dien yang memiliki
konsep dan struktur aturan kehidupan yang kompleks, sehingga tidak ada dikotomi antara kehidupan dan
tuntunan, realitas dan keyakinan. Hamid Fahmi Zarkasy menjabarkan tahapan
kelahiran keilmuan Islam, yang menjadi akar sistem pemikiran,
peradaban dan kehidupan Islam. Yang secara garis besar terbagi
atas empat periode, pertama turunnya
wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam. Kedua lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun mengandung struktur ilmu
pengetahuan, tentang konsep kehidupan, konsep penciptaan dan lainnya, sebagai
embrio dari ilmu sains dan pengetahuan ilmiah. Ketiga ditunjukkan dengan adanya komunitas
ilmuan Muslim, yang dimulai oleh Ashhabus
Suffah pada masa Rasulullah, antara lain Abu Hurairah, Abu Dzar Al Ghifari,
Salman Al Farisi, Abdullah ibn Mas`ud dan diikuti oleh generasi berikutnya,
seperti Qadi Syuriah (w.699), Muhammad ibn Hanafiyyah (w.700), Umar bin Abd
Aziz (w.720), Ja`far As Shadiq (w.765), Abu Hanifah (w.767), Malik ibn Anas
(w.796), Abu Yusuf (w.799), As Syafi`i (w.819) dan lainnya. Keempat merupakan tahap lahirnya disiplin
ilmu-ilmu Islam yang dilalui dengan tiga tahap, tahap problematik, tahap
disipliner dan tahap persamaan. Yang terinspirasi dan teraplikasi pada
permulaan turunnya wahyu.[24]
Islam merupakan satu-satunya agama wahyu
yang masih terpelihara dan terjamin kontinuitas dari otentitas dan
finalitasnya, mulai Nabi Adam a.s hingga Nabi Muhammad saw, sampai ummat Islam
sekarang. Yang beberapa indikatornya dapat ditemukan.
Pertama,
hanya Islam yang namanya secara khusus disebutkan melalui wahyu-Nya. Adapun
agama-agama selain merupakan nama yang awalnya belum dikenal dan diberikan oleh
para pengamat keagamaan atau manusia. Seperti agama Yahudi (Judaisme), agama
Katolik (Katolikisme), agama Protestan (Protestanisme), agama Budha (Budhisme),
agama Hindu (Hinduisme), agama Konghucu (Konfusianisme) dan yang lainnya. Kedua,
dalam soal nama dan konsep Tuhan. Menurut Al Attas, konsep Tuhan dalam Islam
memiliki sifat yang khas, yang tidak sama dengan konsep Tuhan dalam agama-agama
lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani, filsafat
Barat modern ataupun tradisi mistik Barat dan Timur. Semua hal ini telah
dijelaskan dengan gamblang melalui wahyu-Nya, sedang di agama lainnya seperti
Yahudi dan Nasrani, Tuhan masih menjadi problem dan dipertanyakan. Ketiga, dalam soal ritual, Islam masih tetap
menikmati ritual yang satu, karena sumber dari dasar yang sama, yaitu Al Qur`an
dan Sunnah, yang tidak memiliki perbedaan, kecuali dalam hal yang cabang. Dan
ritual Islam tidak tunduk terhadap budaya dan perkembangan sejarah.[25]
Bagi Muslim, sekularisasi bukanlah
prasyarat mutlak kemodernan dan kemajuan. Masyarakat tidak perlu menjadi
sekuler untuk menjadi modern. Banyak juga masyarakat modern yang tetap
religius, baik secara individual maupun konstitusional, seperti Libya dan
Malaysia. Sebaliknya tidak sedikit negara yang telah menyatakan diri sekuler
namun hingga kini masih saja belum tergolong sebagai negara maju, seperti
Maroko dan Turki. Apalagi dengan melepas cara pandang dan prinsip kehidupan
Islam.[26]
Yang
pada hakikatnya disimpulkan, bahwa kemunduran ilmu pengetahuan dan kehidupan,
hanyalah terjadi dalam hubungan antara agama-agama produk kebudayaan dan
realitas kehidupan. Dan yang telah dibuktikan bahwa, justru kemajuan bergantung
pada kebenaran, kesempurnaan dan universalitas agama, sebagai petunjuk dasar
kehidupan yang sesuai dengan fitrah dan perkembangannya, yang semua hal ini
hanya terdapat dalam Islam, berdasar pada pandangan hidup Islam (worldview of Islam) yang lahir dari
aqidah Islam melalui Al Qur`an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar. Untuk itu dibutuhkan ilmu dan
keyakinan yang mesti terpaut dalam diri Muslim, bahwa kemajuan peradaban Islam,
hanya akan dapat terbangun dengan kembali kepada apa yang telah digariskan oleh
Sang Pencipta kehidupan, melalui Rasulullah, para sahabat dan para ulama
sebagai pengukir tinta emas peradaban.(Galih)
Daftar
Pustaka
Syed Muhammad
Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif Muammar, (Bandung :
PIMPIN, 2010), hal. 18
2
Cornelis van Peursen yang dikutip oleh Harvex Cox,The Secular City, New York,
1965. Dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan
Sekularisme terj. Khalif Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal. 19
3
Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif
Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal. 22
4
Ibid, hal.23
5Adian
Husaini, etc.al,Filsafat Ilmu,(Jakarta:GIP,2013),hal.157)
6 Ibid, hal.2
7
M.Syukri Ismail,Kritik Terhadap
Sekularisme; Pandangan Yusuf Qardhawi, (Ponorogo: CIOS,2007),hal.13
8
Ibid, hal.22,24
9
Syamsuddin Arif, Orientalis dan
Diabolisme Pemikiran, (Jakarta:GIP,2008), hal.87
10
Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif
Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal.24
11
M.Syukri Ismail, Kritik Terhadap
Sekularisme; Pandangan Yusuf Qardhawi, (Ponorogo: CIOS,2007),hal.27
12
Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif
Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal.35
13
M.Syukri Ismail, Kritik Terhadap
Sekularisme; Pandangan Yusuf Qardhawi, (Ponorogo: CIOS,2007),hal.28
14
Ibid, hal.30
15
Adian Husaini,Wajah Peradaban Barat, (Jakarta:GIP,2005),hal.29
16
Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif
Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal.30
17
Ibid, hal.33
18
Ibid, hal.26
19
Ibid, hal.24
20
Syamsuddin Arif, Orientalis dan
Diabolisme Pemikiran, (Jakarta:GIP,2008), hal.85
21
Ibid, hal.87-88
22
Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif
Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2010), hal.38
23
Ismail Al Faruqi, Islam dan Kebudayaan
terj.Yustiono, (Bandung:MIZAN, 1984), hal.31
24 Hamid Fahmy Zarkasy, Worldview Islam Asas Peradaban, (Jakarta:INSISTS,2011), Hal. 14-23
25
Adian Husaini, Islam Agama Wahyu,
(Jakarta:INSISTS,2011),hal.59-61
26
Syamsuddin Arif, Orientalis dan
Diabolisme Pemikiran, (Jakarta:GIP,2008), hal.100


7:24 AM
Galih al Khalid

0 komentar:
Post a Comment