Aug 27, 2016

mengetahui kebenaran



Manusia sebagai mahluk yang telah diciptakan oleh Allahsubhanahu wa ta`ala dengan sempurna, telah diberikan kemampuan dan daya untuk mampu mencapai kebenaran. Meski juga dengan keterbatasannya, tapi tidak sampai menggugurkan nilai kebenaran dan keabsahan ilmu pengetahuan dan kenyataan yang didapatkannya.
Manusia normal, pada umumnya mampu untuk memilah, membedakan, menilai dan menentukan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang berguna dan mana yang berbahaya, dan seterusnya. Dengan kapasitas diri dan ilmunya, secara lahir dan batinnya, mental dan spiritualnya, akal dan hatinya, yang menjadi diameternya.
Maka dalam Islam, mengetahui dan mengenal bukanlah sesuatu yang mustahil. Yang masih dipertanyakan atau dapat dinegasikan. Tidak benar kemudian ungkapan-ungkapan yang menyudutkan atau membenarkan segala hal, sebagaimana kaum sofis atau relativisme yang menganggap manusia tidak dapat mengetahui kebenaran.
            Pendirian kaum Muslimin bahwa kebenaran itu bisa didapatkan. Dalam soal ini disimpulkan oleh Abu Hafs Najmuddin ‘Umar ibn Muhammad an-Nasafi dalam kitab Aqa`id menjelaskan secara ringkas“haqa’iqul asyya’ tsabitah, wal-ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan lis-sufistha’iyyah”.Ditegaskan bahwasanya hakikat, kuiditas atau esensi dari segala sesuatu itu tetap (dan oleh karena itu bisa ditangkap), tidak berubah (sebab yang  berubah-ubah itu hanya sifat-sifatnya, a’rad, lawahiq atau lawazim-nyasaja), sehingga ia bisa diketahui dengan jelas. Maka ilmu tentang kebenaran tidak mustahil untuk diketahui oleh manusia sebagaimana ditegaskan dalam   Al-Qur’an surah az-Zumar (39:9): “…. katakanlah: Apakah sama, orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?”[1]
            Jadi kuiditas atau esensi dari segala sesuatu itu tetap. Gula rasanya manis, garam rasanya pahit, manusia bisa dibedakan dengan monyet, meskipun monyet dipakaikan baju, ia akan tetap jadi monyet dan tidak akanpernah menjelma menjadi manusia. Seorang anak bernama agus, meskipun ia tumbuh menjadi remaja, dewasa dan tua dengan perubahan fisiknya ia tetap akan dikenal sebagai agus, tidak akan berubah menjadi slamet dan tidak akan dipanggil slamet, selama orang telah mengenalnya dan tidak mengubah namanya.
Berbeda dengan kaum relativis yang mengganggap kebenaran dari suatu objek itu tidak ada, sehingga selalu saja beralasan, meragukan, keras kepala dan tidak akan pernah mencapai kebenaran. Misal mengatakan “gula itu rasanya bisa saja manis atau pahit, tergantung orangnya, kalau ia sehat bisa manis, kalau ia sakit bisa jadi pahit”, “api itu rasanya bisa saja panas atau tidak, tergantung orangnya, kalau ia kebal tidak akan panas”.
Namun esensi atau hakikat segala sesuatu itu tetap dan tidak berubah. Semut yang tidak bisa berpikir sajatidak pernah salah untuk mengambil antara gula yang manis dengan garam. Api zaman dahulu dan zaman sekarang juga tetap sama dan tidak berubah, ia panas dan dapat membakar, jika kaum relativistidak yakin, bisa dibuktikan denganberdiri di atasnya selama beberapa jam saja. Presiden Indonesia yang pertama itu adalah seorang laki-laki, dan itu sudah diakui, namun orang relativis bisa saja mengatakan ia bisa jadi wanita atau banci. Wanita cantik atau kembar sekalipun, yang sering dikatakan relatif, sebenarnya dalam hakikat yang dapat dinilai seseorang, memiliki nilai lebih dan mutlak yang dapat dipilih.
Yang perlu digaris bawahi bahwa kebenaran mutlak sesungguhnya adalah dari Allah, manusia memiliki kebenaran atau kenyataan yang bersifat sementara, kecuali pada esensi diri dan ilmunya yang kelak akan diperhitungkan.Dalam kehidupan, ukurannya bukan dari hukum kausalitas atau sebab akibat yang dapat diindra secara fisik saja seperti api rasanya panas. Namun sebenarnya ada sunnatullah atau ada kehendak Allah di dalamnya yang menjadikan sesuatu itu berjalan atau bereaksi sebagaimana kita dapatkan pada umumnya. Allah bisa saja menjadikan api itu dingin, sebagaimana menjadikannya panas, seperti pada kisah nabi Ibrahim Alaihi sallam. Bisa menjadikan seseorang berjalan dengan wajahnya, sebagaimana menjadikannya dapat berjalan dengan kakinya, ketika dihari pembalasan, dan lainnya, agar seseorang tidak sombong dan dapat mengambil hikmah dibaliknya. Semua dapat berlaku jika Allah menghendaki dan memberikan izin padawaktu yang telah ditentukan.
Islam menetapkan bahwa manusia dapat mengetahui kebenaran adalah melalui tiga sumber yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal yang sehat (ta`aqqul), serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shadiq). [2] Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur`an. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS.an Nahl:78). “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS.al Isra:36). “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya serta menyaksikannya.”(QS.Qaf:37). “Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, serta mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengannya dapat mendengar? Memang sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi telah buta hati yang ada di dalam dada.” (QS.Al Imran:138). “Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Imran:138). “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dan Allah, dan kitab yang memberi penjelasan.”(QS.Al Ma`idah138). “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Qs.Al A`raf:179)
Panca Indera
Manusia memiliki lima kapasitas  dari pancaindra yang diberikan Allah kepadanya, yang mana merupakan saluran pertama manusia untuk mengetahui kebenaran atau fakta yang didapatkannya, yaitu daya penglihatan, pendengaran, daya sentuh, daya cium dan daya rasa.
Seseorang dapat meraba dan merasakan bentuk dan rasanya roti yang manis, sehingga ia yakin untuk memakannya. Pada daya melihat, kita dapatkan secara jelas warna, bentuk, jenis dan lainnya.Seandainya ada seorang anak yang buta sejak kecil, maka warna itu tidak wujud baginya, warna tidak ada dalam memorinya. Ia tidak bisa membuktikan ada warna hitam jika tidak mengetahui adanya warna putih, warna hijau, warna biru, dan sebagainya, kecuali dengan bersandar pada yang dapat melihat. Informasi tentang warna hanya bisa dijangkau dengan daya penglihatan, semisal buah apel meskipun disentuh, dibunyikan dan dicium tidak akan pernah menghasilkan warna hijau. Masing-masing pancaindera ini memberikan informasi atau konsep ilmu tersendiri. Yang hal itu bisa kita ambil sebagai kebenaran pada sumber realitas atau empiris.
            Namun sifat dari pancaindera itu sendiri terbatas, dan terkadang menghasilkan ilmu yang masih parsial. Untuk mengindera secara fisik saja kita tidak dapat menyimpulkannya dengan benar. Seseorang dapat merasakan adanya angin, namun tidak akan mampu melihat dan menggambarkan bagaimana rupanya. Bisa merasakan rasa manis, namun tidak bisa menunjukkandi mana letak manis tersebut.Sebagaimana jugadikisahkan oleh Imam Ghazali ketika seorang melihat bulan di langit pada kegelapan malam, ukuran bulan terlihat kecil, padahal sebenarnya bahwa bulan itu besar. Itulah beberapa keterbatasan panca indra.
Akal dan Hati
Akal yang normal merupakan saluran ilmu yang menjadi kapasitas manusia untuk dapat menilai, memilih, memilah, membandingkan, membedakan antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang betul dan keliru, dan lainnya.
Akal merupakan penyempurna dari kelemahan pancaindera. Akal dapat menalar danmenjadi alur pikir untuk menyimpulkan lebih luas. Sebagaimana telah disebutkan oleh Imam Ghazali, meski manusia ketika itu belum sampai ke bulan, namun bisa memberikan kesimpulan bahwa bulan itu besar, tidak seperti yang terlihat oleh mata bahwa bulan sebesar uang logam. Sama halnya ketika kita melihat rumah dari jarak jauh yang terlihat sebesar genggaman tangan, namun akal akan menafikkannya, dan dapat menyimpulkan bahwa rumah tersebut besar.
Orang-orang arab dahulu tahu, bahwa adanya kotoran unta, menandakan ada unta yang pernah atau lewat di tempat tersebut. Adanya kurma menandakan adanya pohon yang membuahkannya. Adanya asap yang keluar dari rumah, menandakan adanya api di dalam rumah tersebut.
Akal memiliki tiga kriteria, yaitu wajib, mustahil dan mungkin. Wajib bagi akal adalah sesuatu yang akal kita tidak bisa menolaknya dan harus menerimanya. Seperti seorang anak lebih muda dari bapaknya, keseluruhan lebih besar daripada sebagian. Jadi ada sesuatu yang akal tidak bisa menolak.
Yang mustahil bagi akal, atau akal tidak dapat menerimanya. Seperti seorang anak lebih tua dari bapaknya dan sebagian lebih besar daripada keseluruhan. Ini adalah yang mustahil bagi akal.
            Dan yang paling banyak adalah mungkin bagi akal. Seperti anak lebih besar dari bapaknya, istri lebih tua dari suaminya.
Dalam Islam kematangan akal ini menjadi salah satu syarat seseorang untuk dibebankan suatu kewajiban yaitu ketika baligh, sebab ia sudah mampu berpikir dan membandingkan dengan sempurna.
Islam mengakui sumber ilmu dari panca indera (empiris) dan akal (rasional), sebagaimana diadobsi dalam dunia akademik Barat saat ini. Namun sebenarnya tidak cukup dan terbatas pada dua hal itu, orang-orang yang hanya bersandar pada dua hal itu akan tergiring pada spekulasi atau praduga yang tidak ada puncaknya, sehingga kebenaran bagi mereka akan terus berkembang dan bisa berubah-ubah, tergantung dari perubahan dan kebutuhan waktunya, satu teori bisa diganti dengan teori lainnya. Karena Barat juga tidak mengakui wahyu dan hati sebagai sumber ilmu dan kebenaran, sehingga patokan utamanya hanya berdasarkan pada pancaindra dan akal saja yang membuat praduga dan keraguan-keraguan, serta kebingungan yang diangkat pada derajat “ilmiah”, bagi mereka wahyu dan hati itu hanya pengetahuan dan bukan ilmu.
Selain dengan akal, proses berpikir juga melibatkan hati, ia merupakan bagian tertinggi dalam diri yang dapat memikirkan dengan jernih dan sesuai dengan fitrah dan nurani.
Menurut Imam Ghazali hati juga memiliki entitas yang sama dan berkedudukan di hati. Qalb (hati) diibaratkan sebagai istananya, sedangkan `aql (akal) adalah rajanya. Keduanya memiliki fungsi kognisi (pengetahuan) dan afeksi (sikap) karena keduanya mampu melakukan aktivitas berpikir sekaligus merasa. [3]
Hati kecil atau hati nurani merupakan tempat untuk memikirkan lebih mendalam, dan penilaian hati itu akan kembali pada fitrah atau alamiah seseorang sebagai makhluk dan hamba Allah dalam kebaikan. Membunuh tanpa ada alasan itu adalah bentuk kejahatan. Menyakiti atau menzalimi seseorang merupakan perbuatan yang tidak disukai. Mencuri merupakan keburukan. Semua merupakan nilai lahir yang dimiliki manusia, selama hatinya tidak tertutupi oleh keingkaran dan kesesatan. Tidak ada seorang yang menerima dan meminta agar dirinya disakiti dan barangnya  dicuri, karena menganggap hal itu relatif.
Jika pancaindra hanya dapat menjangkau secara fisik, namun akal dan hati dapat memikirkan lebih luas dan mendalam lagi. Mengapa daun warnanya hijau? Karena ada klorofilnya yang membuat warna hijau. Tapi mengapa daun tersebut berwarna hijau dan tidak berwarna merah atau coklat saja? Mengapa alam semesta beredar pada garis edarnya dan tidak saling bertabrakan dan mendahului dengan lainnya? Mengapa matahari dibuat dengan begitu panasnya dengan jarak yang begitu jauhnya, padahal jika lebih sedikit saja didekatkan lagi akan dapat membakar bumi?  Mengapa bumi diciptakan dengan berbagai penunjangnya sehingga dapat menjadi tempat hidup manusia, tumbuhan dan hewan, sedangkan diplanet lain tidak? Mengapa tubuh manusia terbentuk sangat seimbangnya, antara DNA, sidik jari dan suara dari milyaran manusia tidak ada yang serupa? Berbagai pertanyaan mendasar pada diri itu akan mengiring manusia pada lahirnya yaitu kebutuhan dan keterbatasan terhadap sesuatu dalam jiwa dan pikirannya.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”(QS.Al Imran 190-191)
Pancaindra, akal dan hati sebenarnya dapat mengiring seseorang padakeyakinan tentang adanya Sang Pencipta, namun hal itu saja tidak akan cukup. Keyakinan akan adanya  sang pencipta, harus dibimbing pada ilmu yang benar, sehingga tidak menduga-duga bahwa Tuhan itu satu, dua, tiga atau ada puluhan. Tidak menduga-duga tentang wujud Tuhan, sehingga digambarkan seperti manusia, ada yang berbentuk setengah binatang, ada yang laki-laki dan wanita, semua berasal dari kreasi pemikiran dan hawa nafsunya manusia. Membuat hukum yang sesuai dengan keinginannya, dan tidak sadar mendiskriminasi yang lainnya. Atau juga menduga-duga dan menyebarkannya pada manusia bahwa manusia berasal dari kera, hanya dengan berdasar pada sejarah manusia secara fisiknya, yaitu tulang dan dagingnya, yang sebenarnya lebih pada “sejarah tulang manusia” bukan sejarah manusia. Padahal manusia memiliki memiliki “ruh” yang menjadi unsur esensi utama manusia. Seorang bergerak dan beraktivitas sesuai dengan dorongan ruh atau jiwanya, oleh karenanya seorang manusia yang tidak memiliki tangan atau kaki masih dikatakan sebagai manusia, sedang seorang yang memiliki organ lengkap tapi tidak memiliki ruh atau telah mati, sudah tidak dikatakan manusia.
Maka banyak hal yang dasarnya tidak harus bisa dijelaskan secara empiris, namum bisa diterima secara rasional. Bagaimana menjelaskan secara ilmiah seorang nabi Isa lahir dari seorang ibu tanpa ayah. Bagaimana mengetahui siapa manusia pertama yang hidup di dunia ini. Adanya hari akhir yang akan memperhitungkan manusia untuk dimasukkan ke surga atau neraka.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. Al `Alaq:1-5)
            Ayat tersebut menuntut manusia untuk membaca, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan indra dan akalnya. Namun ilmu dan kebenaran juga bisa diperoleh langsung dengan anugrah Allah langsung kepada manusia, sebagaimana pada para nabi atau wali Allah.
Seperti Nabi Ibrahim Alaihi sallam yang mencari Tuhannya. Ia melihat bintang dan berkata “Inilah Tuhanku” namun bintang itu terbenam dan ia berkata “Aku tidak suka kepada yang terbenam”. Ia melihat bulan yang terbit, namun bulan itu juga terbenam. Hingga melihat matahari yang lebih besar, namun matahari tersebut juga terbenam meninggalkannya, ia tidak dapat menerimanya dan berkata ”Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang tersesat.” Kemudian Allah memberikannya petunjuk atau ilmu hingga sampai pada kesimpulan “Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah temasuk orang-orang musyrik.”(QS.Al An`am:79)
            Maka Islam menetapkan sumber ketiga untuk manusia mencapai ilmu dan kebenaran yaitu melalui kabar yang benar (khabar shadiq).

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons