Sosok dan pemikiran wanita ini
memberikan inspirasi bagi majunya pendidikan Islam di Indonesia, bahkan dunia. Syaikh Abdurrahman Taj, Rektor
Universitas al Azhar Kairo Mesir, mengundangnya pada tahun 1957 dan memberikan
anugerah berupa gelar Syaikhah dari Universitas al Azhar. Berkat jasa dan keteladannya dalam mendirikan sekolah
Islam dan memajukan pendidikan kaum Muslimah di Indonesia, Universitas tertua
di dunia ini tidak segan dan memberikan penghargaan atas sumbangsih besarnya.
Sebelumnya pada tahun 1955, Syaikh Abdurrahman telah mengadakan kunjungan ke Indonesia, khususnya
ke sekolah yang didirikan oleh wanita ini di Padang Panjang, ia tertarik dengan
sistem pembelajaran khusus yang diterapkan kepada putri-putri Islam di
Indonesia. Ia banyak menimba pengalaman dari sekolah ini, sedangkan saat itu
al-Azhar belum memiliki lembaga pendidikan khusus bagi kaum
perempuan. Akhirnya tak lama setelah kunjungannya, Universitas Al Azhar membuka
pendidikan khusus perempuan yang bernama kulliyyât al-banât.
Gelar baru yang belum pernah diberikan
kepada siapa pun sebelumnya. Gelar yang setara dengan
gelar Syeikh Mahmoud Syalthout, salah seorang mantan Rektor al-Azhar. Syaikhah Rahma el Yunusiah adalah nama yang kini disandangnya.
Ia dikenal
sebagai pendiri perguruan untuk wanita Islam pertama di Indonesia yakni
Madrasah Diniyah Puteri (Madrasah Diniyah li al-Banat) di Padang
Panjang.[1]
Rahma el Yunusiah (1900-1969) merupakan seorang wanita yang terlahir di
Padang, Sumatera Barat. Dibesarkan dalam silsilah keluarga yang baik dan sangat
menjunjung tinggi pendidikan agama. Ia belajar Islam secara langsung kepada
ayahnya, kakaknya dan ulama-ulama di Sumatera, salah satunya ia rutin mengaji
di Surau Jembatan Besi, kepada Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka), Tuanku
Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padang-Panjang), Syaikh Muhammad Jamil Jambek,
Syaikh Abdul Latif Rasyidi, dan Syaikh Daud Rasyidi.
Jilbab
panjang nan lebar melebihi dada selalu dikenakan Rahma, padahal penampilan
demikian ketika itu mungkin masih tampak asing dan belum banyak dikenal, istri
tokoh-tokoh Islam ketika itu bahkan terlihat belum menggunakan jilbab yang
besar dan sempurna, namun sudah merupakan bentuk yang maju dan baik pada
kondisi saat itu.
“Kalau saya
tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus
mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan dituntut dari diri saya”, kata
Rahmah El Yunusiyah suatu hari bertekad, menunjukkan didikan dan penanaman
agama yang kuat pada dirinya.
Rahmah
nampak istimewa dan sempurna menginjak waktu mudanya. Cita-cita tingginya
untuk memajukan keilmuan kaumnya dan mengeluarkan mereka dari kebodohan begitu
bergelora. Bagi Rahma, perempuan memiliki peran yang penting dalam
kehidupan, utamanya dalam rumah tangga. Karena rumah tangga adalah bagian dari
tiang masyarakat dan masyarakat adalah tiang negara. Tentulah ia tidak mau,
kaumnya yang mempunyai peran penting dalam tiang negara dan pendidikan
anak-anaknya tertinggal dari laki-laki.
Sebagaimana tulis
Buya Hamka “Perempuan adalah tiang negara. Jika perempuannya baik, baiklah
negara, dan jika mereka rusak, rusak pulalah negara. Mereka adalah tiang, dan
biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun jika rumah condong,
periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk”
Rahmah
tampak gelisah ketika melihat perempuan di daerahnya belum mendapatkan
pendidikan yang sama seperti yang didapatkan laki-laki, terutama pendidikan
agama. Padahal Islam tidak pernah membatasi perempuan untuk menuntut ilmu, dan
kewajiban menuntut ilmu dibebankan kepada setiap laki-laki dan perempuan. Ia merasa resah mendapati kaumnya masih terjerat dengan kebodohan,
sedangkan sistem pendidikan yang berlaku di Padang Panjang kurang memberikan
akses pendidikan yang besar bagi kaum perempuan, di bawah adat dan tekanan
kolonialisasi Barat yang menguasai Nusantara saat itu. Rahmah kemudian sadar
dan tergugah bahwa hanya dengan pendidikan lah, ia bisa memajukan kaumnya dan
bisa mengeluarkan mereka dari kejumudan dan ketertinggalan.
Pada tanggal
01 November 1923, bersamaan dengan usianya yang hampir masuk ke 23 tahun, akhirnya
Rahmah dengan dukungan dari kakaknya, Zaenuddin Labay, seorang tokoh pembaru
pendidikan Islam di Sumatera, beserta teman-teman perempuannya di PMDS
(Persatuan Murid-murid Diniyyah School) memutuskan untuk mendirikan sekolah
khusus Perempuan yang dinamai Diniyah School Putri atau Madrasah Diniyah li
al-Banat yang bertempat di Masjid Pasar Usang.
Saat itu,
muridnya masih berjumlah 71 orang dan terdiri dari ibu-ibu muda, termasuk putri dari Teungku Panglima Polim dan Hajjah Rangkayo Rasuna
Said.
Mata pelajaran yang diajarkan di sekolahnya adalah fiqih, tafsir, tauhid,
hikmah tasyri, adab, nahwu, sharaf, ilmu bumi, ushul fiqih, sejarah Islam,
menulis arab, keputrian, pendidikan rumah tangga, bahasa Inggris, bahasa
Belanda dan sebagainya.
“Diniyah
School Puteri ini selalu akan mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan
kemajuannya kepada perempuan-perempuan yang selama ini susah mendapatkan
penerangan agama Islam dengan secukupnya daripada kaum Lelaki…, Inilah yang
menyebabkan terjauhnya penerangan perempuan Islam daripada penerangan agamanya
sehingga menjadikan kaum perempuan itu rendam karam ke dalam kejahilan” tutur
Rahma.
Melalui
tekad yang kuat dan kokoh, Rahma beserta teman-temannya mulai merintis dan
membagun sekolah ini. Sebuah jalan mulia yang terpatri dalam jiwa dan tujuan besar
mereka dalam mencerdaskan kaum Muslimah dan mencari keridhoan-Nya.
Tujuan mulia nan besar
dari pendidikan Diniyah puteri ini adalah,
“Membentuk puteri
yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta betanggung jawab
tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian Allah
subhanahu wata’ala”
Rahmah sendiri merupakan pribadi yang giat mencari ilmu. Selain belajar
agama kepada sejumlah ulama, ia juga mempelajari dan menekuni berbagai
ketrampilan yang mestinya dimiliki oleh kaum perempuan. Memasak, menenun, dan
menjahit merupakan keterampilan yang ia miliki. Ia juga berupaya menularkan
ketrampilan ini kepada kaum perempuan yang ada di sekitarnya. Bahkan Rahmah
kemudian mendirikan sebuah sekolah kejuruan yakni, sekolah tenun pada
tahun 1936. Untuk memenuhi tenaga pengajar perempuan, Rahmah mendirikan sebuah
sekolah guru untuk perempuan pada tahun 1937.
Masa hidup Rahmah El-Yunusiah dijalani dalam perjuangannya
mengentaskan kaum perempuan. Ia merupakan tokoh besar yang menggagas pendidikan
untuk kaum perempuan, sehingga perhatiannya terfokus pada sekolah khusus
perempuan yang didirikannya. Ia menyadari bahwa peran perempuan sangat besar
dalam melahirkan dan mendidik generasi muda Islam, yang kan membawa kemerdekaan
dan kepemimpinan pada setiap dekade nya.
Syaikhah Rahmah el Yunuisiah, dijuluki sebagai R.A
Kartini gerakan Islam atau Kartini perguruan Islam oleh masyarakat di Sumatera.
Meski demikian, Prof. Dr. Mansur Surya Negara, Pakar Sejarah Islam
Indonesia, tetap mengomentari secara
adil bahwa, Rahmah el Yunusiah jauh lebih maju dan memiliki kelebihan dari R.A Kartini
(1879-1296). Selain sebagai tokoh pendidikan Islam, yang gagasannya terwujud dalam
pendidikan Diniyah putri, lembaga pendidikan ini juga berkembang, membentuk perguruan tinggi dan telah
meluluskan ribuan Muslimah yang hebat. Ia juga dikenal sebagai pelopor
terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ADI (Anggota Daerah Ibu) hingga
menjadi TNI Batalyon Merapi. Rahma aktif dalam menentang berbagai kolonialisasi
yang terjadi pada masanya, seperti menuntut dan menentang pengerahan kaum perempuan Indonesia
terutama di Sumatera Tengah sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) tentara
Jepang, yang akhirnya berhasil mereka lakukan. Karena pembelaannya terhadap
Islam dan jiwa ksatriaan yang dimilikinya, pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan
menyebutnya sebagai Bundo Kanduang (Ibu Kandung) dari barisan perjuangan.
Rahmah El Yunusiyah juga pernah menjadi anggota
pergurus Serikat Kaum Ibu Sumatra (GKIS) Padang Panjang, organisasi yang itu
berjuang menegakkan harkat kaum wanita dengan menerbitkan majalah bulanan. Aktivitasnya yang lain adalah mendirikan Khuttub Khannah ( taman
bacaan) untuk masyarakat.
Rahmah akhirnya
wafat pada usianya yang hampir menginjak 69 tahun. Ia menghembuskan nafas
terakhirnya pada malam Idul Adha, tanggal 26 Februari 1969. Banyak pelajar
besar dan berharga yang sampai saat ini bisa kita dapatkan dari beliau, usaha
kerasnya dalam memuliakan dan mencerdaskan kaum perempuan, dengan keteladanan
menjadi seorang pendidik dan pejuang Islam serta bangsa, dibalik identitasnya
yang juga merupakan seorang ibu dan wanita. Kini oleh bangsa Indonesia ia
dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional.(Bambang Galih S)
0 komentar:
Post a Comment