Istilah adab telah
populer digunakan dalam tradisi keilmuan Islam, untuk memberikan penjelasan
mengenai akhlak atau tata perbuatan serta sastra. Pembahasan mengenai adab juga
telah menjadi perhatian serta tema besar yang biasa ditulis dalam satu
kitab-kitab tersendiri oleh para ulama.
Imam
al Bukhari (194-256) misalnya menulis tentang Adab al-Mufrad, Ibnu Sahnun
(202-256 H) menulis Risalah Adab al-Mua`llimin, al-Rummani (w. 384 H) menulis
tentang adab al-Jadal, al Qabisi (324-403 H) menulis tentang Risalah
al-Mufashilah li Ahwal al-Muta`allimin wa Ahkam al-Mu`allimin wa Muta`allimin,
al-Mawardi (w. 450 H) menulis tentang adab al-Dunya wa al-Din dan Adab
al-Wazir, al-Khatib al-Baghdadi (w. 463
H) menulis tentang al-Faqih wa al-Mutafaqih, al-Ghazali (450-505 H) menulis
kitab Al-Ilm, Fatihah al-Ulum dalam Ihya Ulum al-Din, al-Sam`ani (506-562 H)
menulis Adab al-Imla` wa al-Istimla`, Nashir al-Din al-Thusi (597-672 H)
menulis Kitab Adab al-Muta`allimin, al-Zarnuji (penghujung adab ke-6 H) telah
menulis Ta`lim al-Muta`allimin, Muhyiddin al-Nawawi (w. 676 H) menulis tentang
Adab al-Daris wa al-Mudarris, Ibn Jama`ah (w. 733 H) menulis Tadzkirah al-Sami`
wa al-Mutakallim fii Adab al-A`lim wa al-Muta`allim, al-Syirazi (w. 756 H)
menulis tentang Adab al-Bahs, Abd Lathif al-Maqdisi (w. 856 H) menulis tentang
Syifa` al-Muta`allim Fii Adab al-Muta`allimin, al-Marsifi (w. 981 H) menulis
tentang Ahsan al-Titlab Fiima Yalzam al-Syaikh wa al-Mudarris Min al-Adab, Ibn
Hajar al-Haysami (w. 974 H) menulis Tahrir al-Maqal fii Adab wa Ahkam wa
Fawa`id Yahtaj Ilaiha Mua`ddib al-Athfal, al-Almawi (w. 981 H) menulis al-Mu`id
fii Ada al-Mufid wa al-Mustafid, Badr al-Din al-Ghazzi (w. 984 H) menulis
tentang al-Dur al-Nadid fii Adab al-Munadzarah, Taj al-Din ibn Zakariyya
al-Utsmani (w. 1050) menulis tentang Adab al-Muridin, al-Syaukani (1173-1250 H)
menulis Adab al-Thalab, dan lainnya.[1]
Dari
kajian para ulama tersebut disimpulkan bahwa adab memiliki peran sentral,
khususnya dalam dunia pendidikan. Tanpa adab, dunia pendidikan berjalan tanpa
ruh dan makna. Lebih dari itu, salah satu penyebab utama hilangnya keberkahan
dalam dunia pendidikan adalah kurangnya perhatian penuntut ilmu atau juga
pendidik dalam masalah adab. Az Zarjuni mengatakan, “Banyak dari para pencari ilmu yang sebenarnya mereka sudah
bersungguh-sungguh menuntut ilmu, namun mereka tidak merasakan nikmatnya ilmu,
hal ini disebabkan mereka meninggalkan atau kurang memerhatikan adab dalam
menuntut ilmu.”[2]
Konsepsi
dan bentuk-bentuk adab memang telah banyak disinggung oleh ulama atau
tokoh-tokoh Islam sejak dahulu, baik mengenai sikap dan sastra. Kemudian secara
lebih ilmiah dan komplek dibahas atau digali kembali oleh seorang intelektual
Islam kontemporer, yaitu Syed Muhammad Naquib al Attas.[3]
Bagi beliau adab merupakan sebuah istilah yang memiliki makna mendasar terhadap
pandangan dan sikap hidup Islam yang benar, serta akar dari permasalahan besar
yang melanda umat Islam saat ini, yang beliau sebut sebagai “Loss of Adab” atau
hilangnya adab.
Al
Attas terbilang yang paling mencolok dan lebih sistematis memberikan penjelasan
mengenai konsep adab dalam buku-bukunya, sebagaimana dalam bukunya Risalah
untuk Kaum Muslimin, yang secara filosofis ia sebutkan:
Adab itu pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan
sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat
dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.[4]
Al
attas menjelaskan bahwa adab merupakan pengenalan serta pengakuan hak sesuatu
sesuai dengan kedudukannya yang tepat. Pengenalan adalah pengetahuan tentang
sesuatu hingga pada taraf hakikat, yang menunjukkan kedudukannya. Pengertian
“mengenal” tidak sama dengan “mengetahui”, mengenal itu merupakan pengetahuan
yang lebih detail dan memberikan pemahaman yang lebih kompleks. Seorang bisa
tahu tentang salah seorang ulama besar Indonesia, yaitu KH. Hasyim Asyari, tapi
ia belum tentu mengenalnya. Ia sebatas mengetahui bahwa KH. Hasyim Asyari
adalah pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Timur.
Namun ia belum tentu mengetahui dengan lebih kompleks atau dalam arti
“mengenal” KH. Hasyim Asyari, tentang perkara yang merujuk pada hakikatnya,
seperti bagaimana latar belakang hidup KH. Hasyrim Asyari, karya-karya yang
memuat jalan pemikirannya, kepribadiannya dalam memimpin keluarga, organisasi
dan pesantrennya, hubungannya dengan ulama-ulama dahulu, serta mendapatkan
keterangan atau pandangan langsung oleh keturunan-keturunannya saat ini tentang
beliau. Sehingga didapatkan pengetahuan yang lebih mendalam dan mengarah pada
keyakinan, bahwa KH. Hasyim Asyari adalah seorang yang benar-benar dikenal
besar memiliki peran dan pengaruh dalam memberikan kesadaran dan membela
kemajuan umat Islam di Indonesia.
“Pengenalan”
yang dimaksud oleh al Attas adalah kesadaran manusia untuk kembali mengetahui
perjanjiannya kepada Tuhannya, yang dimana manusia dan setiap materi pada
tabiat atau asalnya telah memiliki
tempatnya masing-masing dalam hirarki wujud. Adapun “pengakuan” yang
dimaksudkan adalah memperlakukan sesuatu sesuai dengan tempatnya masing-masing
berdasarkan tingkatan wujud. Pengenalan didapatkan melalui ilmu, sedangkan
pengakuan dilakukan melalui amal. Melalui ilmu, manusia dapat mengenal sesuatu
sesuai dengan hakikat dan tingkatannya. Ketika sesuatu telah dikenal hakikat
dan tingkatannya, maka ia akan dapat menempatkan dan memperlakukan sesuatu
sesuai dengan kedudukannya yang benar dalam susunan berperingkat martabat,
dalam arti dikenal kemudian diakui. Melalui hal ini kemudian keadilan dapat
ditegakkan, ketika makna adab dipahami dan diterapkan. Di sini kemudian
pentingnya ilmu yang dibimbing oleh hikmat didapatkan oleh manusia, sehingga ia
dapat mengenal. Sebagaimana dijelaskan oleh al Attas pada tahun 1970-an dalam
bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin:
Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat, yang
memberitahu atau memperkenalkan sehingga ketara tentang hak yang mensifatkan
sesuatu atau seseorang itu; dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di
manakah atau bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya.[5]
Menurut
al Attas, semua ilmu pengetahuan
datang dari Allah Swt, dan ia menerima klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah
diberikan oleh para filosof, pakar dan orang bijak, khususnya para sufi. Ilmu dikategoriasasikan
oleh al Attas menjadi dua bagian, sebagai bentuk keadilan dalam menempatkan
ilmu pengetahuan sebagai objek, dan manusia sebagai subjek, yaitu ilmu
pengenalan atau iluminasi dan ilmu pengetahuan atau sains. Ilmu pengenalan
hanya terjadi pada makhluk hidup, yang melibatkan interaksi batin yang kuat
untuk dapat mengakui dan mengenal sesuatu itu dengan cara yang tepat secara
personalitas dan tingkat yang ingin diketahuinya.[6]
Ilmu pengenalan merupakan makanan bagi jiwa manusia.
Pada konteks Nabi Muhammad Saw, ilmu ini diberikan Allah Swt secara langsung
kepada beliau dalam bentuk al-Qur`an, yang kemudian dipahami dan diamalkan
sebagai Sunnah. Dalam perspektif hukum, al-Qur`an dan Sunnah ini disebut dengan
syariat, sedangkan dalam perspektif spiritual disebut dengan ilmu laduni atau
hikmah. Ilmu hikmah diberikan Allah Swt kepada manusia melalui kasyaf atau intuisi (ilham) dan
pengalaman spiritual yang memungkinkan pemiliknya mengetahui batas kegunaan dan
batasan makna yang terdapat dalam berbagai persoalan dan ilmu pengetahuan yang
ditekuninya, yang memungkinkannya bertindak dengan adil. Pengetahuan tentang
Allah Swt adalah keutamaan religius yang juga berasal dari hikmah. Al Attas di
lain tempat juga menyebutkan bahwa hikmah bisa didapatkan dalam kombinasi dua
jenis ilmu, yaitu ilmu pengenalan dan sains. [7]
Sebab keduanya bisa menjadi perantara datangnya hikmah, sebagaimana misalnya
bisa kita temukan, bagaimana seorang ilmuan yang melakukan ketekunan keilmuan
dan penemuan, bisa mendapatkan pengenalan saat hatinya terbuka dan tersibak
mendapatkan fenomena dalam penelitiannya tentang manusia dan alam yang
menunjukkan akan adanya suatu kebesaran di luar dirinya. Terlebih kepada
orang-orang yang sejak awal bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri dan memikirkan
akan kebesaran Allah.
Hikmah merupakan ilmu untuk mengetahui tempat atau
kedudukan sesuatu dengan tepat dan benar, yang memberikan timbangan keadilan
yang terpancar dan terdisiplin pada setiap tingkatan, mulanya dalam diri
manusia sendiri. Hikmah tidak didapatkan dan diberikan oleh sembarang orang,
namun diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah untuk diberikan
hikmah, yang merupakan bagian dari kebaikan besar. Didefinisikan oleh al Attas
apa yang dimaksud dengan hikmah:
Hikmah adalah ilmu yang memberitahu nazar akali diri
yang mendapat tahu di mana letaknya tempat yang wajar, yang tepat menyelarasi
sifat sesuatu, bagi tiap sesuatu –termasuk diri yang mengetahui itu sendiri.
Dan dari itu maka hikmah itu adalah pancaran keadilan.[8]
Ilmu untuk mengetahui kedudukan sesuatu dengan tepat
adalah hikmah, sedangkan perbuatan yang dibimbing oleh hikmah, atau perlakuan
yang menyesuaikan dengan tempat yang benar itu, disebut sebagai adab. Apabila
manusia telah mendapatkan hikmah dan melakukan perbuatan beradab, maka hasilnya
adalah keadilan pada diri dan lingkungan luar dirinya, yang memberikan sebuah
pandangan dan sikap yang meletakkan sesuatu pada tempatnya secara harmonis.
Jadi keadilan adalah keadaan di mana adab diterapkan, dan seseorang yang di
dalam dirinya tersimpan adab mencerminkan kebijaksanaan:
Jadi adab itu perolehan diri akan keadaan atau
kedudukan yang betul dan benar yang tiada dapat tiada sesuai dengan keperluan
ilmu dan hikmat dan keadilan, serta perbuatan diri terhadap keadaan atau
kedudukan yang betul dan benar itu menurut letaknya dalam rencana susunan
berperingkat martabat dan darjat yang mencarakan tabiat semesta.[9]
Pengenalan dan pengakuan yang
menjadi landasan manusia beradab, dibentuk berdasarkan pada pandangan hidup
Islam (Worldview of Islam), yakni
bagaimana manusia memandang hirarki wujud sesuai dengan tempat dan
ketinggiannya, yang disalurkan melalui pendidikan yang berbasis nilai atau
syariat Islam. Hal ini pula yang menjadi menjadi prinsip dan timbangan hidup
Muslim dalam menyikapi dan memandang segala sesuatu. Menjadikan seseorang dapat
menempatkan diri dan berbuat adil, kapan, di mana serta bagaimana memperlakukan
sesuatu sesuai dengan kadar yang tepat. Dan sebab itulah, para ulama menekankan
pentingnya bersungguh-sungguh dalam mencari adab, karena untuk meraihnya pun
tidak mudah, memerlukan ilmu dan hikmah dari Allah Swt. Anas radhiallahu
`anhu meriwayatkan bahwa Rasululullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Akrimuu auladakum, wa ahsinuu adabahum”,
kata Rasulullah “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka”. (HR.
Ibnu Majah)
Pandangan hidup merupakan asas bagi setiap
aktivitas, terutama aktivitas ilmu. Maka, setiap kegiatan pendidikan Islam
wajib memiliki landasan Islamic Worldview.
Pandangan hidup Islam adalah pemahaman seorang Muslim terhadap konsep-konsep
kunci dalam Islam, seperti konsep tentang Tuhan, wahyu, nabi, manusia, jiwa,
alam, ilmu dan lain-lain.[10]
Melalui pemahaman yang menyeluruh dan benar terhadap konsep-konsep kunci dalam
Islam, akan menjadikan rangkaian komponen ilmu yang terhubung untuk meneropong
realitas dan segala hal secara holistik dan fundamental. Pandangan hidup Islam
ini seperti sebuah perpustakaan besar yang setiap waktunya menyediakan dan
memberikan kita jawaban dan timbangan dari setiap lembar materi dalam bertumpuk
buku-bukunya, untuk kita menentukan pilihan dari realitas dan rasionalitas yang
kita dapatkan.
Menurut al-Attas, jika adab diterapkan, maka akan
tercipta kondisi “keadilan”. Maka adil adalah kondisi dimana adab diterapkan,
dimana segala sesuatu diletakkan pada tempatnya yang sesuai dengan ketentuan
Allah. Sedangkan lawan dari adil, adalah zalim. Yang mana al-Qur`an
menjelaskan, bahwa manusia pun bisa melakukan kezaliman pada dirinya sendiri.
Tidak sebagaimana yang dimiliki dalam konsep adil dalam peradaban Barat dan
Yunano kuno, bahwa adil hanya mencakup pengertian hubungan antara dua orang
atau lebih. Tetapi dalam Islam, adil pertama kali harus diterapkan pada diri
sendiri. Sebagaimana dalam al-Qur`an Surat al-A`raf:172, bahwa di alam ruh,
manusia telah melakukan persaksian kepada Tuhannya, namun kemudian perjanjian
itu ada yang tidak dipenuhi, karena ia mengangkat Tuhan selain Allah atau
membuat tandingan-tandingan bagi Allah, sehingga ia termasuk zalim kepada
dirinya sendiri.[11]
Sebab adab itu berdasarkan pada ilmu, dan ilmu
ditanamkan melalui pendidikan. Al-Attas kemudian merumuskan dan menerapkan
konsep adab melalui pendidikan Islam yang dikenal dengan istilah ta`dib. Pendidikan adab inilah yang
menurut al-Attas lebih tepat untuk mendefinisikan pendidikan Islam dan menjadi
mega proyek dalam menghasilkan manusia yang beradab. Konsep ta`dib adalah konsep yang paling tepat
untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah
ataupun ta`lim. Beliau mengatakan,
“Struktur konsep ta`dib sudah
mencakup unsur-unsur ilmu (`ilm),
instruksi (ta`lim), dan pembinaan
yang baik (tarbiyah), sehingga tidak
perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat
dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta`lim-ta`dib. Walaupun al-Qur`an tidak memakai istilah adab ataupun
istilah lain yang memiliki akar kata yang sama dengannya, perkataan adab itu
sendiri cabang-cabangnya disebutkan dalam ucapan-ucapan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Sahabat radhiallahu `anhum, kemudian dalam puisi ataupun karya sarjana-sarja
Muslim setelah mereka.[12]
Pendidikan itu penyerapan adab ke dalam diri manusia
dan adab mendidik keseluruhan aspek diri manusia. Adab
ditanamkan pada pendidikan yang berbasis syariat, sebab adab yang paling
sempurna telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkandung dalam
nilai-nilai Islam. `Aisyah radhiallahu `anha menyebutkan bahwa akhlak
Rasulullah adalah al-Qur`an, dan Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri bersabda, bahwa ia diutus untuk memperbaiki
akhlak, dan ia sendiri pun dididik secara langsung oleh Allah. Dalam hadist
yang diriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, Rasulullah Saw bersabda: “Addabani Rabbi fa ahsana ta`dibi” (HR.
Al-Sam`ani) “Tuhan telah mendidikku dan
menjadikan pendidikanku sebaik-baik pendidikan”.
Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan ta`lim yang
selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap mengenai pendidikan Islam.
Beliau menolak istilah tarbiyah sebab
istilah ini hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan
perkembangan binatang dan manusia. Ibnu Miskawaih misalnya, memakai istilah ta`dib untuk menunjukkan pendidian
intelektual, spiritual, dan sosial, baik bagi anak muda maupun orang dewasa,
sedangkan tarbiyah dipakainya untuk
mengajari binatang, baik yang dilakukan oleh manusia, maupun sesama binatang.
Oleh karena itu, tarbiyah hanya
berkaitan dengan pengembangan fisikal dan emosional manusia. Itulah sebabnya.
Fir`aun dalam al-Qur`an (Al-Qashash [28]: 18) mengatakan bahwa dirinya telah
melaksanakan tarbiyah kepada Nabi
Musa. Demikian juga anggapan bahwa ta`lim
secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif. Al-Farabi
mendefinisikan ta`dib sebagai
aktivitas yang bertujuan memproduksi suatu karakter yang bersumber dari sikap
moral. Ta`dib berbeda dengan ta`lim (pengajaran) walaupun telah
mencakup di dalamnya. Makna kedua istilah, ta`lim
dan tarbiyah, telah mencakup di dalam
makna ta`dib. Sehingga dari perbedaan
makna yang sangat halus ini, sebagian pihak membedakan `ilm dan ta`lim atau
sinonimnya daripada adab dan ta`dib.[13]
Pengambilan konsep ta`dib al Attas sendiri adalah berasal tradisi ilmiah bahasa Arab,
yang mana di dalamnya telah mengandung tiga unsur, yakni pengembangan ilmiah,
ilmu dan amal. Iman adalah pengakuan yang realisasinya harus berdasarkan ilmu.
Iman tanpa ilmu adalah bidih, Sebaliknya, ilm harus dilandasi iman. Ilmu tanpa
iman adalah kesombongan. Dan akhirnya iman dan ilmu diharapkan mampu membentuk
amal. Kalau tidak diwujudkan dalam bentuk amal, lemahlah iman dan ilmu itu.
Ibarat pohon yang tak berbuah, niscaya ditinggalkan orang, karena kurang
bermanfaat.[14]
Pentingnya makna adab yang berkaitan dengan
pendidikan bagi manusia baik atau shaleh (a
good man) harus ditekankan ketika disadari bahwa pengenalan (yang
melibatkan ilmu) dan pengakuan (yang meliputi tindakan) terhadap tempat yang
tepat, terkait dengan istilah kunci (key
terms) lainnya dalam pandangan alam Islam (Islamic worldview), seperti kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (`adl),
realitas serta kebenaran (haqq).
Realitas dan kebenaran (haqq)
tersebut kemudian didefinisikan, baik secara korespondensi dan koherensi,
sebagai tempat yang tepat dan benar bagi segala sesuatu.[15]Wan
Mohd Nor Wan Daud[16]
menyimpulkan pengertian adab menurut al-Attas sebagai berikut:
1.
Suatu
tindakan untuk mendisiplinkan jiwa.
2.
Pencarian
kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik.
3.
Perilaku
yang benar dan sesuai yang berlawanan dengan perilaku salah dan buruk.
4.
Ilmu
yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam mengambil keputusan yang
sesuatu yang tidak terpuji.
5.
Pengenalan
dan pengakuan kedudukan (sesuatu) secara benar dan tepat.
6.
Sebuah
metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan sesuatu secara benar dan
tepat.
Realisasi keadilan direfleksikan oleh hikmah.
Pendidikan yang dimaksudkan al-Attas berbeda dengan pengajaran dan pelatihan.
Pembedaan antara pendidikan dan pelatihan juga telah dilakukan oleh banyak
pakar pendidikan dari Barat. Al-Attas menganggap bahwa masih banyak kelompok
yang tidak mengetahui perbedaan mendasar antara pendidikan dan pelatihan, sebab
mereka secara sadar atau tidak, telah menghilangkan batas-batas ontologis
antara manusia dan hewan, suatu kondisi yang berlawanan secara diametral dengan
pandangan hidup Islam.[17]
Kata ta`dib
adalah mashdar dari addaba yang secara konsisten bermakna
mendidik. Berkenaan dengan hal itu, seorang guru yang mengajarkan akhlak dan
kepribadian disebut mu`addib. [18]
Para ulama dahulu juga menggunakan istilah adab
dalam kajian yang menyangkut bahasa dan sastra, yang sarat dengan kehalusan,
keindahan dan kefasihan, sehingga seorang sastrawan disebut adib. [19]
Jurjani juga meletakkan adab sebagai sesuatu yang setara dengan ma`rifah- yaitu sejenis ilmu khusus
dalam konteks ilmu pengetahuan- yang mencegah orang memilikinya dari terjerumus
ke dalam berbagai bentuk kesalahan.[20] Addaba
memiliki makna dan derivasi yang saling berhubungan dengan mu`addib, adab, ta`dib dan adib. Yakni
seorang pendidik yang mendidik akhlak dan kesopanan (mu`addib), serta mengajarkan ilmu yang mengarahkan pada pengenalan
(ma`rifah) agar terhindar dari
berbagai kesalahan, dengan estetika. Seperti sebuah seni dalam mendidik, untuk
menghasilkan sebuah karya didik yang indah dan halus serta memiliki arti.
Menurut Ibnul Qayyim, kata adab berasal dari kata ma`dubah, yang berarti “jamuan atau
undangan”, dengan kata kerja “adaba-ya`dibu”
yang berarti “menjamu atau menghidangkan makanan. Kata adab dalam tradisi Arab
kuno merupakan simbol kedermawanan, di mana al-Adib
(pemilik hidangan) mengundang banyak orang untuk duduk bersama menyantap
hidangan di rumahnya.[21]
Al-Attas juga mengambil landasan filosofi yang sama
dan memberikan gambaran sederhana tentang adab. Adab pada asalnya adalah undangan
kepada suatu jamuan, dimana tuan rumahnya adalah seorang yang mulia dan
terhormat, sehingga banyak orang budiman dan terhormat yang hadir, yang
diharapkan berperilaku sesuai dengan kedudukan mereka, dalam percakapan dan
tingkah laku, serta menerima dan menikmati hidangan bersama tamu-tamu yang
serupa dengan tatacara dan perilaku yang berbudi juga. Mengutip hadist yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas`ud r.a “Sesungguhnya
kitab suci al-Quran ini adalah jamuan Allah di bumi, maka lalu belajarlah
dengan sepenuhnya dari jamuan-Nya.”, dan merujuk pada kitab Lisan al-`Arab
ketika menjelaskan makna hadist tersebut, bahwa kitab suci al-Qur`an adalah
undangan Allah ke suatu jamuan spiritual di bumi dan kita dinasehati untuk
mengambil bagian dengan cara mengambil ilmu sejati darinya, yang dari ilmu yang
benar ini manusia dapat “mengecap rasanya yang sejati”. Sebab ilmu adalah
hidangan untuk memberikan kehidupan dan kedisiplinan pada fikiran dan jiwa.[22]
Berdasarkan filosofi konsep pendidikan adab yang
lebih menekankan pengembangan individu, tetapi juga tidak memisahkan secara
sosial dalam hal cara dan konteks pelaksanaannya, al-Attas menentukan tujuan
pendidikan dalam Islam, yaitu:
“Tujuan mencari ilmu dalam Islam adalah untuk
menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri
pribadi. Oleh karena itu tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan
manusia yang baik. Apa yang dimaksud dengan `baik` dalam konsep kita tentang
`manusia baik`? Unsur asasi yang terkandung dalam konsep pendidikan Islam
adalah penanaman adab, karena adab dalam pengertian yang luas di sini
dimaksudkan meliputi kehidupan spiritual dan material manusia yang menumbuhkan
sifat kebaikan yang dicarinya.”[23]
Tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan manusia
yang baik atau beradab. Manusia yang beradab (insan adabi) adalah individu yang
memiliki kesadaran penuh tentang dirinya dan hubungan dirinya dengan Sang
Pencipta, masyarakat serta segala makhluk ciptaan Allah baik yang kasat mata
maupun tidak. Oleh sebab itu menurut Islam, individu atau manusia yang baik
haruslah juga merupakan hamba Allah yang baik, ayah yang baik, suami yang baik,
anak yang baik, tetangga yang baik, serta menjadi warga negara yang baik. Dalam
bahasa Melayu, civilization memiliki
dua arti, yaitu tamadun dan peradaban. Kata peradaban menunjukkan
pada kontribusi komprensif dan lintas-generasi dari manusia-manusia beradab,
baik laki-laki maupun perempuan.[24] Ketika setiap tingkatan kehidupan telah baik, maka
akan menghasilkan jaringan dan pengaruh hubungan yang baik dalam tujuan
pembentukan manusia yang sempurna, serta berdampak langsung pada kebaikan dan
kemajuan negara.
Masyarakat beradab, adalah masyarakat beriman yang
memahami din dengan baik dan benar.
Yang menarik di sini adalah korelasi antara kata beradab dan ber-din dengan benar. Al-Attas menganalisa,
bahwa din berasal dari kata da ya na yang berarti berhutang.
Derivasi kata itu adalah daynun
(kewajiban), daynunah (hukuman), idanah (keyakinan). Islam sebagai sebuah
din mengandung makna dari derivasi kata-kata tersebut. Yakni, berislam adalah
kewujudan manusia yang berhutang kepada Rabb-nya, sehingga ia memiliki
kewajiban dan penyerahan diri untuk mengikuti aturan dari Rabb-Nya. Selain itu
kata-kata tersebut juga berkaitan dengan kata madinah (kota), yakni kota yang berisi manusia-manusia beragama
dengan baik. Dari kata ini juga lahir istilah tamaddun yang diartikan sebagai peradaban. Disinilah kata beradab
bertemu dengan kata din dan akar kata
lainnya. Sehingga bisa dikatakan orang beradab adalah orang yang ber-din, melaksanakan syari`ah, menempati
jiwa fitrahnya sebagai jiwa yang bertauhid atau beriman kepada Allah.[25]
Harkat dan martabat manusia serta setiap wujud yang
ada, juga diukur dengan seberapa besar tingkat adab dan kedudukannya dalam
timbangan syariat. Manusia yang beradab merupakan manusia yang memiliki
kewibawaan yang berasas pada ilmu dan amal, pada pengalaman akali dan ruhani
ditingkat ihsan. Seorang yang beradab memiliki kedisiplinan jiwa, akal, hati
dan fisik, yang terjewantahkan pada setiap pemikiran, perkataan dan
perbuatannya. KH. Hasyim Asyari menyebutkan bahwa adab berkonsekuensi kepada
ketauhidan, keimanan dan ketaatan pada syariat, dalam kitabnya Adabul Alim wal-Muta`allim:
“at-Tawhidu
yujibul imana, faman la imana lahu la tawhida lahu; wal-imanu yujibu
al-syari`ata, faman la syari`ata lahu, la imana lahu wa la tawhida lahu; wa
al-syari`atu yujibu al-adaba, , faman la adaba lahu, la syari`ata lahu wa la
imana lahu wa la tawhida lahu.” Tauhid
mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid;
dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya,
maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya
adab; maka barangsiapa yang tidak beradab, maka tidak ada syariat, tiada iman,
dan tiada tauhid padanya.[26]
Pada kitab Adabul Alim wal-Muta`allim, KH. Hasyim Asy`ari juga mengutip
pendapat-pendapat tentang adab dari para ulama sebelumnya. Dikutip nasehat
indah dari Habib Ibnu Syahid kepada anaknya: “Ashhibil fuqaha, wa-ta`allam minhum adabahum, fa-inna dzalika ahabbu
ilayya min-kastirin minal- hadist” (Wahai anakku, bergaullah dengan ahli
ilmu, pelajarilah adabnya! Sungguh hal itu lebih aku sukai daripada
banyak-banyak ilmu) Ibnu Mubarak juga berkata: “Nahnu ila qalilin minal-adabi ahwaja minna ila katsirin minal `ilmi”
(Kami lebih memerlukan adab walaupun sedikit, dibandingkan ilmu meskipun
banyak). Hasan al-Bashri menyatakan: “In
kana al-rajulu la-yakhruja fi adabi nafsihi al sinina tsumma sinina”
(Hendaknya seseorang terus-menerus mendidiknya dari tahun ke tahun). Ruwaim
juga pernah menasehati putranya: “Ya
bunayya ij`al `ilmaka milhan wa adabaka daqiiqan” (Wahai putraku,
jadikanlah ilmumu seperti garm dan adabmu sebagai tepung). Imam asy-Syafii
rahimahullah ketika ditanya bagaimana mencari adab, ia menjawab “Thalabul mar`ati al-mudlillati waladaha,
wa-laysa laha ghairahu” (Seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya
yang hilang).[27]
Lingkup adab berlaku pada diri sendiri yang terdiri
dari fisik dan ruh, kemudian alam realitas tempat manusia hidup bersama
berbagai macam makhluk dan lingkungan, alam tempat ia mendapatkan ilmu serta
alam ruh tempat seorang hadir dan akan kembalinya kehidupan manusia. Adab
adalah suatu perbuatan yang berdasarkan pada ilmu dan hikmat yang harus
diamalkan pada setiap elemen dan ekosistem hidup yang dihadapi manusia.
Lengkapnya diuraikan oleh al-Attas:
Ta`rif adab yang dikemukan di sini dan
yang lahir dari pengertian Islam, dengan sendirinya menjelaskan bukan sahaja
harus dia itu ditujukan maksud pengenaannya pada bangsa insani belaka; bahkan
dia juga harus dikenakan pada keseluruhan alam tabi`i dan alam ruhani dan ilmi.
Sebab, adab itu sesungguhnya suatu kelakuan
yang harus diamalkan atau dilakukan
terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu
bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan
makhluk jelata, yang merupakan ma`lumat bagi ilmu. Tiap sesuatu atau seseorang
memiliki hak yang meletakkan pada keadaan atau kedudukan yang sesuai bagi
keperluannya. Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat, yang memberitahu
atau memperkenalkan sehingga ketara tentang hak yang mensifatkan sesuatu atau
seseorang itu; dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di manakah atau
bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya.[28]
Al-Attas juga memberikan keterangan rinci, tentang
adab yang mesti diamalkan dalam beberapa lingkup derajat mahluk dan ilmu, dan
setiap bagian hidup, menurut al-Attas memiliki tempat yang mesti didekati
dengan adab:
Apabila faham adab itu dirujukkan kepada
sesama insan, maka dia bermaksud pada kesusilaan akhlakiah yang mencarakan
kewajiban diri berperangai mengikut keperluan haknya dalam susunan berperingkat
darjat yang terencana, umpamanya, dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam
berbagai corak pergaulan kehidupan. Apabila dia dirujukkan pada alam ilmi pula,
maka dia bermaksud pada ketertiban budi menyesuaikan haknya pada rencana
susunan berperingkat martabat yang mensifatkan ilmu; umpamanya pengenalan serta
pengakuan akan ilmu bahwa dia itu tersusun taraf keluhuran serta keutamaannya,
dari yang bersumber pada wahyu ke yang berpuncak pada perolehan dan perolahan
akal; dari yang fardu ain ke yang fardu kifayah; dari yang merupakan hidayah
bagi kehidupan ke yang merupakan kegunaan amali baginya. Dan adab terhadap ilmu
itu yaitu mengenali serta mengakui taraf keluhuran serta keutamaan yang
terencana pada ilmu, niscaya dapat menghasilkan dalam diri pencapaian yang
seksama terhadap meramukan, menurut taraf keperluannya, berbagai macam ilmu
yang membina keadilan dalam diri. Dan keadilan dalam diri itu menyesuaikan
haknya pada kewajiban membimbingnya ke arah pengenalan serta pengakuan akan
ilmu yang bersumberkan wahyu, yang menyesuai hak diri jua, dan yang dengannya
dapat menjelmakan akibat amali dalam diri sehingga menyelamatkannya
dunia-akhirat. Apabila dirujukkan pada alam tabii, maka adab itu bermaksud pada
ketertiban akal amali menyesuaikan haknya pada rencana susunan berperingkat
yang mencarakan tabiat raya, sehingga dapat dia melakukan pertimbangan yang
saksama terhadap meletakkan nilai serta kegunaan tiap sesuatu pada hakikatnya
masing-masing,niscaya terhasil olehnya tindakan yang adil terhadap mengawalnya.
Tindakan yang adil terhadapnya itu iaitu menilai serta menggunakannya menurut
maksudnya terencana dalam susunan berperingkat sebagai Tanda Ilahi, sebagai
bahan ilmu, sebagai bahan kehidupan,
yang membawa manfaat besar bagi insan zahir dan batin. Apabila dia dirujukkan
pada alam ruhani, maka adab bermaksud pada pengenalan serta pengakuan akan
berbagai makam keruhanian yang menandakan taraf keutamaan terhadap pencapaian
amal-ibadat di sisi Islam; pada ketertiban ruhani menyesuaikan keperluan hak
diri ruhani atau diri akali, yang mewajibkan penyerahan diri jasmani atau diri
hayawani kepadanya. Apabila dia dirujukkan pada bahasa, maka adab itu
pengenalan serta pengakuan akan hak kedudukan tiap kata pada keperluan
maksudnya dalam kalimat atau dalam pertuturan, sehingga tiada membawa
kejanggalan ma`na dan bunyi dan faham, sehingga masing-masing terletak pada
tempatnya yang sesuai dengan keperluan hak ma`nawi. Maka adab, sebagaimana
dita`rifkan di sini, mengenakan maksudnya pada seluruh segi kehidupan. Dan rencana-usaha
bagi menjelmakan adab pada diri, bagi memupuknya dalam diri, tiada lain dari
pendidikan jua.[29]
Adab
terhadap diri sendiri bermula ketika seseorang mengakui bahwa dirinya merupakan
makhluk yang lemah, yang tidak terlepas dari salah dan dosa, sebab manusia
memiliki sifat kebinatangan, namun juga dibekali dengan akal untuk memimpin dan
menimbang, sehingga dapat mengetahui kebenaran dan tidak berlarut dalam
kesalahan. Kecuali para nabi yang memang telah dijamin ma`sum. Ketika akal seseorang menguasai dan mengontrol sifat
kebinatangan atau hawa nafsunya, maka ia sudah meletakkan keduanya pada tempat
yang semestinya, dan memposisikan dirinya pada tempat yang benar, yang
memberikan keadilan atau tidak menzalimi dirinya. Potensi akal manusia juga
harus tunduk kepada wahyu, tidak membiarkannya berpikir bebas dan menentang
sumber ilmu tertinggi. Wahyu membimbing akal manusia untuk berpikir tepat dalam
mendapatkan kebenaran dan keadilan.
Adab
terhadap sesama manusia, berarti memperlakukan setiap manusia sesuai dengan hak
dan derajatnya. Derajat manusia ditimbang sesuai dengan syariat Islam, yang
membedakan manusia atas dasar ketaqwaan dan keilmuannya. Bagaiamana adab yang
benar dalam keluarga, seperti adab anak kepada orang tua, dengan memuliakan dan
mentaatinya, dan hak anak untuk diperlakukan beradab oleh orang tua, dengan
menyayangi dan mendidiknya. Adab di sekolah adalah murid menghormati dan
mematuhi gurunya, dan guru pun memberikan ilmu yang baik serta penghargaan
kepada muridnya. Dalam pandangan seorang yang beradab, menjadi politisi tidak
mesti lebih tinggi daripada seorang guru ngaji, jika politisi tersebut adalah
seorang yang suka membela kezaliman, sedangkan guru ngaji tersebut dengan
ikhlas dan keras mengajarkan masyarakat membaca al-Qur`an di pedalaman, di
tempat yang tidak banyak diketahui orang. Dan seorang takmir masjid bisa jadi
lebih baik dari seorang pemilik hotel berbintang, jika takmir masjid itu sangat
bersemangat dan perhatian memelihara dan memakmurkan masjid, sehingga banyak
jamaah yang merasa nyaman dan senang untuk datang sholat berjamaah. Sedangkan
pemilik hotel memberikan kebebasan dan fasilitas kemaksiatan terjadi di hotel
miliknya. Menurut al-Attas adab kepada
sesama manusia ini disebut sebagai akhlak. Jadi akhlak telah tercakup dalam
makna adab dan akhlak adalah bagian dari adab. Manusia yang beradab, secara
otomatis ia telah berakhlak.
Adian
Husaini, murid dari al-Attas juga menjelaskan bahwa dalam Islam, adab juga
digunakan dalam aktivitas atau interaksi terhadap suatu benda mati, seperti
adab ketika bangun tidur, adab dalam masjid, adab saat masuk kamar mandi, adab
bercermin, adab menggunakan dan melepas pakaian, dan sebagainya.[30]
Yang mana pemahaman ini memang telah berakar dalam tradisi keilmuan dan
pengamalan Islam. Jadi setiap materi
dalam hidup juga memiliki kedudukan yang mesti disikapi dan dijaga dengan adab.
Selain
itu, adab juga menjadi permulaan dan kelanjutan dari setiap aktivitas keilmuan,
sehingga bisa dirasakan membawa pada kenikmatan dan keberkahan. Seperti sebelum
kita menuntut ilmu kita dituntut untuk terlebih dahulu belajar tentang
adab-adabnya, dan menjalaninya dengan beradab. Misalnya adab dalam membaca
al-Qur`an, kita harus berwudhu sebelum berinteraksi dengannya, meluruskan dan
menjaga niat dengan maksud untuk memahami Islam, tidak tergesa-gesa dalam
membaca dan mengikuti hukum bacaan yang benar, membacanya di tempat yang bersih
dan suci, mengusahakan untuk terus meningkatkan pemahaman dan pengamalan akan
isi al Qur`an, meletakkannya ditempat yang tinggi dan mulai, serta lain
sebagainya.
Adab
pada konteks ilmu adalah pengakuan terhadap tingkat keluhuran, keutamaan dan
ketinggian ilmu, yang terkandung dalam sifat akan kemuliaannya. Ilmu yang
bersumber pada wahyu itu lebih tinggi, dibandingkan ilmu yang berdasar pada
akal. Al-Attas membagi tingkat keutamaan ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu
fardu `ain dan ilmu fardu kifayah. Ilmu fardu `ain adalah ilmu yang wajib bagi
setiap Muslim memenuhi dan memahaminya, sebab ia menjadi dasar dan kebutuhan
hidup disetiap waktu, seperti ilmu tentang aqidah dan fiqih (ushuluddin), yang
membimbing seseorang dalam setiap aktivitasnya untuk selalu terjaga dalam
pikiran dan perbuatan yang benar, dan yang pertama adalah untuk mengetahui
bagaimana cara memenuhi kewajibannya kepada Rabb-nya.Sedangkan ilmu fardu
kifayah adalah ilmu yang diwajibkan bagi sebagian Muslim untuk memiliki dan
mewakilinya, seperti ilmu tentang kedokteran, ilmu tentang pertanian, ilmu
tentang penghitungan dan sebagainya yang masuk dalam ranah sains. Ilmu-ilmu ini
juga menjadi wajib bagi sebagian kaum Muslimin, yang keberadaannya juga selalu
dibutuhkan dan mengisi ruang serta menunjang kehidupan bersama. Ilmu pengenalan
adalah fardu `ain dan ilmu pengetahuan adalah fardu kifayah. Seorang Muslim
yang beradab adalah ia yang lebih mendahulukan dan memenuhi ilmu-ilmu fardu
ain, sebelum masuk ke ilmu-ilmu fardu kifayah, tidak tinggi penguasaannya dalam
ilmu fardu kifayah, namun sangat rendah dan kurang dalam memahami ilmu fardu
`ain. Adab terhadap ilmu pengetahuan, juga akan mendisiplinkan dan menghasilkan
cara serta metodologi yang tepat dalam belajar dan penerapannya. Seorang yang
telah memiliki ilmu yang benar, tentu saja akan beradab kepada subjek dan objek
ilmu, beradab kepada para guru dan lingkungannya.
Selanjutnya
adab pada alam hidup adalah memandangnya sebagai sebuah tanda-tanda yang
menunjukkan eksistensi dan sumber ilmu pengetahuan dari yang Maha Besar.
Manusia yang dipilih sebagai pemimpin di muka bumi, diberikan amanah dan
tanggung jawab besar, untuk memanfaatkan dan mengatur segala sumber daya,
lautan, daratan, tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, sungai, gunung dan binatang
serta habitatnya, pada tempat yang semestinya. Tidak mengeruk keuntungan dari
sumber daya alam secara berlebihan, kemudian meninggalkannya begitu saja dalam
keadaan rusak dan tercemar, yang mematikan ekosistem yang telah lama hidup di
sana. Ketika alam dan elemen penjaganya telah rusak, mengakibatkan berbagai
bencana yang akan menimpa manusia, yang juga bermula dari kejahilan tangan
manusia. Padahal Allah tidak menzalimi manusia, namun manusia itulah yang
menzalimi dirinya sendiri. Allah Subhanahu wa ta`ala mengingatkan “Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).“ (Qs. ar-Rum :
41). Alam yang baik dan
indah, memberikan ketenangan dan kebahagiaan bagi orang yang melihat dan mendiaminya,
hal ini juga menandakan orang-orang yang hidup di sekitarnya merupakan orang
yang beradab terhadap alam.
Lalu adab kepada alam ruhani atau alam ghaib, adalah
pengenalan dan pengakuan kita pada tingkatan kedudukan alam ruhani, berdasarkan
nilai keutamaan dan ibadah kita dalam syariat Islam. Alam arwah, alam barzah,
padang masyar, hingga surga dan neraka, adalah kedudukan tempat yang akan
dilalui manusia, merupakan sebuah ilmu yang benar dan rasional, yang harus diyakini manusia,
sebagaimana pemikiran dan hati manusia yang bersifat abstrak namun bisa dirasakan
akan adanya. Mengetahui tingkat keutamaan alam ini, menjadikan manusia
terdorong meletakkan dan mengamalkan diri untuk mencapai tingkatan yang paling
mulia.
Adab dalam bahasa, berarti pengenalan dan pengakuan
tiap kata secara benar dalam makna, perkataan dan tulisan. Sebab setiap bahasa
mentransmisikan ilmu dan memiliki pandangan hidup yang terangkai dari sebuah
istilah yang terjalin menjadi makna, konsep dan jaringan konsep yang membangun
pandangan hidup. Bahasa harus diletakkan pada tempat dan pemiliknya, sehingga
tidak terjadi kerancuan dan kehilangan makna aslinya.
Menurut al-Attas keadilan ditegakkan melalui adab,
sebab adab merupakan suatu kebijaksanaan untuk meletakkan sesuatu pada
tempatnya yang benar secara harmonis. Yang merupakan hasil dari kedisiplinan
raga, pikiran dan jiwa atas pengenalan dan pengakuannya terhadap tingkatan
wujud yang ada. [31] Disimpulkan oleh
al-Attas, segala sesuatu yang menjadi bagian dari hidup memiliki tatanan yang
harus dikenal dan diakui sesuai dengan derajat dan martabatnya yang berlaku
padanya menjadi sebuah adab:
Adablah yang menunjukkan adanya sikap yang adil yang
menerima serta melakukan penempatan martabat dan darjat keluhuran diri
masing-masing pada tempatnya yang wajar. Pengenalan serta pengakuan diri
tentang adanya martabat di kalangan makhluk jelata, dan adanya darjat pada tiap
pernisbahan yang berlaku dalamnya—itulah adab.[32]
Maka konsekuensi dari ilmu yang benar
adalah pengenalan dan pengakuan setiap peringkat kedudukan sesuatu pada
tempatnya. Melalui pengamalan pada hakikat ilmu, akan memberikan pengaruh pada
keseluruhan bagian diri dan lingkungannya menjadi tempat berlakunya adab, dan
menunjukkan betapa kompleknya pengaruh ilmu. Sedangkan ilmu yang tidak diresapi
hingga taraf pengenalan, dan tidak memberikan pengaruh pada keseluruhan diri
dan lingkungannya, maka ilmu tersebut belum memberikan arti yang bermakna pada
kehidupan. Al-Attas menjelaskan:
Di
sisi Islam maka ilmu, jikalau tiada bersabit dengan mengenal diri, mematuhi
ajaran agama, menyempurnakan masyarakat, membimbing negara, menyatakan hikmah,
menegakkan keadilan, mengukuhkan akhlak dan budipekerti –hanyalah sia-sia
belaka; di sisi Islam seseorang itu tiada dapat dikatakan berilmu atau alim,
jikalau tiada ia membayangkan dalam dirinya kesan ilmu itu pada seluruh segi
kehidupannya sebagaimana dijelaskan di atas. Sekalipun seseorang itu pandai dan
handal dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan, maka jikalau tiada dia mengenal
diri, tiada mengamalkan ajaran agama dan tiada berakhlak dan budipekerti yang
tinggi nilainya maka sia-sialah ilmunya itu, dan orang itu bukan berilmu; dia
telah membohongi dirinya dan dengan demikian telah menyesatkan dan menzalimi
diri sendiri.[33]
[1] Ahmad Alim “Ilmu dan Adab dalam
Islam”, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2013, hlm.
191-192.
[2] Loc. cit.
[3] Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib
al Attas adalah seorang intelektual Islam dunia, yang telah cukup masyur
dikenal namanya sebagai penggagas Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dan pemikir
kontemporer di dunia Melayu. Syed Muhammad Naquib al Attas – ada yang
menyebutnya Habib Naquib – lahir di Bogor, Jawa Barat, 5 September 1932 M.
Beliau sempat mengenyam pendidikan dasar beberapa tahun di Bogor dan Sukabumi.
Al Attas adalah cucu dari Habib Abdullah bin Muhsinal Attas, atau yang lebih
dikenal sebagai Habib Keramat, dan setelah ditelusuri Prof Wan, ia menemukan
bahwa al Attas adalah keturunan ke-37 dari silsilah keturunan Rasulullah Saw,
bertemu pada garis Hussein bin Ali bin Abi Thalib r.a . Kakek al Attas, Habib
Keramat merupakan seorang ulama besar di Nusantara. Bisa dilihat dari hasil
didikannya, yaitu para muridnya –dengan izin Allah—menjadi ulama-ulama yang
terkenal, diantaranya yaitu Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir al Hadad (Mufti
Kerajaan Johor). Al Attas sempat
mengenyam pendidikan militer di Royal Military Academy, Sanghurt England
(1952-1955). Karir militernya tidak dilanjutkan dan ia lebih tertarik melanjutkan
studinya ke Universitas Malaya di Singapura, 1957-1959. Tahun 1962, Syed Naquib
al-Attas meraih gelar M.A. di Islamic
Studies di Mc-Gill University, dengan Tesis berjudul Raniry and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.
Kemudian pada tahun 1965, Syed Naquib al Attas menyelesaikan Ph.D. degree di School of Oreintal and African
Studies (SOAS) University of London, dengan disertasi dua jilid berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri.
Berbagai jabatan penting dalam dunia pendidikan yang pernah didudukinya antara
lain: ketua Department of Malay Language
and Literature, Dekan the Faculty of Arts, dan pemegang pertama `the Chair of Malay Language and Literature`,
dan Direktur pertama The Institute of
Malay Language, Literatur and Culture, yang ia dirikan tahun 1973. Al Attas
juga mengetuai the Division of Literatur
di Depaetment of Malay Studies, University of Malay, Kuala Lumpur. Juga
pernah memegang posisi UNESCO expert on
Islamics; Visiting Scholar and Professor of Islamics at Temple University and
Ohio University, distinguished Professorof Islamic Studies and first holder of
the Tun Abdul Razak Distinguished Chair of Southeast Asian Studies at the
American University, Washington, Ibn Khaldun Chair of Islamic Studies
(1986), dan Life Holder Distinguished al
Ghazali Chair of Islamic Thought, International Institute of Islamic Thought
and Civilization (ISTAC), 1993. (Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Surabaya: Bina
Qolam-INSISTS, 2015, hlm. 76-81)
[4] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala
Lumpur: ISTAC, 2001, hlm. 118.
[5] Ibid, hlm. 119.
[6] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 154.
[7] Ibid, hlm. 155-156.
[8] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk... hlm. 147.
[9] Ibid, hlm. 119.
[10] Kholili Hasib, “Isu-isu
Pendidikan, antara Problematika dan Konseptualisasi”, Jurnal Islamia, Vol IX, 1
Maret 2014, hlm. 63.
[11] Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab,
Surabaya: Bina Qolam-INSISTS, 2015, hlm. 104-105.
[12] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.cit., hlm. 175.
[13] Ibid, hlm. 180.
[14] Imam Bawani, Segi-Segi Pendidikan Islam, Surabaya: Al
Ikhlas, 1987, hlm. 216.
[15] Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer dan Peran
Universitas Islam dalam Konteks Dewester dan Dekolonialisasi, Bogor: UIKA
Bogor & CASIS-UTM, 2013, hlm. 67.
[16] Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud
dilahirkan pada 23hb Desember 1955 di Tanah Merah Kelantan,Malaysia. Saat ini
dikenal sebagai ahli falsafah, pentadbir pendidikan, aktivis Islam dan penyair.
Beliau adalah murid dan sahabat dekat
dari Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas. Sejak tahun 1988 hingga 2002, ia menjadi
seorang pioneer dan mantan Timbalan Pengarah Internastional Institute of Thougt and Civilization (ISTAC)
membantu pengarah-pengasasnya Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas dalam perihal
akademik, pelajar, penerbitan dan perpustakaan di ISTAC sehingga menjadi salah
satu pusat pengajian Islam yang ulung di dunia Islam. Wan Mohd Nor mendapatkan
B.Sc (Hons) Kajihayat dan M.Sc.Ed. (Kurikulum dan Pengajaran), kedua-duanya
dari Northern Illionois of Chicago,
Delkab, Illionis dan Ph.D dari The
University of Chicago di bawah selian
Prof. Dr. Fazlur Rahman. Dari Februari 2011 hingga kini, Prof. Dr. Mohd
Nor Wan Daud dilantik sebagai pengarah sebuah pusat kecemerlangan di Universiti
Teknologi Malaysia (UTM) Kuala Lumpur: Center
for Advanced Studies on Islam, Science
and Civilization (CASIS). Serta pada tahun itu juga dilantik sebagai felo
Terhormat (Distinguished Fellow)
Akademi Kenegaraan Biro Tatanegara, Jabatan Perdana Mentri, atas persetujuan
YAB Perdana Mentri Malaysia, Dato` Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak. Beliau telah
menulis lebih dari 16 buku dan monograf serta puluhan makalah dalam jurnal tempatan dan
antarbangsa. (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Rihlah
Ilmiah: dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer. Jakarta:
UTM-CASIS dan INSISTS, 2012, hlm. 469-470)
[17] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.cit. hlm. 181-182.
[18] Kholili Hasib, Op.cit., hlm. 58.
[19] George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam..., hlm. 140, 147.
[20] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.cit., hlm. 179.
[21] Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu..., hlm. 191-193.
[22] Syed Muhammad Naquib al Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung:
PIMPIN-CASIS UTM, 2010, hlm. 185-186.
[23] Ibid, hlm. 187.
[24] Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamisasi Ilmu-Ilmu..., hlm. 75.
[25] Kholili Hasib, Op.cit., hlm. 61.
[26] Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu..., hlm. 191-191.
[27] Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia..., hlm. 126-127.
[28] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk... hlm. 119.
[29] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk..., hlm. 119-121.
[30] Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia..., hlm. 103.
[31] Syed Muhammad Naquib al Attas, Islam dan..., hlm. 129.
[32] Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah untuk..., hlm. 119. 142.
[33] Ibid, hlm. 59.
0 komentar:
Post a Comment