Pemikiran merupakan tahapan awal dalam proses pencarian. Seorang yang berpikir tentang suatu hal dapat tergiring pada bentuk perasaan yang berupa keyakinan atau keraguan, penerimaan atau penolakan. Pemikiran juga menghasilkan keinginan atau kemauan yang selanjutnya dapat teraplikasi dalam pernyataan atau perbuatan. Pernyataan atau perbuatan seseorang dapat mencerminkan apa yang dipikirkan. Maka pemikiran erat kaitannya dengan keimanan yang merupakan ukuran aqidah Islam dan sarana menentukan kebenaran. Seorang yang berpikir atau menyatakan bahwa semua agama adalah benar, sejatinya ia tidak hanya sekedar berpikir tentang kebenaran agama yang dianutnya, namun juga meyakini kebenaran agama lainnya. Dalam arti berpikir tentang apa yang diyakininya dan meyakini apa yang dipikirkannya.
Selain dengan akal,
proses berpikir juga melibatkan hati, ia merupakan bagian tertinggi dalam diri yang
dapat memikirkan dengan jernih dan sesuai dengan fitrah dan nurani, menjadi wadah terpupuknya keyakinan atau keraguan, kebenaran atau
kesalahan.
Kaum Sofis pada
masa Yunani atau kaum Relativis pada masa sekarang, telah memberikan penyakit
pemikiran yang kronis. Ia merupakan bentuk pemikiran yang mengiring manusia
pada keraguan (skeptis) dan
kebingungan (confius), pemikiran relatif
yang tidak meyakini segala sesuatu, dan meragukan segala sesuatu. Baginya
kebenaran dari objek dan ilmu itu tidak ada, ia tergantung dari pemikiran
seseorang tentangnya.
Relativisme
memunculkan sikap berlepas diri dan mengakui semua perbedaan tanpa ada klaim
kebenaran tunggal. Bagi mereka, manusia adalah mahluk yang relatif sehingga tidak mampu untuk mencapai
kebenaran, hanya Tuhan yang tahu kebenaran mutlak. Jadi salah atau
benar, itu adalah hal relatif bagi manusia dan bisa dinegasikan. Karena
hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran, maka kebenaran tertinggi
adalah ketika seseorang mengatakan “Saya tidak tahu”.
Cara berpikir bahwa
“Tidak ada kebenaran mutlak” juga telah diangkat menjadi metodologi ilmiah
dalam dunia akademik, bahwa yang namanya ilmiah adalah tidak meyakini sesuatu
dan tidak memihak pada salah satu, jika memihak itu akan menjadi subjektif atau
ideologis. Tidak menyampaikan antara yang benar dan salah, dan seseorang
dipersilahkan untuk memilih sendiri yang menurutnya lebih sesuai. Dengan kesimpulan akhir bahwa “Benar menurut anda belum tentu benar
menurut saya, jika anda mengklaim itu benar, saya juga berhak mengklaim itu
salah. Pemikiran manusia itu relatif dan hanya Tuhan yang absolut atau tahu
kebenaran, sehingga seseorang itu tidak berhak menyalahkan yang lain dengan
mengatakan sesat, tidaklah layak seseorang memposisikan diri sebagai Tuhan
dengan mengatakan demikian” kebenaran adalah kembali pada pendapatnya
tentangnya.
Dasar pemikiran yang menganggap semua relatif seperti ini pula yang kemudian melahirkan paham-paham
seperti pluralisme yang menyamakan semua agama, feminisme yang mensejajarkan
antara wanita dan pria, dan banyak pemahaman lainnya yang menjadi sistem hidup
seperti demokrasi dan HAM yang memandang dan menyetarakan manusia,
dengan harapan tidak ada diskriminasi dan tidak saling menyalahkan.
Pernyataan “Tidak ada kebenaran mutlak” atau “Semua kebenaran
sama” sebenarnya juga sangat kontradiktif dan berlawanan. “Tidak
ada” atau “semua” merupakan bentuk pernyataan yang memutlakkan. Padahal ia juga mengatakan bahwa “semua
kebenaran adalah relatif” maka pernyataan tersebut juga berarti relatif dan
tidak mutlak. Kalau “Semua adalah relatif”, maka yang mengatakan “Di sana ada
kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “Di sana tidak ada
kebenaran mutlak”. Yang bermakna merelatifkan semua kebenaran, namun
memutlakkan nilai kebenaran dari pernyataannya. Meragukan kebenaran, dan membenarkan keraguaannya. Maka
pernyatan-pernyataan seperti juga menunjukkan hal yang ambigu dan absurb, yang
memiliki arti dapat terbuka terhadap gugatan, anggapan, serta pertanyaan.
Memberi maksud logis yang ingin dinyatakan
bahwa
“Manusia itu tidak tahu kebenaran mutlak kecuali saya” atau “Semua kebenaran
itu relatif, kecuali kebenaran dari pernyataan saya”. Jika saja ia konsisten
dengan pendapatnya bahwa “Hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran” seharusnya ia
tidak ngomong dan juga tidak ikut menyalahkan yang mengetahui dan menyatakan tahu akan kebenaran, sebab ia sendiri
bukan Tuhan dan tidak tahu akan kebenaran.
Maka seorang yang
menolak konsep kebenaran sekalipun, tidak dapat menolak dan tak terasa telah
meyakini kebenaran konsep pemikiran mereka sendiri. Seorang atheis yang tidak
mempercayai Tuhan karena membatasi konsep kebenaran pada yang terindra, tetap
percaya bahwa keyakinannya tentang ketiadaan Tuhan itu benar adanya.
Keraguaannya akan banyak atau satu hal, akan memilihkannya yakin pada hal
lainnya. Inilah keyakinan yang menurutnya benar, dan akan selalu ada pada
setiap diri manusia.
Mengetahui Kebenaran
Islam memberikan perintah wajib untuk belajar
sejak dini, untuknya dapat mencari, mengetahui hingga meyakini, dengan puncak
pengetahuan tertinggi dalam Islam yaitu mengenal Tuhannya yang menjadi wujud keyakinan
dan kecintaan kepada-Nya. Maka kebenaran dalam pandangan ummat Islam Ahlus Sunnah wal-Jama’ah adalah pasti dan bisa
didapatkan. Untuk apa kemudian Allah subhanahu
wa ta`ala meminta
kita untuk belajar,dan mengapa Rasulullah Saw diutus untuk mengajarkan manusia,
jika kebenaran dianggap relatif dan tidak ada. Lalu untuk apa pula bersusah-payah
untuk belajar dan berpendidikan tinggi hingga ke
luar negeri dengan seabrek title atau
gelar sampai menjadi doktor atau profesor, namun tidak mampu mencapai dan
mendapatkan kebenaran. Apa gunanya selama ini belajar jika tidak mengetahui dan
meyakini adanya kebenaran? Bukankah seseorang itu belajar untuk mengetahui dan
meyakini kebenaran, lalu mengikutinya? Abraham Lincon mengatakan “No one has the right to choose to do what is
wrong” Tak seorangpun yang meyakini suatu kebenaran, lalu memilih jalan
yang ia yakini salah. Maka dalam Islam ilmu itu adalah kepastiaan yang
mengantarkan pada kebenaran dan keyakinan. Seorang yang semakin bertambah
ilmunya, mestinya harus semakin bertambah keyakinan atau keimanannya, yang menjadi
prinsip kebahagiaan. Tidak akan ada orang yang bahagia dengan keraguan, sebab
kebahagiaan itu adalah ketika seorang yakin pada sesuatu, dan hidup dalam keyakinannya.
Manusia sebagai mahluk yang telah diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta`ala dengan sempurna, telah diberikan kemampuan dan daya untuk mampu
mencapai kebenaran. Meski juga dengan keterbatasannya, tapi tidak sampai
menggugurkan nilai kebenaran dan keabsahan ilmu pengetahuan dan kenyataan yang
didapatkannya.
Manusia normal, pada umumnya mampu
untuk memilah, membedakan, menilai dan menentukan, mana yang
benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
berguna dan mana yang berbahaya, dan seterusnya. Dengan kapasitas diri dan ilmunya,
secara lahir dan batinnya, mental dan spiritualnya, akal dan hatinya, yang
menjadi diameternya.
Maka dalam Islam, mengetahui dan mengenal
bukanlah sesuatu yang mustahil. Yang masih dipertanyakan atau dapat
dinegasikan. Tidak benar kemudian ungkapan-ungkapan yang menyudutkan atau
membenarkan segala hal, sebagaimana kaum sofis atau relativisme yang menganggap
manusia tidak dapat mengetahui kebenaran.
Pendirian
kaum Muslimin bahwa kebenaran itu bisa didapatkan. Dalam soal ini disimpulkan
oleh Abu Hafs Najmuddin ‘Umar ibn Muhammad an-Nasafi dalam kitab Aqa`id
menjelaskan secara ringkas“haqa’iqul asyya’ tsabitah, wal-ilmu biha
mutahaqqiqun, khilafan lis-sufistha’iyyah”.Ditegaskan bahwasanya hakikat, kuiditas atau esensi dari segala
sesuatu itu tetap (dan oleh karena itu bisa ditangkap), tidak berubah
(sebab yang berubah-ubah itu hanya sifat-sifatnya, a’rad, lawahiq
atau lawazim-nya saja), sehingga ia bisa diketahui dengan jelas.
Maka ilmu tentang kebenaran tidak mustahil untuk diketahui oleh manusia sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Qur’an surah az-Zumar (39:9): “…. katakanlah: Apakah
sama, orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?”[1]
Jadi kuiditas atau esensi dari
segala sesuatu itu tetap. Gula rasanya manis, garam rasanya pahit, manusia bisa
dibedakan dengan monyet, meskipun monyet dipakaikan baju, ia akan tetap jadi
monyet dan tidak akan pernah menjelma menjadi manusia. Seorang anak bernama
agus, meskipun ia tumbuh menjadi remaja, dewasa dan tua dengan perubahan
fisiknya ia tetap akan dikenal sebagai agus, tidak akan berubah menjadi slamet
dan tidak akan dipanggil slamet, selama orang telah mengenalnya dan tidak
mengubah namanya.
Berbeda dengan kaum relativis yang mengganggap
kebenaran dari suatu objek itu tidak ada, sehingga selalu saja beralasan,
meragukan, keras kepala dan tidak akan pernah mencapai kebenaran. Misal
mengatakan “gula itu rasanya bisa saja manis atau pahit, tergantung orangnya,
kalau ia sehat bisa manis, kalau ia sakit bisa jadi pahit”, “api itu rasanya
bisa saja panas atau tidak, tergantung orangnya, kalau ia kebal tidak akan
panas”.
Namun esensi atau hakikat segala sesuatu itu tetap
dan tidak berubah. Semut yang tidak bisa berpikir saja tidak pernah salah untuk
mengambil antara gula yang manis dengan garam. Api zaman dahulu dan zaman
sekarang juga tetap sama dan tidak berubah, ia panas dan dapat membakar, jika
kaum relativis tidak yakin, bisa dibuktikan dengan berdiri di atasnya selama beberapa
jam saja. Presiden Indonesia yang pertama itu adalah seorang laki-laki, dan itu
sudah diakui, namun orang relativis bisa saja mengatakan ia bisa jadi wanita
atau banci. Wanita cantik atau kembar sekalipun, yang sering dikatakan relatif,
sebenarnya dalam hakikat yang dapat dinilai seseorang, memiliki nilai lebih dan
mutlak yang dapat dipilih.
Yang perlu digaris bawahi bahwa kebenaran mutlak
sesungguhnya adalah dari Allah, manusia memiliki kebenaran atau kenyataan yang
bersifat sementara, kecuali pada esensi diri dan ilmunya yang kelak akan
diperhitungkan. Dalam kehidupan, ukurannya bukan dari hukum kausalitas atau
sebab akibat yang dapat diindra secara fisik saja seperti api rasanya panas.
Namun sebenarnya ada sunnatullah atau ada kehendak Allah di dalamnya
yang menjadikan sesuatu itu berjalan atau bereaksi sebagaimana kita dapatkan
pada umumnya. Allah bisa saja menjadikan api itu dingin, sebagaimana
menjadikannya panas, seperti pada kisah nabi Ibrahim Alaihi sallam. Bisa menjadikan
seseorang berjalan dengan wajahnya, sebagaimana menjadikannya dapat berjalan
dengan kakinya, ketika dihari pembalasan, dan lainnya, agar seseorang tidak
sombong dan dapat mengambil hikmah dibaliknya. Semua dapat berlaku jika Allah
menghendaki dan memberikan izin pada waktu yang telah ditentukan.
Islam menetapkan bahwa manusia dapat
mengetahui kebenaran adalah melalui tiga sumber yaitu persepsi indra (idrak
al-hawass), proses akal yang sehat (ta`aqqul), serta intuisi hati (qalb), dan
melalui informasi yang benar (khabar shadiq). [2] Sebagaimana yang disebutkan
dalam Al Qur`an. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.”(QS.an Nahl:78). “Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS.al
Isra:36). “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan
bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya serta
menyaksikannya.”(QS.Qaf:37). “Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, serta
mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga
yang dengannya dapat mendengar? Memang sesungguhnya bukanlah mata itu yang
buta, tetapi telah buta hati yang ada di dalam dada.” (QS.Al Imran:138). “Ini
adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Imran:138). “Sesungguhnya telah datang
kepadamu cahaya dan Allah, dan kitab yang memberi penjelasan.”(QS.Al
Ma`idah138). “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak
dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai
telinga, (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka
itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (Qs.Al A`raf:179)
Panca Indera
Manusia memiliki
lima kapasitas dari pancaindra yang
diberikan Allah kepadanya, yang mana merupakan saluran pertama manusia untuk
mengetahui kebenaran atau fakta yang didapatkannya, yaitu daya penglihatan,
pendengaran, daya sentuh, daya cium dan daya rasa.
Seseorang dapat
meraba dan merasakan bentuk dan rasanya roti yang manis, sehingga ia yakin
untuk memakannya. Pada daya melihat, kita dapatkan secara jelas warna, bentuk,
jenis dan lainnya.Seandainya ada seorang anak yang buta sejak kecil, maka warna
itu tidak wujud baginya, warna tidak ada dalam memorinya. Ia tidak bisa
membuktikan ada warna hitam jika tidak mengetahui adanya warna putih, warna hijau,
warna biru, dan sebagainya, kecuali dengan bersandar pada yang dapat melihat.
Informasi tentang warna hanya bisa dijangkau dengan daya penglihatan, semisal
buah apel meskipun disentuh, dibunyikan dan dicium tidak akan pernah
menghasilkan warna hijau. Masing-masing pancaindera ini memberikan informasi
atau konsep ilmu tersendiri. Yang hal itu bisa kita ambil sebagai kebenaran
pada sumber realitas atau empiris.
Namun
sifat dari pancaindera itu sendiri terbatas, dan terkadang menghasilkan ilmu
yang masih parsial. Untuk mengindera secara fisik saja kita tidak dapat
menyimpulkannya dengan benar. Seseorang dapat merasakan adanya angin, namun
tidak akan mampu melihat dan menggambarkan bagaimana rupanya. Bisa merasakan
rasa manis, namun tidak bisa menunjukkan di mana letak manis
tersebut.Sebagaimana juga dikisahkan oleh Imam Ghazali ketika seorang melihat
bulan di langit pada kegelapan malam, ukuran bulan terlihat kecil, padahal
sebenarnya bahwa bulan itu besar. Itulah beberapa keterbatasan panca indra.
Akal
dan Hati
Akal yang normal
merupakan saluran ilmu yang menjadi kapasitas manusia untuk dapat menilai,
memilih, memilah, membandingkan, membedakan antara yang benar dan salah, yang
baik dan buruk, yang betul dan keliru, dan lainnya.
Akal merupakan
penyempurna dari kelemahan pancaindera. Akal dapat menalar dan menjadi alur
pikir untuk menyimpulkan lebih luas. Sebagaimana telah disebutkan oleh Imam
Ghazali, meski manusia ketika itu belum sampai ke bulan, namun bisa memberikan
kesimpulan bahwa bulan itu besar, tidak seperti yang terlihat oleh mata bahwa
bulan sebesar uang logam. Sama halnya ketika kita melihat rumah dari jarak jauh
yang terlihat sebesar genggaman tangan, namun akal akan menafikkannya, dan
dapat menyimpulkan bahwa rumah tersebut besar.
Orang-orang arab
dahulu tahu, bahwa adanya kotoran unta, menandakan ada unta yang pernah atau
lewat di tempat tersebut. Adanya kurma menandakan adanya pohon yang
membuahkannya. Adanya asap yang keluar dari rumah, menandakan adanya api di
dalam rumah tersebut.
Akal memiliki tiga kriteria, yaitu wajib,
mustahil dan mungkin. Wajib bagi akal adalah sesuatu yang akal kita tidak bisa
menolaknya dan harus menerimanya. Seperti seorang anak lebih muda dari
bapaknya, keseluruhan lebih besar daripada sebagian. Jadi ada sesuatu yang akal
tidak bisa menolak.
Yang mustahil bagi akal, atau akal tidak
dapat menerimanya. Seperti seorang anak lebih tua dari bapaknya dan sebagian
lebih besar daripada keseluruhan. Ini adalah yang mustahil bagi akal.
Dan yang paling banyak
adalah mungkin bagi akal. Seperti anak lebih besar dari bapaknya, istri lebih
tua dari suaminya.
Dalam Islam kematangan akal ini menjadi salah
satu syarat seseorang untuk dibebankan suatu kewajiban yaitu ketika baligh, sebab ia sudah mampu berpikir
dan membandingkan dengan sempurna.
Islam mengakui sumber ilmu dari panca indera (empiris) dan akal
(rasional), sebagaimana diadobsi dalam dunia akademik Barat saat ini. Namun
sebenarnya tidak cukup dan terbatas pada dua hal itu, orang-orang yang hanya
bersandar pada dua hal itu akan tergiring pada spekulasi atau praduga yang
tidak ada puncaknya, sehingga kebenaran bagi mereka akan terus berkembang dan
bisa berubah-ubah, tergantung dari perubahan dan kebutuhan waktunya, satu teori
bisa diganti dengan teori lainnya. Karena Barat juga tidak mengakui wahyu dan
hati sebagai sumber ilmu dan kebenaran, sehingga patokan utamanya hanya
berdasarkan pada pancaindra dan akal saja yang membuat praduga dan
keraguan-keraguan, serta kebingungan yang diangkat pada derajat “ilmiah”, bagi
mereka wahyu dan hati itu hanya pengetahuan dan bukan ilmu.
Selain dengan akal, proses berpikir juga
melibatkan hati, ia merupakan bagian tertinggi dalam diri yang dapat memikirkan
dengan jernih dan sesuai dengan fitrah dan nurani.
Menurut Imam
Ghazali hati juga memiliki entitas yang sama dan berkedudukan di hati. Qalb (hati) diibaratkan sebagai
istananya, sedangkan `aql (akal)
adalah rajanya. Keduanya memiliki fungsi kognisi (pengetahuan) dan afeksi
(sikap) karena keduanya mampu melakukan aktivitas berpikir sekaligus merasa. [3]
Hati kecil atau
hati nurani merupakan tempat untuk memikirkan lebih mendalam, dan penilaian
hati itu akan kembali pada fitrah atau alamiah seseorang sebagai makhluk dan
hamba Allah dalam kebaikan. Membunuh tanpa ada alasan itu adalah bentuk
kejahatan. Menyakiti atau menzalimi seseorang merupakan perbuatan yang tidak
disukai. Mencuri merupakan keburukan. Semua merupakan nilai lahir yang dimiliki
manusia, selama hatinya tidak tertutupi oleh keingkaran dan kesesatan. Tidak
ada seorang yang menerima dan meminta agar dirinya disakiti dan barangnya dicuri, karena menganggap hal itu relatif.
Jika pancaindra
hanya dapat menjangkau secara fisik, namun akal dan hati dapat memikirkan lebih
luas dan mendalam lagi. Mengapa daun warnanya hijau? Karena ada klorofilnya
yang membuat warna hijau. Tapi mengapa daun tersebut berwarna hijau dan tidak
berwarna merah atau coklat saja? Mengapa alam semesta beredar pada garis
edarnya dan tidak saling bertabrakan dan mendahului dengan lainnya? Mengapa
matahari dibuat dengan begitu panasnya dengan jarak yang begitu jauhnya,
padahal jika lebih sedikit saja didekatkan lagi akan dapat membakar bumi? Mengapa bumi diciptakan dengan berbagai
penunjangnya sehingga dapat menjadi tempat hidup manusia, tumbuhan dan hewan,
sedangkan diplanet lain tidak? Mengapa tubuh manusia terbentuk sangat
seimbangnya, antara DNA, sidik jari dan suara dari milyaran manusia tidak ada
yang serupa? Berbagai pertanyaan mendasar pada diri itu akan mengiring manusia
pada lahirnya yaitu kebutuhan dan keterbatasan terhadap sesuatu dalam jiwa dan
pikirannya.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka.”(QS.Al Imran 190-191)
Pancaindra, akal dan hati sebenarnya dapat mengiring seseorang
padakeyakinan tentang adanya Sang Pencipta, namun hal itu saja tidak akan
cukup. Keyakinan akan adanya sang
pencipta, harus dibimbing pada ilmu yang benar, sehingga tidak menduga-duga
bahwa Tuhan itu satu, dua, tiga atau ada puluhan. Tidak menduga-duga tentang
wujud Tuhan, sehingga digambarkan seperti manusia, ada yang berbentuk setengah
binatang, ada yang laki-laki dan wanita, semua berasal dari kreasi pemikiran
dan hawa nafsunya manusia. Membuat hukum yang sesuai dengan keinginannya, dan
tidak sadar mendiskriminasi yang lainnya. Atau juga menduga-duga dan
menyebarkannya pada manusia bahwa manusia berasal dari kera, hanya dengan
berdasar pada sejarah manusia secara fisiknya, yaitu tulang dan dagingnya, yang
sebenarnya lebih pada “sejarah tulang manusia” bukan sejarah manusia. Padahal
manusia memiliki memiliki “ruh” yang menjadi unsur esensi utama manusia.
Seorang bergerak dan beraktivitas sesuai dengan dorongan ruh atau jiwanya, oleh
karenanya seorang manusia yang tidak memiliki tangan atau kaki masih dikatakan
sebagai manusia, sedang seorang yang memiliki organ lengkap tapi tidak memiliki
ruh atau telah mati, sudah tidak dikatakan manusia.
Maka banyak hal yang dasarnya tidak harus bisa dijelaskan secara empiris,
namum bisa diterima secara rasional. Bagaimana menjelaskan secara ilmiah
seorang nabi Isa lahir dari seorang ibu tanpa ayah. Bagaimana mengetahui siapa
manusia pertama yang hidup di dunia ini. Adanya hari akhir yang akan
memperhitungkan manusia untuk dimasukkan ke surga atau neraka.
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.”(QS. Al `Alaq:1-5)
Ayat tersebut menuntut
manusia untuk membaca, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan indra dan akalnya.
Namun ilmu dan kebenaran juga bisa diperoleh langsung dengan anugrah Allah
langsung kepada manusia, sebagaimana pada para nabi atau wali Allah.
Seperti Nabi Ibrahim Alaihi sallam yang
mencari Tuhannya. Ia melihat bintang dan berkata “Inilah Tuhanku” namun bintang
itu terbenam dan ia berkata “Aku tidak suka kepada yang terbenam”. Ia melihat
bulan yang terbit, namun bulan itu juga terbenam. Hingga melihat matahari yang
lebih besar, namun matahari tersebut juga terbenam meninggalkannya, ia tidak
dapat menerimanya dan berkata ”Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang tersesat.” Kemudian Allah
memberikannya petunjuk atau ilmu hingga sampai pada kesimpulan “Aku hadapkan
wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan
(mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah temasuk orang-orang
musyrik.”(QS.Al An`am:79)
Maka Islam menetapkan sumber ketiga
untuk manusia mencapai ilmu dan kebenaran yaitu melalui kabar yang benar (khabar shadiq).
Kabar Yang Benar
Khabar
shadiq atau kabar yang benar merupakan sumber ilmu yang bisa lebih tinggi
posisi dan derajat kebenarannya dari sumber ilmu melalui panca indra dan akal.
Kabar yang benar dapat berupa
informasi, cerita, riwayat, pernyataan, ucapan dan lainnya, yang dapat
diklasifikasikan berdasarkan nilai kebenaran dan otoritasnya.Para ulama ahli
hadist dan ushul fiqih telah membuat metodologi yang ketat untuk
mengklasifikasikan khabar shadiq berdasarkan nilai kebenarannya baik dari nara
sumber, isi, dan cara penyampaiannya.
Imam an Nasafi telah menjelaskan
bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua al-khabar al-mutawatir dan
al-khabar Rasul al-muayyad bil mu’jizah atau kabar dari Rasul yang disokong
oleh mu’jizat, yaitu wahyu.
Pertama, khabar mutawatir, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena
berasal dari banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta, dan
oleh karena itu merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya.[4] Kabar
mutawatir adalah kabar yang diriwatkan dari banyak sumber dan berdasarkan
kepada data empiris. Lalu disampaikan dari satu generasi ke generasi yang lain.
Yang mana akal kita menolak bahwa mereka bersekongkol untuk berdusta. Seperti
satu tambah dua sama dengan tiga, bumi bentuknya bulat, Ka`bah letaknya di
Mekkah dan lainnya yang meskipun sesorang tinggal di tempat yang berjauhan,
agamanya berbeda, antara di Indonesia
dan Amerika, semua mengakui akan hal tersebut. Meskipun seseorang berpindah
dari Amerika ke Indonesia, dari Islam ke Kristen, tidak akan merubah satu
tambah dua menjadi tujuh, bumi menjadi persegi panjang, dan Ka`bah tempatnya
adalah di Roma. Dalam Islam ilmu ini diterima sebagai ijma` atau kesepakatan bersama. Dan inilah kebenaran universal yang
tetap menjaga dunia.
KH. Hasyim Asyari adalah seorang ulama yang kita kenal sebagai pendiri
ormas Islam terbesar di Indonesia. Dari mana kita tahu bahwa KH. Hasyim Asyari
itu benar-benar ada atau wujud? Kita hanya mengetahuinya melalui kabar mutawatir
atau yang diriwayatkan dari banyak orang, meskipun kita tidak pernah bisa
membuktikannya secara empiris atau nyata dan bertemu langsung dengannya, kita
bisa saja menganggapnya sebagai tokoh fiktif. Namun kabar tentang adanya KH.
Hasyim Asyari sangat banyak dan sampai dari generasi ke generasi, sehingga akal
bisa menerima kebenarannya bahwa mustahil mereka bersekongkol untuk berbohong.
Meski demikian tidak semua kabar dari orang banyak bisa serta merta
dianggap mutawatir. Para ulama telah menetapkan sejumlah syarat, apakah sebuah
khabar layak untuk disebut mutawatir atau tidak. Pertama para nara sumbernya harus betul-betul mengetahui apa yang
mereka katakan, sampaikan atau laporkan. Jadi tidak boleh dan tidak cukup jika
sekadar menduga-duga atau mereka-reka (ghayra
mujazifin la zhannin). Kedua, mereka
harus mengetahuinya secara pasti dalam arti pernah melihat, menyaksikan,
mengalami atau mendengarnya secara langsung tanpa disertai ilusi, distrorsi dan
semacamnya (al musyahadah wa s-sama` la
ala sabil al-ghalath). Ketiga,
jumlah nara sumbernya harus cukup banyak sehingga tidak mungkin suatu
kekeliruan atau kesalahan akan dibiarkan atau lolos tanpa dikoreksi. [5]
Peran kabartidak bisa dihindari, meski yang mengaku rasional dan
empirisme sejati sekalipun akan selalu menerima kabar sebagai ilmu dan
kebenaran yang harus dia percayai. Sehingga yang dianggap sebagai dogma juga
sebenarnya berlaku pada ilmu pengetahuan dan kenyataan. Misalnya seorang
mahasiswa dikatakan oleh dosennya bahwa diameter
rata-rata bulatan Bumi adalah 12.742 km,
mahasiswa tersebut langsung menerima saja pernyataan tersebut, andaikan ia
adalah seorang rasional tentu dia akan kritis dan mempertanyakannya, ia
menerima saja bahwa diameter bulatan bumi sebesar itu dan tidak mungkin
membuktikan secara empiris. Seorang profesor juga harus menerima begitu saja
tanpa pembuktian pada penjelasan seorang pramugari ketika naik pesawat, bahwa
ia sedang terbang menuju ke Surabaya, saat ini sedang dalam ketinggian 2000
meter diatas permukaan laut, dan dalam waktu 20 menit lagi akan sampai di
Bandara. Padahal ia sendiri tidak pernah mengenal pramugari dan juga pilot yang
membawanya, apakah benar ia seorang pilot, apakah benar ia akan membawanya ke
Surabaya. Ia hanya percaya begitu saja. Maka profesor tersebut telah
mendapatkan kebenaran ilmiah dari jalur kabar atau pemberitaan, tidak berdasar
pada empirisme. Seorang anak juga tidak selalu mempertanyakan dan membuktikan
pada orang tuanya, apakah benar bahwa ia adalah ibunya. Ia tidak melihat atau
memikirkan secara langsung ketika ia dilahirkan bahwa ia benar adalah ibunya,
ia hanya menerima dari perkataan orang-orang disekitarnya.
Kedua adalah al-khabar Rasul al-muayyad
bil mu’jizahatau kabar
dari Rasul yang diperkuat oleh mu’jizat, kabar ini adalah wahyu, yang dibawa
melalui para nabi yang diutus untuk memberikan penerang dan petunjuk kebenaran.
Al Qur`an dan hadist merupakan wahyu Allah, yang memiliki tingkatan tertinggi
dari sumber ilmu dan kebenaran, mengalahkan panca indra dan akal, serta kabar
lainnya. Sebab ia merupakan pesan utama dari Allah Sang Pencipta dan dibawa
oleh manusia yang memiliki otoritas dan kemuliaan tinggi.
Para nabi merupakan manusia pilihan yang telah diakui kejujuran,
keilmuan, kemampuan, dan diperkuat dengan adanya mukjizat kebenaran. Rasulullah
Muhammadshallallahu
‘alaihi wa sallam merupakan seorang nabi terakhir dan penyempurna
dari ajaran para nabi sebelumnya, dan diutus untuk semua kaum.
Mukjizat terbesar yang dibawa oleh Rasulullah adalah Al Qur`an yang
memuat berbagai kebenaran yang tidak bertentangan dan diakui hingga akhir
zaman. Baik dari peristiwa, perjanjian, hukum, hingga ilmu pengetahuan, termuat
dengan benar. Maka untuk mengidentifikasi kebenaran suatu agama dapat ditinjau
dari dua hal ini, siapa yang menyampaikan dan apakah benar yang disampaikannya.
Benar adalah kesesuaian antara pernyataan dan
kenyataan. Penerimaan antara hati dan akal.Beberapa
kriteria yang membuktikan kebenaran Islam.[6]
Pertama, ajaran yang rasional: Pencipta telah memberikan pertimbangan dan intelektual kepada manusia, maka kewajiban manusia untuk menggunakannya,
agar dapat membedakan kebenaran dari kebohongan. Wahyu itu dari Allah, pasti
rasional, dan dapat dirundingkan tanpa ada pikiran yang memihak. Adanya ganjaran pahala dan dosa, surga dan neraka,
merupakan hal yang rasional sebagai bentuk keadilan Allah kepada manusia, jika
tidak ada, maka manusia akan berbuat sesukanya, meskipun tidak dapat langsung
diindra.
Kedua, kesempurnaan: Sang Pencipta
adalah sempurna, maka wahyu-Nya pasti sempurna dan akurat, bebas dari
kesalahan, kelalaian, penambahan/interpolasi dan versi yang bermacam-macam, dan bebas dari kontradiksi dalam penyampaiannya. Memuat berbagai hal mendasar yang benar dan dapat
dibuktikan, serta dijelaskan.
Ketiga, tidak ada cerita yang dibuat-buat atau takhayul: wahyu yang benar bebas dari cerita yang dibuat-buat atau takhayul yang menurunkan martabat Sang
Pencipta atau diri manusia. Semua cerita yang
disebutkan merupakan kenyataan dan telah berlangsung.
Keempat, ilmiah:Sang Pencipta adalah Pencipta alam dan kehidupan, maka seluruh ilmu pengetahuan, wahyu
yang benar pasti ilmiah dan dapat bertahan
terhadap tantangan ilmu pengetahuan di setiap saat.Sebagaimana banyak yang telah disebutkan dalam Al
Qur`an tentang proses tahapan lahirnya manusia, bumi yang berbentuk bulat dan
berotasi pada garis edarnya, langit yang terdiri dari tujuh lapisan, dan
lainnya, yang merupakan kebenaran yang baru dapat dibuktikan pada perkembangan
sains dan teknologi abad 20.
Kelima, Ramalan
atau perjanjian yang menjadi fakta: Pencipta kita lebih tahu masa lalu,
sekarang, dan masa yang akan datang, maka ramalan-Nya dalam wahyu-Nya dimasukkan sebagai ramalan.Seperti kabar tentang kemenangan pasukan Roma terhadap
Persia, kejatuhan konstantinopel ke tangan ummat Islam, munculnya dajjal, Nabi
Isa dan Imam Mahdi dan sangat banyak lainnya baik yang sudah atau akan terjadi.
Keenam, Tidak dapat ditiru manusia: wahyu yang benar adalah sempurna dan tidak dapat ditiru
manusia. Wahyu Allah yang benar adalah keajaiban yang hidup, sebuah kitab yang
membuka tantangan manusia untuk melihat dan membuktikan kepada diri mereka
sendiri keautentikannya / keasliannya atau ketelitiannya.Bahkan Allah menantang manusia untuk membuat ayat satu
semisalnya saja, dengan mengajak siapa saja.
"Akan Kami perlihatkan
secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru
dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terangkepada mereka, bahwa al-Quran
ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala
sesuatu. " (QS Fushshilat : 53)
Selain Allah telah menjamin kebenaran Al Qur`an dan menjaganya. Para
ulama juga telah memiliki tradisi keilmuan yang sangat ilmiah dan dapat
dipertanggung jawabkan untuk menjaga
keontetikan Al Qur`an maupun hadist.
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (Al-Hijr. 9)
Dalam ilmu hadist ada ilmu hadist Riwayah dan ilmu hadist Dirayah.
Menurut Ibn al Akfani, ilmu riwayah adalah ilmu yang mencakup perkataan dan
perbuatan Rasulullah, baik periwayatannya, pemeliharaannya maupun penulisan
atau pembukuan lafazh-lafazhnya. Objek ilmu ini adalah bagaimana cara menerima,
menyampaikan kepada orang lain, dan memindah atau mendewankan. Sedangkan ilmu
dirayah (musthalah) menurut Iman at Tirmidzi sebagai undang-undang atau
kaidah-kaidah untuk mengetahui sanad (riwayatnya) dan matan (isinya), cara
menerima dan meriwayatkannya, sifat-sifat perawinya, dan lainnya. Objek ilmu
Dirayah adalah keadaan para perawi (yang meriwayatkan) dan marwinya. Keadaan
para perawi menyangkut pribadinya seperti akhlak, tabiat, dan keadaan
hafalannya serta persambungan dan terputusnya sanad. Sedangkan keadaan marwi
adalah ditinjau dari sudut keshahihan (kuat), kedhaifan (lemah) dan hal-hal
yang berkaitan dengan keadaan matan hadist.[7]
Ilmu hadist ini memiliki peran yang sangat penting untuk
mengklasifikasikan hadist. Hadist dikatakan
shahih apabila mata rantai
transmisinya jelas dan tidak terputus hingga ke Rasulullah, melalui
sumber-sumber yang terpercaya, tidak terkenal atau tertuduh sebagai pendusta,
tidak banyak salahnya, tidak kurang teliti, tidak fasiq, tidak meragukan, tidak
ahli bid`ah, tidak lemah ingatannya, tidak sering menyalahi sumber lain yang
lebih otoritatif, bukan tidak terkenal. Jika syarat-syarat tersebut di atas
kurang atau tidak terpenuhi maka khabar yang bersangkutan disebut hasan (apabila sumbernya tidak tertuduh
berdusta) atau dha`if (apabila
cacatnya cukup fatal), dan jika persyaratan itu semua tidak terpenuhi maka
disebut maudhu (palsu). Adapula
khabar-khabar non shahih yang diberikan istilah khusus, seperti marfu`(perkataan sahabat yang riwayatnya
diangkat sampai kepada Rasulullah Saw), mawquf
(perkataan sahabat yang riwayatnya terhenti, tidak sampai pada Rasulullah
Saw), mursal, mudallas, muallaq.[8]
Berkaitan dari jumlah narasumbernya salah satunya contohnya adanyakhabar
al wahid atau ahad,yaitu kabar yang diriwayatkan dari satu orang. Imam Muhammad
ibn Ali bin Muhammad as Syawkani (w.1225 H/ 1839 M) bahwa kabar wahid baru bisa diterima jika sumbernya
memenuhi lima syarat. Pertama, sumbernya harus seorang mukallaf, yaitu orang
yang telah kena kewajiban melaksanakan perintah agama dan bisa dipertanggung
jawabkan, ucapan anak-anak dibawah umur atau omongan orang gila yang ngawur dan semacamnya tidak diterima. Kedua, sumbernya harus beragama Islam.
Konsekuensinya tidak diterima khabar, pernyataan atau pendapat orang kafir
(mengenai ajaran Islam), sehingga riwayat-riwayat Isra`iliyyat disensor oleh
para ulama.Ketiga, sang narasumber
harus memiliki `adalah, yaitu
integritas moral pribadi yang menunjukkan ketakwaan dan kewibawaan diri (muru`ah), sehingga timbul kepercayaan orang
lain kepadanya, termasuk dalam hal ini meninggalkan dosa-dosa besar dan
menjauhi dosa-dosa kecil. Keempat, si
narasumber diharuskan memiliki kecermatan dan ketelitian, tidak sembrono dan
asal jadi. Kelima, narasumber harus
jujur dan terus terang, tidak menyembunyikan sumber rujukannya (ghayr mudallis) dengan cara apapun,
sengaja maupun tidak sengaja.[9]
Berdasarkan derajat validitas atau kebenaran isinya juga telah dibuat
kategori qath`i (pasti) dan zhanni (kemungkinan), kemudian dibagi lagi berdasarkan tsubut (kebenaran sumbernya) dan dalalah (makna, makna, signifikansi dan
implikasinya). Jadi banyak sekali yang menjadi sistematika dan ranah kajian
untuk menjaga kebenaran wahyu, yang tidak terdapat pada tradisi keilmuan agama
lain, sehinggamenjadi celah terjadinyaperubahan dan pemalsuan pada ajaran
mereka.
Abdullah ibn al Mubarak (w.181 H/797 M) mengatakan “Tanpa isnad, niscaya
setiap orang akan berkata tentang apa saja sesuka hatinya.” Ada juga yang
mengatakan bahwa ilmu sanad adalah bagian dari agama. Demikian juga para ulama
salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in, Abu Hurairah r.a, Ibn Abbas r.a, Zayd
ibn Aslam, Ibn Sirin, Hasan al Basri mewanti-wanti “Sesungguhnya ilmu ini
adalah agama. Karena itu, perhatikanlah dari siapa kalian berguru dalam soal agama”[10]
Hal.216]
Kebenaran Antara
Islam dan Kristen
Dalam Islam
kebenaran pokok (aqidah) atau prinsip
(ushul) itu sudah mutlak, dan tidak
ada perbedaan. Ukurannya adalah antara haqq
dan batil, yang benar atau yang salah,
iman atau kafir. Sedangkan perbedaan-perbedaan pendapat antar empat mazdhab fiqih,
merupakan kebenaran relatif yang telah diakui dan diterima karena otoritas dan
metodologinya dalam menggali dan menentukan hukum Islam melalui sumber-sumber
hukum utama, yang selanjutnya menjadi disiplin umat Muslim dalam
melaksanakannya. Hal ini merupakan perkara cabang (furu), yang ukurannya adalah shawwab
dan khatta, yang memungkinkan salah
atau benar. Ukuran salahnya masih dalam ranah yang masih berdasar dan wajar,
atau memang memungkinkan berbeda karena makna, konteks dan redaksi yang beragam
menjadi kemudahan dan saling melengkapi. Yang hal ini tidak mengeluarkannnya
dari Islam. Jika benar mendapatkan dua
pahala dan salah mendapatkan satu pahala.
Kebenaran pokok
dalam Islam telah jelas dan harus dipertegas. Antara keimanan dan kekufuran,
kebenaran dan kebatilan, kelurusan dan kesesatan, dapat diindikasi dan
diidentifikasikan. Manusia tidak bisa berdiri pada posisi antara keyakinan dan
keraguan, antara kebenaran dan kebatilan, sebab dia akan dihadapkan pada dua
pertentangan yang akan menyakitkan hati dan dirinya, dan menjadikannya seorang
munafik.
Seseorang harus memiliki pendirian dan posisi antara keimanan atau
kekufuran.Jika ia seorang Muslim tidak boleh mengatakan “Saya yakin bahwa
Islam yang benar, tapi saya tidak bisa menyalahkan pendapat lain yang berbeda”. Pernyataan demikian sudah
dapat melunturkan keimanannya. Sebab konsekuensi dan kesempurnaan dari keimanan
adalah kufur atau mengingkari terhadap thogut atau yang bertentangan dengannya.
“Siapa yang kufur terhadap
thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada
buhul tali yang sangat kokoh (Laa ilaaha ilallaah)” (QS. Al
Baqarah:256).
Jika benar semua agama itu
adalah relatif sehingga menyamakan semua agama dan menganggapnya menuju pada Tuhan yang sama.
Lalu mengapa pada satu sisi Allah mengharamkan babi dan di sisi lain
dihalalkan-Nya? Tuhan adalah satu namun di sisi lain Tuhan itu dikatakan tiga?
Nabi Isa Alaihi sallam adalah utusan Allah dan ia diangkat ke langit, tapi
disisi lain ia dikatakan Tuhan, anak Tuhan dan mati di tiang salib? Nabi
Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam merupakan nabi
terakhir, namun ada yang mengatakan ada nabi setelahnya? Maka seseorang
tidak mungkin meyakini dua hal yang saling bertolak belakang, dan pasti ada kebenaran mutlak diantara dua pernyataan
yang berseberangan tersebut. Sebagai konsekuensinya ketika seseorang Muslim meyakini
apa yang telah diingkari oleh Allahsubhanahu
wa ta`ala akan dapat menyebabkan kekufuran.
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang
berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih
(sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maaidah :
72)
Sesungguhnya kafirlah
orang-orang yang mengatakan:"Bahwanya Allah salah satu dari yang
tiga", padahal sekali-kali tidak ada Ilah (yang kelak berhak disembah)
selain Ilah Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan
itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang
pedih."(QS.Al-Maa-idah : 73)
Meskipun setiap agama memiliki standar kebenarannya masing-masing, namun
titik kebenaran sebenarnya juga bisa didapatkan. Kebenaran-kebenaran yang
dianggap subjektif dari setiap agama, ketika didudukkan pada satu tempat ia
dapat menjadi kebenaran objektif ketika ia disepakati secara nyata dan bersama.
Sehingga pada puncaknya kita akan dapat mengetahui kebenaran diantara salah
satunya. Konsep utama dalam menilainya yaitu
”kejujuran” bukan subjektif-objektif.
Dalam pandangan Islam, dan jika ditelusuri
dalam sejarah dan kitab yang menjadi pengikut para Nabi dan Rasul sendiri,
telah disebutkan adanya keseragaman dari wahyu yang dibawa oleh Rasulullah
MuhammadShallallahu ‘alaihi wa
sallamdan nabi Isa Alahi
sallam yang dalam Kristen dikenal dengan Yesus, demikian juga nabi-nabi dan
Rasul sebelumnya.
Allah telah menurunkan petunjuk kebenaran yang tidak mungkin saling
bertentangan, sebagaimana esensi ajaran yang dibawa oleh para nabi, yaitu untuk
mentauhidkan Allah dan tidak mempersekutukan-Nya pada suatu apapun, tidak
mungkin seorang nabi yang telah menjadi pilihan berdusta dan mengubah-ubah
ajaran dari Tuhannya.
“Dan
(ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israel, sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu
Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan
datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)".(QS. Al-Shaff: 6)
”Kebenaran itu adalah dari
Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS
Al-Baqarah ayat 147)
Islam telah
memberikan dengan jelas bahwa Nabi Isa adalah seorang utusan-Nya dan mengakui
tentang penyimpangan yang dilakukan oleh pengikutnya pada waktu
selanjutnya.Maka perlu kita buktikan antara kebenaran dari keduanya, dari aspek
mendasaryaitu pada kitabyang menjadi pedoman ajarannya.
Pertama, Yesus mengajarkan Tauhid; Maka berkatalah
Yesus kepadanya “Enyahlah, iblis! Sebab ada tertulis: engkau harus menyembah
Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau harus berbakti”(Matius
4:10) Jawab Yesus “Hukum yang terutama ialah, dengarlah hai orang Israel, Tuhan
Allah kita, Tuhan itu esa/satu (Markus 12:29). Kedua, Yesus mengaku hanya utusan Allah;”Aku tidak dapat berbuat
apa-apa dari diriku sendiri, aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar,
dan penghakimanku adil, sebab aku tidak menuruti kehendakku sendiri, melainkan
kehendak Dia yang mengutus aku”(Yohanes 5:30), “Inilah hidup yang kekal itu,
bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus
Kristus yang telah Engkau utus”(Yohanes 17:3), “Jawab Yesus kepada mereka;
ajaranku tidak berasal dari diriku sendiri, tetapi dari Dia yang mengutus
aku..”(Yohanes 7:16)
Nabi Isa Alahi sallam adalah seorang Rasul
utusan Allah, sepanjang hidupnya ia tidak pernah mengaku sebagai Tuhan, tidak
pernah membuat nama agama Nasrani atau Kristen. Iamelanjutkan misi yang sama
yaitutauhid untuk meng-esa-kan Allah saja, tidak mengajarkan manusia untuk
menyembahnya. Hal ini juga yang telah banyak diakui bahwa Kristen telah banyak
mengalami perkembangan dan perubahan, serta pertentangan. Paulus lah yang
pertama kali mendirikan agama kristen, seorang yang mengaku sebagai Rasul.
Padahal dia sendiri selama hidupnya tidak pernah bertemu Yesus, bahkan namanya
tidak tercantum dalam daftar nama murid-murid yang disebutkan Yesus dalam kitab
Injil.
Pada masanya ia telah banyak melakukan
pemalsuaan dan pemasukan berbagai doktrin-doktrin baru sebagai penubuh agama
Kristen, yang selanjutnya juga diresmikan dan dijadikan agama resmi Roma dengan
berbagai penyesuaian dan perkembangannya pada Konsili Nicea 325 Masehi oleh
raja Konstantine.
Tidak heran kemudian banyak kontradiksi
terjadi antar ayat di dalam al kitab, serta pertentangan-pertentangan antara
ajaran nabi Isa dan Paulus sesudahnya. Dan justru saat ini ajaran Paulus lah
yang lebih diikuti dan diamalkan.
Pertama,
Yesus bukan Tuhan dan tidak sama dengan
Tuhan. Tuhan lebih besar dari Yesus;Kata Yesus “Sekiranya kamu mengasihi aku,
kamu akan bersukacita karena aku pergi kepada Bapa (Tuhan), sebab Bapa (Tuhan),
lebih besar daripada aku..(Yohanes 14:28). Yesus bersyukur kepada Tuhan; Pada
waktu itu berkatalah Yesus: “Aku bersyukur kepadaMu, Tuhan langit dan
bumi.(Matius 11:25). Yesus berteriak memanggil Tuhan; Kira-kira jam tiga,
berserulah Yesus dengan suara nyaring “Eli, eli, lama sabakhtani?” (Allah-ku,
Allah-ku, mengapa engkau meninggalkan aku? (Matius 27:46). Namun Paulus membuat
ayat baru bahwa Yesus adalah Tuhan, yang ketika itu dikirim kepada jemaatnya
yang ada di daerah Korintus dan di Roma
“Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu bapa, yang daripadanya
berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja,
yaitu Yesus Kristus, yang olehnya segala sesuatu telah dijadikan dan yang
karena dia kita hidup.”( 1 Korintus 8:6), “Sebab jika kamu mengakui dengan
mulutmu bahwa Yesus itu Tuhan, dan percaya dengan hatimu, bahwa Allah telah
membangkitkan dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan”(Roma
10:9)
Kedua, Yesus melarang makan babi. “Juga babi, karena
memang berkuku belah, tetapi tidak bermamah biak; haram itu bagimu. Daging
binatang itu janganlah kamu makan dan jangan pula kamu terkena
bangkainya”(Ulangan 14:8). Namun Paulus membolehkan makan babi, “Segala sesuatu
halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatunya halal bagiku,
tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh sesuatu apapun”(1 Korintus
6:12).
Ketiga, Yesus melarang minuman keras. “Oleh sebab
itu, peliharalah dirimu, jangan minum anggur atau minuman yang memabukkan dan
jangan makan sesuatu yang haram”(Hakim-hakim 13:4). Sedangkan Paulus
membolehkan minuman keras, “Sebab kerajaan Allah bukanlah soal makan dan
minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan suka cita oleh roh
kudus”(Roma 14:17).
Keempat, Yesus disunat atau dikhitan. “Dan ketika
genap delapan hari, dan ia harus disunnatkan, ia diberi nama Yesus, yaitu nama
yang disebut malaikat sebelum ia dikandung ibunya”(Lukas 2:21). Paulus melarang
untuk sunat, “Sesungguhnya aku, Paulus berkata kepadamu; jikalau kamu
menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu”(Galatia 5:2)
Selain beberapa hal tersebut, masih banyak
lagi perkembangan yang terjadi dalam doktrin Kristen, khususnya setelah
terjadinya sekulerisasi pada tubuh Kristen, setelah persaingan sengit antara
gereja dan ilmuan, antara doktrin agama dan realitas kehidupan serta ilmu
pengetahuan di Barat, yang saling berlawanan dan tidak berkesesuaian.
Diperkirakan
antara tahun 1481 hingga 1901, korban pembantaian Dewan Inquisisi mencapai 300
ribu jiwa termasuk 30 ribu jiwa dibakar hidup-hidup, yang banyak diantaranya adalah para ilmuan, seperti sarjana
fisika terkemuka Bruno. Ia dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Selain
Bruno, Galileo Galilei juga harus menjalani hukuman sampai mati di penjara
karena pendapatnya yang menyatakan bahwa bumi beredar mengitari matahari, gereja juga menolak teori heliosentris yang menyatakan bahwa bumi itu
berbentuk bulat dan berpendapat bahwa bumi itu datar. Ketika ilmuan Islam
ratusan tahun sebelumnya mengidentifikasi bahwa penyakit itu disebabkan adanya
mahluk kecil yang mempengaruhinya, doktrin Kristen menganggapnya bahwa penyakit
disebabkan dari roh jahat, sehingga mereka menolak dan tidak mengakui adanya
ilmu pengobatan, dan banyak lagi lainnya.
Hal ini pula yang selanjutnya yang
mengakibatkan sumber kebenaran dan ilmu pengetahuan di Barat tidak memasukkan
wahyu sebagai sumber ilmu dan standar kebenaran yang tetap dan universal. Terus
menduga-duga dan tidak menemukan kebenaran, namun tidak menduga bahwa Islam
merupakan sumber kebenaran.
Kebenaran Hidup
Maka pemahaman
relativisme yang menganggap bahwa tidak ada kebenaran, merupakan tidak mungkin,
jika diaplikasikan dalam kehidupan nyata, ia akan menjadikan kehidupan ini
kacau dan tidak ada lagi kebenaran yang disepakati secara bersama. Bayangkan
jika banyak yang mengakui diri sebagai presiden dan ia dianggap mungkin saja ia
benar, mereka akan berebut mengurusi pemerintahan dengan sekehendaknya. Atau
dalam melakukan transaksi jual beli tidak ada nilai yang mutlak atau
kisarannya, seseorang akan mengambil dan membayar dengan sesukanya.
Terlebih utama
dalam masalah agama, tidak bisa dikatakan semua agama relatif atau membenarkan
semua agama, seolah sudah mempelajari semua agama, padahal jumlah agama ada
ribuan di dunia. Kemudian latah dan tidak sadar ikut-ikutan, mengatakan semua
agama benar dan semua agama mengajarkan kebaikan.
Dampak orang yang selalu
dalam keraguannya akan membuat kesusahan, keresahan, kecemasan, kesempitan,
sehingga tidak ada lagi yang ia percayai dan yakini, hidupnya seperti orang
gila, tidak bertujuan dan tidak jelas akan kemana.
Karena kebenaran mendasar ada dalam agama,
maka seharusnya meyakininya. Iman itu adalah keyakinan, keyakinan itu akan
mengantarkan pada kebahagiaan. Tidak ada manusia yang akan bahagia di dunia
kalau tidak yakin. Sebab bahagia itu bukan pada pemenuhan fisik, orang yang
bahagia adalah orang yang yakin pada sesuatu dan hidup dalam keyakinannya,
hidup dalam tujuan yang telah diyakininya, dan yakin terhadap tujuan hidupnya.
Dan semua kebenaran
itu hanya ada di dalam Islam, berdasarkan segala bukti dan kesempurnaannya.
Demikian yang telah berlangsung dan akan dijanjikan-Nya. Tinggal sekarang
seseorang membuka dan mempelajarinya. Sebab tidak sama orang yang bangun dan
tidur, yang duduk dan berdiri, yang diam atau mempelajarinya, ia mampu untuk
dibedakan dan mendapat kebenarannya. (Galih)
Sumber:
[1]
Dr.
Syamsuddin Arif,
Filsafat Ilmu:Perspektif
Islam dan Barat (GIP:Jakarta,2013) Hal.112
[2]
Dr.
Syamsuddin Arif,
Filsafat Ilmu:Perspektif
Islam dan Barat (GIP:Jakarta,2013) Hal.114
[3]
Dr.
Dinar Dewi Kania,
Filsafat Ilmu:Perspektif
Islam dan Barat (GIP:Jakarta,2013) Hal.107
[4] Dr.Syamsudiin Arif, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran (GIP:Jakarta,2008) Hal.208
[5] Ibid, Hal.209
[6] Abdullah M. Al-Rehaili, Bukti kebenaran Al Qur`an, Yogyakarta: Tajidu
Press, 2003
.[7] Dr. Dinar Dewi Kania, Filsafat
Ilmu:Perspektif Islam dan Barat (GIP:Jakarta,2013) Hal.101
[8] Dr.Syamsudiin Arif, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran (GIP:Jakarta,2008) hal.212]
[9] Ibid, Hal.210
[10] Ibid, Hal.216
[Dan berbagai sumber lainnya]
0 komentar:
Post a Comment