Manusia sebagai mahluk yang telah diciptakan oleh Allahsubhanahu wa ta`ala dengan sempurna, telah diberikan kemampuan dan daya untuk mampu
mencapai kebenaran. Meski juga dengan keterbatasannya, tapi tidak sampai
menggugurkan nilai kebenaran dan keabsahan ilmu pengetahuan dan kenyataan yang
didapatkannya.
Manusia normal, pada umumnya mampu
untuk memilah, membedakan, menilai dan menentukan, mana yang
benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
berguna dan mana yang berbahaya, dan seterusnya. Dengan kapasitas diri dan
ilmunya, secara lahir dan batinnya, mental dan spiritualnya, akal dan hatinya,
yang menjadi diameternya.
Maka dalam Islam, mengetahui dan mengenal
bukanlah sesuatu yang mustahil. Yang masih dipertanyakan atau dapat
dinegasikan. Tidak benar kemudian ungkapan-ungkapan yang menyudutkan atau
membenarkan segala hal, sebagaimana kaum sofis atau relativisme yang menganggap
manusia tidak dapat mengetahui kebenaran.
Pendirian
kaum Muslimin bahwa kebenaran itu bisa didapatkan. Dalam soal ini disimpulkan
oleh Abu Hafs Najmuddin ‘Umar ibn Muhammad an-Nasafi dalam kitab Aqa`id
menjelaskan secara ringkas“haqa’iqul asyya’ tsabitah, wal-ilmu biha
mutahaqqiqun, khilafan lis-sufistha’iyyah”.Ditegaskan bahwasanya hakikat, kuiditas atau esensi dari segala
sesuatu itu tetap (dan oleh karena itu bisa ditangkap), tidak berubah
(sebab yang berubah-ubah itu hanya sifat-sifatnya, a’rad, lawahiq
atau lawazim-nyasaja), sehingga ia bisa diketahui dengan jelas. Maka
ilmu tentang kebenaran tidak mustahil untuk diketahui oleh manusia sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Qur’an surah az-Zumar (39:9): “…. katakanlah: Apakah
sama, orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?”[1]
Jadi kuiditas atau esensi dari
segala sesuatu itu tetap. Gula rasanya manis, garam rasanya pahit, manusia bisa
dibedakan dengan monyet, meskipun monyet dipakaikan baju, ia akan tetap jadi
monyet dan tidak akanpernah menjelma menjadi manusia. Seorang anak bernama
agus, meskipun ia tumbuh menjadi remaja, dewasa dan tua dengan perubahan
fisiknya ia tetap akan dikenal sebagai agus, tidak akan berubah menjadi slamet
dan tidak akan dipanggil slamet, selama orang telah mengenalnya dan tidak
mengubah namanya.
Berbeda dengan kaum relativis yang mengganggap
kebenaran dari suatu objek itu tidak ada, sehingga selalu saja beralasan,
meragukan, keras kepala dan tidak akan pernah mencapai kebenaran. Misal
mengatakan “gula itu rasanya bisa saja manis atau pahit, tergantung orangnya,
kalau ia sehat bisa manis, kalau ia sakit bisa jadi pahit”, “api itu rasanya
bisa saja panas atau tidak, tergantung orangnya, kalau ia kebal tidak akan
panas”.
Namun esensi atau hakikat segala sesuatu itu tetap
dan tidak berubah. Semut yang tidak bisa berpikir sajatidak pernah salah untuk
mengambil antara gula yang manis dengan garam. Api zaman dahulu dan zaman
sekarang juga tetap sama dan tidak berubah, ia panas dan dapat membakar, jika
kaum relativistidak yakin, bisa dibuktikan denganberdiri di atasnya selama beberapa
jam saja. Presiden Indonesia yang pertama itu adalah seorang laki-laki, dan itu
sudah diakui, namun orang relativis bisa saja mengatakan ia bisa jadi wanita
atau banci. Wanita cantik atau kembar sekalipun, yang sering dikatakan relatif,
sebenarnya dalam hakikat yang dapat dinilai seseorang, memiliki nilai lebih dan
mutlak yang dapat dipilih.
Yang perlu digaris bawahi bahwa kebenaran mutlak
sesungguhnya adalah dari Allah, manusia memiliki kebenaran atau kenyataan yang
bersifat sementara, kecuali pada esensi diri dan ilmunya yang kelak akan
diperhitungkan.Dalam kehidupan, ukurannya bukan dari hukum kausalitas atau
sebab akibat yang dapat diindra secara fisik saja seperti api rasanya panas.
Namun sebenarnya ada sunnatullah atau ada kehendak Allah di dalamnya
yang menjadikan sesuatu itu berjalan atau bereaksi sebagaimana kita dapatkan
pada umumnya. Allah bisa saja menjadikan api itu dingin, sebagaimana
menjadikannya panas, seperti pada kisah nabi Ibrahim Alaihi sallam. Bisa
menjadikan seseorang berjalan dengan wajahnya, sebagaimana menjadikannya dapat
berjalan dengan kakinya, ketika dihari pembalasan, dan lainnya, agar seseorang
tidak sombong dan dapat mengambil hikmah dibaliknya. Semua dapat berlaku jika
Allah menghendaki dan memberikan izin padawaktu yang telah ditentukan.
Islam menetapkan bahwa manusia dapat
mengetahui kebenaran adalah melalui tiga sumber yaitu persepsi indra (idrak
al-hawass), proses akal yang sehat (ta`aqqul), serta intuisi hati (qalb), dan
melalui informasi yang benar (khabar shadiq). [2] Sebagaimana yang disebutkan
dalam Al Qur`an. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.”(QS.an Nahl:78). “Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS.al
Isra:36). “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan
bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya serta
menyaksikannya.”(QS.Qaf:37). “Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, serta
mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga
yang dengannya dapat mendengar? Memang sesungguhnya bukanlah mata itu yang
buta, tetapi telah buta hati yang ada di dalam dada.” (QS.Al Imran:138). “Ini
adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Imran:138). “Sesungguhnya telah datang
kepadamu cahaya dan Allah, dan kitab yang memberi penjelasan.”(QS.Al
Ma`idah138). “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata,
(tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Qs.Al A`raf:179)
Panca Indera
Manusia memiliki
lima kapasitas dari pancaindra yang
diberikan Allah kepadanya, yang mana merupakan saluran pertama manusia untuk
mengetahui kebenaran atau fakta yang didapatkannya, yaitu daya penglihatan,
pendengaran, daya sentuh, daya cium dan daya rasa.
Seseorang dapat
meraba dan merasakan bentuk dan rasanya roti yang manis, sehingga ia yakin
untuk memakannya. Pada daya melihat, kita dapatkan secara jelas warna, bentuk,
jenis dan lainnya.Seandainya ada seorang anak yang buta sejak kecil, maka warna
itu tidak wujud baginya, warna tidak ada dalam memorinya. Ia tidak bisa
membuktikan ada warna hitam jika tidak mengetahui adanya warna putih, warna
hijau, warna biru, dan sebagainya, kecuali dengan bersandar pada yang dapat
melihat. Informasi tentang warna hanya bisa dijangkau dengan daya penglihatan,
semisal buah apel meskipun disentuh, dibunyikan dan dicium tidak akan pernah
menghasilkan warna hijau. Masing-masing pancaindera ini memberikan informasi
atau konsep ilmu tersendiri. Yang hal itu bisa kita ambil sebagai kebenaran
pada sumber realitas atau empiris.
Namun
sifat dari pancaindera itu sendiri terbatas, dan terkadang menghasilkan ilmu
yang masih parsial. Untuk mengindera secara fisik saja kita tidak dapat
menyimpulkannya dengan benar. Seseorang dapat merasakan adanya angin, namun
tidak akan mampu melihat dan menggambarkan bagaimana rupanya. Bisa merasakan
rasa manis, namun tidak bisa menunjukkandi mana letak manis
tersebut.Sebagaimana jugadikisahkan oleh Imam Ghazali ketika seorang melihat
bulan di langit pada kegelapan malam, ukuran bulan terlihat kecil, padahal
sebenarnya bahwa bulan itu besar. Itulah beberapa keterbatasan panca indra.
Akal
dan Hati
Akal yang normal
merupakan saluran ilmu yang menjadi kapasitas manusia untuk dapat menilai,
memilih, memilah, membandingkan, membedakan antara yang benar dan salah, yang
baik dan buruk, yang betul dan keliru, dan lainnya.
Akal merupakan
penyempurna dari kelemahan pancaindera. Akal dapat menalar danmenjadi alur
pikir untuk menyimpulkan lebih luas. Sebagaimana telah disebutkan oleh Imam
Ghazali, meski manusia ketika itu belum sampai ke bulan, namun bisa memberikan
kesimpulan bahwa bulan itu besar, tidak seperti yang terlihat oleh mata bahwa
bulan sebesar uang logam. Sama halnya ketika kita melihat rumah dari jarak jauh
yang terlihat sebesar genggaman tangan, namun akal akan menafikkannya, dan
dapat menyimpulkan bahwa rumah tersebut besar.
Orang-orang arab
dahulu tahu, bahwa adanya kotoran unta, menandakan ada unta yang pernah atau
lewat di tempat tersebut. Adanya kurma menandakan adanya pohon yang membuahkannya.
Adanya asap yang keluar dari rumah, menandakan adanya api di dalam rumah
tersebut.
Akal memiliki tiga kriteria, yaitu wajib,
mustahil dan mungkin. Wajib bagi akal adalah sesuatu yang akal kita tidak bisa
menolaknya dan harus menerimanya. Seperti seorang anak lebih muda dari
bapaknya, keseluruhan lebih besar daripada sebagian. Jadi ada sesuatu yang akal
tidak bisa menolak.
Yang mustahil bagi akal, atau akal tidak
dapat menerimanya. Seperti seorang anak lebih tua dari bapaknya dan sebagian
lebih besar daripada keseluruhan. Ini adalah yang mustahil bagi akal.
Dan yang paling banyak
adalah mungkin bagi akal. Seperti anak lebih besar dari bapaknya, istri lebih
tua dari suaminya.
Dalam Islam kematangan akal ini menjadi salah
satu syarat seseorang untuk dibebankan suatu kewajiban yaitu ketika baligh, sebab ia sudah mampu berpikir
dan membandingkan dengan sempurna.
Islam mengakui sumber ilmu dari panca indera (empiris) dan akal
(rasional), sebagaimana diadobsi dalam dunia akademik Barat saat ini. Namun
sebenarnya tidak cukup dan terbatas pada dua hal itu, orang-orang yang hanya
bersandar pada dua hal itu akan tergiring pada spekulasi atau praduga yang
tidak ada puncaknya, sehingga kebenaran bagi mereka akan terus berkembang dan
bisa berubah-ubah, tergantung dari perubahan dan kebutuhan waktunya, satu teori
bisa diganti dengan teori lainnya. Karena Barat juga tidak mengakui wahyu dan
hati sebagai sumber ilmu dan kebenaran, sehingga patokan utamanya hanya
berdasarkan pada pancaindra dan akal saja yang membuat praduga dan
keraguan-keraguan, serta kebingungan yang diangkat pada derajat “ilmiah”, bagi
mereka wahyu dan hati itu hanya pengetahuan dan bukan ilmu.
Selain dengan akal, proses berpikir juga
melibatkan hati, ia merupakan bagian tertinggi dalam diri yang dapat memikirkan
dengan jernih dan sesuai dengan fitrah dan nurani.
Menurut Imam
Ghazali hati juga memiliki entitas yang sama dan berkedudukan di hati. Qalb (hati) diibaratkan sebagai
istananya, sedangkan `aql (akal)
adalah rajanya. Keduanya memiliki fungsi kognisi (pengetahuan) dan afeksi
(sikap) karena keduanya mampu melakukan aktivitas berpikir sekaligus merasa. [3]
Hati kecil atau
hati nurani merupakan tempat untuk memikirkan lebih mendalam, dan penilaian
hati itu akan kembali pada fitrah atau alamiah seseorang sebagai makhluk dan
hamba Allah dalam kebaikan. Membunuh tanpa ada alasan itu adalah bentuk
kejahatan. Menyakiti atau menzalimi seseorang merupakan perbuatan yang tidak
disukai. Mencuri merupakan keburukan. Semua merupakan nilai lahir yang dimiliki
manusia, selama hatinya tidak tertutupi oleh keingkaran dan kesesatan. Tidak
ada seorang yang menerima dan meminta agar dirinya disakiti dan barangnya dicuri, karena menganggap hal itu relatif.
Jika pancaindra
hanya dapat menjangkau secara fisik, namun akal dan hati dapat memikirkan lebih
luas dan mendalam lagi. Mengapa daun warnanya hijau? Karena ada klorofilnya
yang membuat warna hijau. Tapi mengapa daun tersebut berwarna hijau dan tidak
berwarna merah atau coklat saja? Mengapa alam semesta beredar pada garis
edarnya dan tidak saling bertabrakan dan mendahului dengan lainnya? Mengapa
matahari dibuat dengan begitu panasnya dengan jarak yang begitu jauhnya,
padahal jika lebih sedikit saja didekatkan lagi akan dapat membakar bumi? Mengapa bumi diciptakan dengan berbagai
penunjangnya sehingga dapat menjadi tempat hidup manusia, tumbuhan dan hewan,
sedangkan diplanet lain tidak? Mengapa tubuh manusia terbentuk sangat
seimbangnya, antara DNA, sidik jari dan suara dari milyaran manusia tidak ada
yang serupa? Berbagai pertanyaan mendasar pada diri itu akan mengiring manusia
pada lahirnya yaitu kebutuhan dan keterbatasan terhadap sesuatu dalam jiwa dan
pikirannya.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka.”(QS.Al Imran 190-191)
Pancaindra, akal dan hati sebenarnya dapat mengiring seseorang
padakeyakinan tentang adanya Sang Pencipta, namun hal itu saja tidak akan
cukup. Keyakinan akan adanya sang
pencipta, harus dibimbing pada ilmu yang benar, sehingga tidak menduga-duga
bahwa Tuhan itu satu, dua, tiga atau ada puluhan. Tidak menduga-duga tentang
wujud Tuhan, sehingga digambarkan seperti manusia, ada yang berbentuk setengah
binatang, ada yang laki-laki dan wanita, semua berasal dari kreasi pemikiran
dan hawa nafsunya manusia. Membuat hukum yang sesuai dengan keinginannya, dan
tidak sadar mendiskriminasi yang lainnya. Atau juga menduga-duga dan
menyebarkannya pada manusia bahwa manusia berasal dari kera, hanya dengan
berdasar pada sejarah manusia secara fisiknya, yaitu tulang dan dagingnya, yang
sebenarnya lebih pada “sejarah tulang manusia” bukan sejarah manusia. Padahal
manusia memiliki memiliki “ruh” yang menjadi unsur esensi utama manusia. Seorang
bergerak dan beraktivitas sesuai dengan dorongan ruh atau jiwanya, oleh
karenanya seorang manusia yang tidak memiliki tangan atau kaki masih dikatakan
sebagai manusia, sedang seorang yang memiliki organ lengkap tapi tidak memiliki
ruh atau telah mati, sudah tidak dikatakan manusia.
Maka banyak hal yang dasarnya tidak harus bisa dijelaskan secara empiris,
namum bisa diterima secara rasional. Bagaimana menjelaskan secara ilmiah
seorang nabi Isa lahir dari seorang ibu tanpa ayah. Bagaimana mengetahui siapa
manusia pertama yang hidup di dunia ini. Adanya hari akhir yang akan
memperhitungkan manusia untuk dimasukkan ke surga atau neraka.
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.”(QS. Al `Alaq:1-5)
Ayat tersebut menuntut
manusia untuk membaca, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan indra dan akalnya.
Namun ilmu dan kebenaran juga bisa diperoleh langsung dengan anugrah Allah
langsung kepada manusia, sebagaimana pada para nabi atau wali Allah.
Seperti Nabi Ibrahim Alaihi sallam yang
mencari Tuhannya. Ia melihat bintang dan berkata “Inilah Tuhanku” namun bintang
itu terbenam dan ia berkata “Aku tidak suka kepada yang terbenam”. Ia melihat
bulan yang terbit, namun bulan itu juga terbenam. Hingga melihat matahari yang
lebih besar, namun matahari tersebut juga terbenam meninggalkannya, ia tidak dapat
menerimanya dan berkata ”Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku termasuk orang-orang yang tersesat.” Kemudian Allah memberikannya
petunjuk atau ilmu hingga sampai pada kesimpulan “Aku hadapkan wajahku kepada
(Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti)
agama yang benar, dan aku bukanlah temasuk orang-orang musyrik.”(QS.Al
An`am:79)
Maka Islam menetapkan sumber ketiga
untuk manusia mencapai ilmu dan kebenaran yaitu melalui kabar yang benar (khabar shadiq).