Hamka yang merupakan seorang ulama, juga dikenal
sebagai pujangga dan budayawan Nusantara. Semasa hidupnya ia memberikan
perhatian khusus terhadap budaya, dengan banyak berkiprah dan terlibat dalam
lembaga dan konfrensi kebudayaan nasional, serta minatnya pada bahasa yang
banyak tertuang dalam karya-karyanya yang mengandung sastra dan cita rasa
istimewa. Karena kesenangannya kepada kebudayaan, Hamka bahkan pernah berkata “Dalam politik tangan saya pernah terbakar,
namun dalam kebudayaan hati saya terobat, luka saya terdamak.”[1]
Pentingnya permasalahan bahasa dan budaya bagi
Hamka, sehingga ia menyeru dan mengingatkan kepada angkatan muda atau para
generasi selanjutnya, untuk memperhatikan dan menangani masalah ini. Sebab
bahasa dan kebudayaan memiliki pengaruh yang sangat terkait dan berperan
strategis dalam dakwah. Yang dalam hal
ini bisa dipahami menjadi adab bagi Hamka dalam memandang bahasa dan
kebudayaan.
Dalam Seminar Sejarah Riau, di Universitas Riau
(UNRI) Pekanbaru, 20-25 Mei 1975. Hamka menyerukan kepada para angkatan muda,
agar mereka tidak meninggalkan huruf pusaka Islam di Tanah Melayu, yaitu huruf
jawi, huruf melayu atau huruf pegon:
“Dan kepada sarjana-sarjana Angkatan Muda di Riau
baik dari UNRI atau dari IAIN, saya serukan, jangan diabaikan huruf pusaka
kita, yaitu huruf arab yang telah kita pakai, beratus tahun lamanya. Di
Malaysia di disebut Huruf Jawi, sedang di Indonesia di disebut huruf Melayu.
Kasihan huruf pusaka Islam itu, Indonesia menolak Melayu, Malaysia menolak ke
Jawa, akhirnya terbenam di Selat Malaka! Lalu karena Indonesia dan Malaysia
telah merdeka dari penjajahan bangsa Barat, kita gantilah huruf pusaka
penjajah. Dengan demikian jadi sukarlah kita menggali sumber kebudayaan nenek
moyang kita yang tersimpan dalam huruf itu. Sehingga ajaran Abdurrauf Singkel,
Dr. Rinkeslah yang menggalinya, Hamzah Fansuri digali oleh Doorensbos,
Syamsuddin Sumantri digali oleh Nuwenhuyze. Kita sendiri tidak sampai ke
sumbernya, kalau tidak melalui apa yang disuguhkan oleh sarjana-sarjana Barat itu.”[2]
Huruf jawi atau melayu bagi Hamka memiliki pengaruh
dan peran yang sangat besar untuk menjaga ketersambungan identitas dan
pemahaman terhadap kebudayaan dan sejarah asli di Nusantara. Melalui bahasa,
seseorang akan bisa saling terhubung dan memahami makna dan maksud dari setiap
bahasa atau kata yang dikeluarkannya, sehingga akan didapatkan keseragaman
pemikiran dan rasa. Kurangnya perhatian angkatan muda saat ini untuk
melestarikan huruf jawi yang merupakan perwakilan dari bahasa dan budaya,
diperuncing dengan ketidak satuan antara negara-negara yang dahulu terjalin
dalam satu rumpun Melayu. Maka semakin terputuslah sanad atau ketersambungan ilmu dan identitas keagamaan di
Nusantara, sebab sangat sedikit yang sadar dan membelanya. Padahal para pendiri
dan nenek moyang mereka dahulu berkeluarga dan satu keturunan, mereka
berinteraksi dan menulis banyak kitab melalui bahasa Melayu dan huruf jawi
tersebut.
Banyak dari karya dan pemikiran ulama serta
tokoh-tokoh asli tanah Melayu, yang akhirnya diteliti dan dikaji oleh para
orientalis atau angkatan muda Barat. Mereka kemudian menerjemahkan dan
menafsirkan tulisan-tulisan tersebut melalui kebudayaan, kepentingan dan
pandangan hidup mereka. Yang hal ini kemudian diambil dan kita terima secara
latah sebagai penafsiran dan kebudayaan asli milik kita. Hamka menuliskan
bagaimana pola dan kebiasaan yang dilakukan para orientalis:
Bangsa-bangsa yang menjajah kita, meskipun
menyelidiki kebudayaan dan filsafat kita, itu hanya untuk kepentingan mereka,
bukan untuk kepentingan kita. Sungguhpun demikian, sekali-kali dikirim Tuhan
juga orang-orang besar, untuk menunjukkan bahwa api itu belum mati.[3]
Bahasa Melayu merupakan bahasa tua dan telah dipakai
oleh para nenek moyang di Nusantara, untuk memberikan persatuan dan menanamkan
nilai-nilai pandangan hidupnya. Namun
bahasa ini kini sudah sangat asing dan hampir tergerus oleh bahasa dan budaya
yang datang setelahnya. Generasi muda saat ini pun lebih kenal dan merasa
bangga dengan bahasanya yang terpengaruh dengan modernisme dan gaya hidup
Barat, serta yang didiktekan oleh kaum Katholik di Indonesia. Akhirnya secara
perlahan bahasa Melayu hilang dan bahasa Indonesia mulai berubah, membentuk
istilah dan makna baru dalam keseharian serta pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Hal ini menurut Hamka dapat menjadi sebuah kehinaan, karena memilih
satu identitas yang seharusnya bukan miliknya, kemudian melupakan jati dirinya:
Sebagaimana
terpandang hina dan terpencil dari masyarakat orang yang meninggalkan bahasa
ibunya atau bahasa tanah airnya yang dengan dia lidahnya lebih sanggup
menerangkan segala perasaan hatinya, lalu meminjam bahasa dan logat orang lain
semata-mata karena hendak menjadi megah, maka lebih terpandang hina lagi
manusia yang melebihi daripada kekuatan dan kesanggupannya, atau memilih yang
sebenarnya bukan pakaiannya.[4]
Perhatian Hamka yang serius pada
bahasa Melayu, ialah karena ia memiliki alasan yang cukup kuat untuk
mempertahankannya. Bagi Hamka, bahasa Melayu merupakan bahasa pokok dari bahasa
Indonesia, dan bahasa Melayu merupakan bahasa yang memiliki pengaruh Islam yang
sangat dominan dalam kehidupan dan sastra Melayu. Lidah melayu yang telah
menerima Islam sejak abad-abad pertama tahun hijriyah, tidak asing dengan
istilah-istilah Arab yang merupakan bahasa agamanya. Sehingga bahasa Arab ini
telah memperkaya istilah-istilah dan makna
bahasa Indonesia. Yang mana hal ini pernah disampaikan Hamka pada sidang
Konstituante dan juga diterima dalam seminar kebudayaan Indonesia.[5]
Dalam Seminar Kebudayaan Melayu di Kuala Lumpur
tahun 1974, Hamka bahkan menegaskan pemikirannya, bahwa “tak ada Melayu tanpa Islam dan di balik Melayu adalah Islam.”
Demikian pandangannya sebagai seorang ulama yang telah lama melintang dan hidup
dalam dua periode sejarah, pada masa kolonial, di mana dia merasakan dan
berinterksi langsung menggunakan bahasa dan tulisan melayu, hingga ia memasuki
periode baru masa kemerdekaan yang mulai meninggalkan tradisi keilmuan ini.
Hamka juga merupakan seorang penghulu adat di Minangkabau, yang dahulu pernah
menjadi tempat konflik antara kaum agama dan kaum adat, yang akhirnya telah
dapat disatukan dengan mendudukkan keduanya secara tepat. Kata Hamka “Adat bersendiri Syara` dan Syara` bersendi
Kitabullah.”[6]
Hamka seringkali mengatakan dalam gurauannya “Melayu tanpa Islam hilang ,,me”nya, dan
layulah dia. Minangkabau tanpa Islam hilang ,,minang”nya, jadi kerbaulah dia.” [7]
Yang menunjukkan pendirian Melayu tidak bisa dipisahkan oleh Islam. Rumpun
Melayu memang memiliki akar yang cukup kuat pada agama Islam dengan bahasa
Arabnya dalam membentuk kebudayaan dan intelektualitas masyarakat Tanah Melayu.
Dapat ditemukan hingga saat ini, banyaknya kosa kata bahasa Melayu yang
merupakan derivasi dari bahasa Arab, seperti musyawarah, adil, adab, akhlak,
hikmah, dan serta lainnya. Dan hal yang cukup wajar jika setiap kebudayaan dan
komunitas itu bisa terbentuk melalui pengembangan atau pengaruh dari suatu
kebudayaan yang lain atau telah ada sebelumnya. Namun yang utama adalah
bagaimana ketersambungan makna dan pemahaman seseorang dari bahasa sebelumnya
dapat terjaga. Hamka memberikan pembelaan terhadap bahasa Indonesia yang
dianggap kearab-araban dengan menyatakan:
Kalau
saudara-saudara kita dari Jawa mengambil istilah-istilah Sansekerta yang
ke-Hindu-hinduan, dan orang-orang didikan Barat mengambil bahasa Belanda atau
Inggris, kitapun boleh menunjukkan ke-Islaman kita. Tak perlu takut dan merasa
rendah diri dikatakan ke-Arab-araban.[8]
Pada tahun 1960, ketika Hamka
menerjemahkan tulisan ayahnya Dr. Abdul Karim Amrullah “Sullamul Ushul Yurqa` Bihi Samau `Ilmil Ushul” dari huruf jawi ke
huruf latin. Ia berkomentar, bahwa tulisan ayahnya tersebut 45 tahun lalu masih
menggunakan bahasa Melayu yang sangat terpengaruh dengan pandangan hidupnya
yang condong ke bahasa Arab, sebagaimana juga orang berpendidikan Barat yang
condong ke bahasa Belanda dan Inggris. Dahulu bahasa Melayu ditulis dengan
huruf Arab-Melayu atau huruf jawi, sekarang ditulis dengan huruf latin.[9]
Maka untuk dapat kembali menggali dan menemukan ketersambungan sanad keilmuan dan pandangan hidup dari
para leluhur bangsanya, tidak bisa tidak, harus dapat menggunakan dan
melestarikan bahasa ini. Hamka menyindir tentang masalah ini:
Bagaimana akan dapat menumpahkan fikiran, kalau
bahasa sendiri tidak dapat dikuasai? Cobalah baca kitab-kitab karangan ahli
agama 40 atau 50 tahun yang lalu. Tidakkah kita tertawa geli melihat susunan
karangan itu? Tapi itu jauh lebih baik daripada kaum intelektual yang tidak ada
sama sekali hubungannya dengan bahasa dan jiwa bangsanya.”[10]
Sangat pentingnya pengaruh dan peran
bahasa, Hamka sampai menaruh kecurigaan kepada sarjana-sarjana Kristen yang
mempelajari bahasa Indonesia dan kebudayaan daerah, terutama kebudayaan Jawa.
Ia mengatakan “Usaha mereka itu pasti tak
lepas dari tujuan mengkristenkan bangsa Indonesia.”[11] Menurut Hamka
latar belakang Kristen menghidupkan kembali Kejawen tidak terlepas dari upaya
kristenisasi, dan hal itu terbukti sampai saat ini. Oleh sebab itu, ia
mengingatkan kepada kawannya di Yogya (Pimpinan Muhammadiyah Yogya) saat itu,
agar lebih giat untuk menekuni dan menggali nilai-nilai Islam dalam kebudayaan
Jawa.
Hamka misalnya ketika mempertahankan
argumentasinya pada penafsiran Pancasila yang merupakan konsensus para ulama
dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Melandaskan bahasanya pada kesepakatan
Kongres Bahasa Indonesia di Medan tahun 1954, yang dijelaskan oleh
sarjana-sarjana dan ahli bahasa, bahwa bahasa Indonesia yang menjadi bahasa
negara, berasal dan berdasar kepada bahasa Melayu. Sehingga sampai sekarang
tata bahasa Indonesia masih tetap bahasa Melayu. Dituliskan oleh Hamka dua poin
utamanya:
1.
Telah sama
pendapat ahli-ahli bahasa sejak dari Melayu Lama (Klasik) sampai kepada zaman
kita sekarang ini, terutama di sumber-sumber asli bahasa Melayu sebagai Riau
dan Johor bahwa “Kepercayaan” dalam bahasa Melayu adalah terjemahan daripada
“Iman” dalam bahasa Arab.
2.
Di dalam
naskah-naskah asli Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas dituliskan di ujung
pasal 29 ayat 2 “Menurut agama dan
kepercayaan itu.”[12]
Hamka kemudian berkomentar bahwa, kata-kata “itu” di belakang kalimat “Menurut agama dan kepercayaan itu”
adalah merujuk pada pemahaman bahasa Melayu, yang menjadi Bahasa Negara
Republik Indonesia. Bahwa diantara Agama dan Kepercayaan, bukanlah dua hal,
melainkan satu. Kata “itu”
menunjukkan kesatuan di antara Agama dengan Kepercayaan, dalam arti Agama dan
Iman. Bukan merupakan suatu bentuk kepercayaan yang dianggap sekedudukan dengan
agama, yang mencoba membuat upacara menyembah sendiri, cara mengubur mayat
sendiri atau akad nikah sendiri.
Bahasa merupakan bagian dari budaya, dan bahasa
mencerminkan budaya serta menilik akan sejarah. Pentingnya bahasa, karena ia
merupakan pengantar pada budaya dan menunjukkan pandangan hidup manusia. Atas
dasar ini, Hamka dimasa hidupnya mengambil peran dengan menerjunkan diri untuk
banyak menulis dan memberikan pengarahan tentang bahasa dan budaya. Sebab bagi
Hamka mengarang merupakan suatu mata rantai perjuangan yang panjang dalam
menegakkan Islam dari sektor kebudayaan, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
seni, akhlak, budi dan daya, serta ilmu pengetahuan, dengan Islam sebagai
sumbernya.[13]
Menjelaskan tentang maksud kebudayaan, Hamka
mengutip pidato Dr. Mohammad Hatta ketika masih menjadi wakil presiden pada
Kogres Kebudayaan di Bandung, bahwa kebudayaan adalah pertalian di antara
kejadian alam (Natur) dengan usaha
manusia menyesuaikan hidupnya dengan alam yang terbentang. Beliau jelaskan
bahwa air yang turun berlimpah dari gunung karena adanya hujan (Natur), kemudian manusia mengambil lahan
dan manfaat di bawahnya, untuk membuat sawah, menyemaikan benih padi untuk
dimakan, mendirikan rumah, itulah kebudayaan (Culture).[14]
Termasuk dalam budaya keagamaan di Indonesia, adalah kekhasan ukiran dan
arsitektur bangun Masjid serta rumah adat yang memiliki nilai Islam dan
kebudayaan Melayu. Juga seperti penggunaan songkok dan sarung yang mencirikan
identitas Muslim di Indonesia.
Menurut
Hamka pada Symposium Kebudayaan Islam di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 4
Desember 1979, setiap manusia pasti memiliki kebudayaan dan kebudayaan tidak
bisa kosong dari kehidupan manusia. Baik manusia dan bangsa-bangsa yang masih
primitif hingga yang telah modern, memiliki kebudayaannya masing-masing. Hamka
kemudian menyebutkan bahwa kebudayaan yang kita anut, yaitu Kebudayaan
Indonesia, yang sebagian besarnya timbul secara wajar dari Islam. Sehingga
wajar pula ketika akan mengkajinya, harus melalui dasar Islam. Karena golongan
terbesar dari bangsa Indonesia dan pelaku kebudayaan adalah orang-orang Islam.
Agama Islam menciptakan budaya,
namun agama Islam bukan agama budaya. Allah telah memberikan inspirasi dan
ilham bagi manusia untuk menimbulkan suatu amal budaya yang penting untuk
meresapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya. Menurut Hamka, bahwa
hasil wahyu merupakan kebudayaan yang setinggi-tingginya, dan kebudayaan Islam
ialah kebudayaan Tauhid. “Adat hendaklah
bersendi syara` dan syara` bersendi Kitabullah.” Sedangkan orang materialis
akan berkata bahwa wahyu bukan budaya, sebab mereka tidak percaya akan adanya
Allah yang memberikan wahyu.
Hamka menyimpulkan bahwasanya kebudayaan meliputi
seluruh kegiatan hidup. Sehingga kata “Tamaddun”
dan “Hadlarah” dalam bahasa Arab atau
“Civilization” dalam bahasa Inggris
telah termasuk ke dalamnya. Kemudian dibuatlah bagian-bagiannya untuk
memudahkan pemikiran. Yaitu kebudayaan meliputi ilmu pengetahuan, filsafat dan
seni.[15]
Kebudayaan dalam pandangan manusia beradab, adalah melihat alam ini sebagai
bagian dari kebenaran yang menghubungkan pada keindahan dan pengenalan
kepada-Nya, melakukan interaksi atau amal kegiatan pada alam yang merupakan
bahan mentah yang disediakan oleh Allah untuk diolah dan dipimpin oleh manusia.
Mengambil manfaat dan menjauhi yang mudharat melalui kebudayaan.
Perkembangan bahasa sekarang yang dinamai Bahasa
Indonesia, adalah dari bahasa Melayu klasik yang ditulis oleh ulama-ulama
Islam. Sejak Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji dan Abdullah bin Abdul Kadir
Munsji. Dan bahasa itu kemudian ditulis dalam huruf Arab-Melayu, huruf Jawi
atau huruf Pegon, yang menjadi huruf kesatuan bangsa. Wali Songo juga
memberikan sumbangan yang banyak sekali pada filsafat Jawa, bahkan ke dalam
wayang sekalipun. Mangkunegara keempat memberi orang Jawa nyanyian dalam jiwa
tasawuf Islam.[16]
Di daerah-daerah yang kuat Islamya, kuat pula
semangat gotong-royongnya, yang berpusat pada jamaah di langgar atau masjid.
Tetapi di tempat yang sisa Hindu masih berkesan, gotong-royong hanya dapat
kalau dipatrikan dengan “nuhun inggih” etiket di luarnya gotong-royong, namun hakikatnya
ialah persembahan wong cilik kepada kandjeng.[17]
Jika seorang pernah mengalami atau
merasakan masa kecilnya dalam lingkungan kebudayaan Melayu, kemungkinan ia akan
dapat menghayati bagaimana keelokan dan penjiwaan bahasa dan kebudayaan Melayu
menyatu dengan alam yang terkembang bersamanya, yang diciptakan oleh Allah dan
berasas pada agama Islam. Sehingga membuat mereka bisa hidup dengan tenang
meskipun sederhana, bahagia dengan kecukupan dan menikmati pada keindahan alam.
Inilah ke khas-an budaya Melayu yang merupakan identitas Muslim di Nusantara.
Berbeda halnya dengan kondisi dan kebudayaan saat ini, yang mulai dikungkung
oleh kemewahan dan glamoritas hidup hasil impor Barat. Menghilangkan seni jiwa
dan adab Islam. Sehingga membuat manusia tersesak dalam gaya hidup yang
mengejar kepuasan badan, lalai dalam mengingat tujuan hidup ke depan, serta
karam di bawah bangunan-bangunan tinggi yang menutup dirinya dengan alam. Hamka
memberikan beberapa kesimpulan tentang Kebudayaan di bawah ini:[18]
1.
Kebudayaan manusia akan selalu
mengalir ibarat air di sungai, menerima dan memberi.
2.
Kebudayaan adalah sejarah hidup
insani di dunia. Mempunyai zaman lampau, zaman sekarang dan zaman depan. Yang
sekarang adalah akibat dari yang lampau, dan yang di depan adalah hasil dari
yang sekarang. Apabila kita lupakan pertalian diantara lampau, kini dan masa
depan, sendatlah (mandek) jalannya kebudayaan.
3.
Islam mempunyai konsepsi yang
cukup untuk turut mengisi kebudayaan dunia. Ini bukanlah teori sekarang,
melainkan kesaksian sejarah.
4.
Bangsa Indonesia dalam dalam
membangunkan kebudayaan, dari zaman bergilir zaman, telah menerima juga unsur
dari Islam. Yang ingkar dengan kenyataan ini, hanyalah orang yang tidak
berkebudayaan.
5.
Dalam gerak budaya manusia
sekarang ini, nampaklah perjuangan dan perebutan yang dahsyat diantara
kebudayaaan semata-mata benda dengan kebudayaan yang berpangkalan dengan
kesadaran rohani. Sehingga kadang-kadang tidak terpelihara lagi pemilihan yang
bermanfaat dan penjauhan yang mudharat (tidak bermanfaat). Hal ini dirasai oleh
ahli-ahli fikir dunia sadar.
6.
Budayawan Islam harus kembali
mengambil bagian dalam perkembangan kebudayaan, serta melakukan risalahnya
(tugasnya) yang suci itu, dalam mengisi kebudayaan dunia.
7.
Di Indonesia sendiri kelihatan
gejala-gejala pancaroba kebudayaan. Kebudayaan materialis, kebudayaan jadi pak
turut, kebudayaan menuhankan manusia, atau manusia ingin dituhankan. Kebudayaan
yang tidak lagi memilih manfaat dan menghindari yang madharat, kebudayaan yang
tidak mengenal halal haram.
8.
Dalam kalangan Islam sendiri
terdapat golongan tua yang telah beku berhadapan dengan golongan muda yang
belum tentu arahnya.
9.
Masih belum bersambung kegiatan
ahli filsafat yang menumbangkan pikiran. Kalau ada ahli ilmu pengetahuan
beragama Islam, belum tentu pangkalan berpikirnya dari Islam. Seniman pun
demikian pula.
10. Modal
menghadapi perjuangan kebudayaan masih amat terbatas dan kerdil, sebab itu
maka: “Dengan kail panjang sejengkal, tidaklah ada daya upaya menduga laut.”
Menurut Hamka ancaman Islam yang datang dari sektor
kebudayaan melalui bahasa, lebih besar daripada sektor politik. Sehingga Hamka
menyerukan harus ada umat Islam yang menerjunkan diri ke lapangan kebudayaan,
bahasa juga sejarah. Hamka misalnya menunjukkan usaha-usaha kaum Komunis dengan
organisasi kebudayaan LEKRA-nya yang mempropagandakan kebudayaan rakyat, yang
mengarahkan kepada kebudayaan atheis.[19]
Demikian juga ketika umat Islam melupakan bahasanya, maka berbagai literatur
dan keilmuan pendahulunya dapat hilang dan memutus sejarah dan identitas
mereka. Di Sekolah Katholik diadakan mata pelajaran sejarah yang memuji
kedatangan Belanda menaklukkan Aceh, sebab orang Aceh itu fanatik. Jasa pendeta
Thenu dan Verbraak lebih ditonjolkan. Dan dalam sejarah kekejaman Portugis di
Maluku dan peperangan Sultan Khairun dengan Portugis dan penghianatan gubernur
Portugis de Mosquita. Pendeknya usaha memutar balikkan sejarah Indonesia, telah
dimulai lebih hebat sesudah Indonesia Merdeka dalam buku-buku pelajaran
Nasrani, [20] yang juga ada dipakai di
sekolah-sekolah umum saat ini.
Para ahli bahasa dan budayawan yang tidak memiliki
pemahaman Islam, juga telah berupaya untuk mengkaburkan dan mengalihkan
identitas asli Indonesia kepada kebudayaan dan kepercayaan lain. Mereka
misalnya membuat suatu penelitian yang dibakukan menjadi bahan pelajaran ilmiah
tentang sejarah kedatangan Islam di Nusantara. Bahwa Islam yang masuk ke
Indonesia bukan asli dari Arab, tetapi melalui India. Dan Islam India itulah
yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dengan menyebut India tempat
kedatangan Islam, mereka akan mengatakan bahwa Islam di India bercampur dengan
Hindu atau tidak asli sebagaimana mestinya atau sinkritisme. Beberapa
orientalis juga bekerjasama dengan zending dan missi berlomba mempelajari
tasawwuf, mistik, kebatinan dan primbon dan kejawen, untuk membuktikan bahwa
bangsa Indonesia menerima Islam ialah Islam yang sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia, yaitu kepribadian mistik.Al Qur`an dikatakan bukan wahyu,
hanya karangan Muhammad, dicurinya dari kitab suci Yahudi dan Nasrani. [21]
Hamka
pernah dicibir oleh salah satu tokoh pergerakan Islam, bahwa ia sibuk membuang
waktu untuk meneliti sejarah masuknya Islam, juga aktif dalam kebudayaan,
sementara musuh Islam sibuk berkerja menghapuskan Islam dari Indonesia. Maka
Hamka menjawab, bagaimana ia mau menjadi pemimpin jika pemikirannya sepicik
atau sesempit itu dengan mengkritik seminar-seminar sejarah yang Hamka lakukan.
Kemudian Hamka menimbali “Kenapa tidak
bisa dikatakan ilmiyah hasil penyelidikan itu hanya karena sumbernya bukan
Snouck Hurgronje, Goldzier atau Zwimmer”, menyebut nama-nama Orientalis,[22]
untuk menunjukkan kekurangan yang terjadi dan tidak diperhatikan umat Islam.
Padahal adapula yang mengatasnamakan “ilmiah”, namun
sejatinya hanya sebuah istilah untuk membaluti, sebagaimana kata terpimpin yang
dipakai saat Orde Lama, demi menjaga hegemoni penguasa. Sebagaimana Hamka
menyebutkannya:
Ini
“Studi Terpimpin” yang digunakan untuk mengelabui mata orang yang menerima
Islam sebagai agama pusaka nenek moyangnya tetapi tidak mendapat peluang untuk
mempelajari Islam dari sumbernya sendiri. Lalu dicari “ilmiah” Islam dari
guru-guru bangsa Barat yang “mengatur” suatu macam ilmu tentang Islam menurut
apa yang mereka kehendaki, karena pengaruh penyerbuan dan ekspansi agama atau
kolonialisme.[23]
Manusia yang memahami dan beradab terhadap budaya
dan sejarah suatu masyarakat, menurut Hamka, ia akan mampu meletakkan diri dan
dapat duduk di mana saja. Ia tidak akan canggung dan berlawanan dengan budaya
yang ada. Adab kepada budaya dan sejarah ini dilakukan secara lahir dan batin.
Secara lahir, ialah lebih dapat bersikap bijak dalam menghadapi kebudayaan,
selama tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak memaksakan suatu
kebudayaan baru secara total. Secara batin adalah memikirkan dan merasakan akan
alasan suatu budaya itu dapat tegak dalam suatu masyarakat, sehingga tidak
terburu-buru dalam menerima atau menghukumi suatu kebudayaan begitu saja. Disini
kemudian perlunya memahami sejarah, agar dapat melihat dan memahami suatu
kebudayaan secara tepat, dan dibutuhkannya bahasa untuk membaca sejarah dan
kebudayaan dengan benar. Hamka menyebutkan:
Kalau kesopanan batin suci, hati bersih, niat
bagus, tidak hendak berkicuh berdaya kepada sesama manusia, akan baiklah segenap
buahnya bagi segenap masyarakat. Tidaklah akan canggung ke mana dia pergi,
walau ke Bugis, ke Makassar, ke Ambon, ke Ternate, ke Jawa, ke Madura, ke Aceh,
ke Minang-kabau, bahkan ke sudut dunia yang mana sekalipun.[24]
Hamka kemudian
memberikan contoh bagaimana kesalahan dalam memandang suatu kebudayaan. Ada
orang Arab Hejaz, mencela orang Indonesia, karena menganggap mereka sedang
makan ular. Padahal yang dimaksud adalah belut, yang merupakan sebangsa dengan
ikan. Adapun orang Jawa menuduh orang Arab Hejaz itu pemakan bengkarung,
padahal yang mereka makan adalah Dhabb,
yang bentuknya mirip dengan bengkarung, namun jenisnya berbeda. Menurut adat
indonesia duduk bersila di muka orang tua adalah adab. Adat Eropa apabila bertemu
dengan seorang teman mengangkat topi memberi hormat, namun pada bangsa Cina,
mengangkat topi ketika akan pergi.[25]
Demikian juga adab terhadap bentuk kebudayan lainnya seperti bentuk rumah,
makanan, bahasa dan lainnya, yang bagi Hamka tidak boleh dicela begitu saja,
sebelum mengetahui alasannya. Yang baru diketahui adalah gambaran dari
kebiasaan yang sudah ada, tapi belum ketahui latar belakangnya. Hamka kemudian
menyinggung akan kekurangan seseorang yang tidak memahami dan beradab kepada
kebudayaan, dengan tidak memperhatikan tentang budaya:
Kalau ini tidak diperhatikan, walaupun tiga
lapis ikat kepalanya, tiga kisar letak kerisnya, tiga kisar letak kerisnya,
tiga patah susun gelarnya. Walaupun dia keturunan Sang Sapurba dari Bukit
Siguntang Mahamereu... tidaklah akan berfaedah hidupnya, masuknya tidaklah akan
menjadi laba, keluarnya tidaklah akan membawa rugi.[26]
Akhirnya dari beberapa uraian
penjelasan dan peringatan Hamka dalam memandang bahasa, kebudayaan dan sejarah
di atas, Hamka kemudian memberikan anjuran yang patut untuk diperhatikan,
khususnya oleh angkatan muda Islam saat ini:
1.
Hendaklah
angkatan muda Islam memperdalam pengetahuan dan pengertian ajaran Islam,
dituruti dengan amal, sehingga menjadi pandangan hidup yang sebenarnyam dan
dapat membandingkan, “mana yang kita punya dan mana yang kepunyaan orang lain.”
2.
Hendaklah angkatan muda Islam
mempelajari sejarah umatnya, di Indonesia dan di luarnya, sehingga dia sadar
bahwa kebudayaan Islam itu universal sifatnya. Dan kebudayaan yang universal
itulah tujuan terakhir dunia di zaman ini. Dan Nasionalisme sempit, tidaklah
panjang usianya.
3.
Hendaklah angkatan muda Islam
menuntut ilmu pengetahuan, merenung filsafat dan mencintai seni. Sebab semuanya
itu adalah anjuran tegas dari agamanya. Sehingga kelak dapat disumbangkan
kepada dunia umumnya dan Indonesia khususnya. Untuk membina satu kebudayaan
kepunyaan umat manusia, sebagai hasil kecerdasan akal dan keluhuran iman. Dan
itulah sekarang yang amat diperlukan oleh pri-kemanusiaan.[27]
[1] Rusydi Hamka dan Iqbal Emsyarip
Are Saimima, Kebangkitan Islam dalam
Pembahasan, Yayasan Nurul Islam, t.t., hlm. 69.
[2] Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hal.174.
[3] Hamka, Falsafah Hidup..., hlm. 15.
[4] Ibid, hlm. 25.
[5]
Buya Hamka pada tahun 1959 ke Medan menjadi delegasi Seminar Bahasa Indonesia
yang terdiri dari delegasi-delegasi dari Semenanjung Tanah Melayu, dengan ketua
delegasi masing-masing negara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Malaya
diwakili oleh ketuanya Tun Abdul Razak yang waktu itu menjadi Mentri Penerangan
dan Kebudayaan, kemudian menjadi Perdana Menteri Malaysia.
Salah
satu keputusan seminar adalah, bahwa Bahasa Indonesia adalah berasal dari
Bahasa Melayu yang disempurnakan atau diperkaya oleh bahasa daerah. Seminar
juga mengakui kedudukan bahasa Arab sebagai salah satu sumber perbendaharaan
bahasa Indonesia. (Rusydi Hamka, Pribadi
dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hlm.
47)
[6] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hlm. 42.
[7] Ibid, hlm. 42.
[9] Kata pengantar Hamka dalam , H.
Abdul Karim Amrullah , Pengantar Ushul
Fiqih, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, hlm.VI.
[10] Hamka, Falsafah Hidup..., hal.16
[11] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., hlm. 94-95.
[12]
Yayasan Nurul Islam, Kenang-kenangan 70
tahun Buya Hamka,, hlm. 279.
[13] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., hlm. 43.
[14] Rusydi Hamka dan Iqbal Emsyarip
Are Saimima, Kebangkitan Islam..., hlm
[15] Hamka, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan
Bintang, 1966, hlm. 222.
[16] Ibid, hlm. 227-228.
[17] Loc.cit.
[18] Ibid, hlm. 229.
[19] Rusydi Hamka, Pribadi dan martabat..., hlm. 95.
[20] Hamka, Beberapa Tantangan Terhadap Ummat Islam di
Masa Kini (Secularisme, Syncritisme dan Ma`shiat), Jakarta: Bulan Bintang,
1970., hlm. 9.
[21] Loc. cit.
[22] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat.., hlm. 97.
[23] Hamka, Studi Islam, Jakarta: 1982, hlm. 278.
[24] Hamka, Falsafah Hidup..., hlm. 99-100.
[25] Hamka, Falsafah Hidup..., hlm.
98-99.
[26] Hamka, Falsafah Hidup..., hlm. 100.
[27] Hamka, Pandangan Hidup..., hlm. 230.